EVALUASI HEARING II KOMISI KEBENARAN PERSAHABATAN: “PANGGUNG KEBOHONGAN DAN PENGINGKARAN KEBENARAN”

EVALUASI HEARING II KOMISI KEBENARAN PERSAHABATAN:
“PANGGUNG KEBOHONGAN DAN PENGINGKARAN KEBENARAN”

Proses dengar Pendapat yang dilaksanakan KKP di Hotel Crowne di Jakarta, 26-30 Maret 2007 lalu menjadi gambaran umum pengingkaran kebenaran. Hal ini terbukti dengan Pengingkaran fakta atas kejahatan yang terjadi pada momentum 1999. Kenyataan ini tidak hanya merugikan agenda keadilan bagi korban, namun juga meyakinkan banyak pihak, baik nasional maupun internasional, bahwa KKP hanya merupakan alat melegitimasi kebohongan di ladang impunitas (kejahatan tanpa hukuman).  

Fenomena Impunitas di Proses Hearing KKP II terjadi dengan gambaran sebagai berikut;

Pertama, Materi Kesaksian Keluar Dari Konteks;
Kesaksian oleh para pihak yang dipanggil, terutama dari kalangan TNI, Milisi dan pejabat sipil/lokal terdengar seragam, bahwa yang terjadi di Timor Leste 1999 merupakan konflik horisontal; merupakan kesalahan UNAMET; pemicu kekerasan adalah karena dimajukannya tanggal pengumuman Referendum dan tidak terdapat kebijakan negara dalam kekerasan. Materi dengar pendapat tersebut juga meluas hingga konteks politik sebelum 1999. padahal mandat KKP hanya membatasi pada kurun waktu seputar jajak pendapat 1999 dan memfokuskan pada pelanggaran HAM yang berat serta menyangkut penyebab, cakupan dan hakekat pelanggaran HAM.

Kedua, Perilaku Komisioner Tidak Berpihak Pada Fakta.
Secara umum komisioner tidak melakukan klarifikasi atas pelanggaran HAM sesuai dengan mandat KKP.  Para komisioner cenderung mengikuti “desain keseragaman kesaksian” yang diberikan. Bahkan para Komisioner tanpa ragu beropini. Hal ini bertentangan dengan kewajiban komisioner untuk menggali kesaksian. Dalam mengajukan pertanyaan komisoner tidak merujuk pada fakta dari dokumen KPP HAM (Indonesia) dan CAVR (Timor Leste). Komisioner juga mempertanyakan peran UNAMET, menanyakan pendapat saksi dan membuat kesimpulan-kesimpulan pribadi.

Ketiga, Metode Kesaksian Dan Tanya Jawab Tidak Kredible.
Secara umum metode yang dipakai dalam hearing ke-2 tersebut sangat tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini dikarenakan oleh 2 hal. Pertama, tidak ada aturan tegas/guideline yang membatasi kesaksian. Sehingga kesaksian yang diberikan tidak berlandaskan pada fakta yang terjadi namun pada opini semata. Kedua, kesaksian yang berbasis fakta-pun tidak didukung oleh proses pembuktian dan bukti nyata.

Selain kesaksian, metode klarifikasi juga menunjukkan masalah mendasar. Metode klarifikasi yang diterapkan tidak mempermasalahkan ketidakcocokan antara fakta dan data yang ada maupun keberadaan sumber data yang jelas. Begitu pula klarifikasi tidak berdasarkan pada peran dan posisi saksi (tanggung jawab, fungsi dan kewenangan).

Catatan khusus perlu diberikan pada prosedur pengambilan kesaksian BJ Habibie yang dilakukan secara tertutup. Hal ini bertentangan dengan prinsip fairness dan transparan.  Jika mengikuti prosedur yang semestinya, prosedur tertutup hanya patut diberikan pada pengambilan kesaksian korban dan bukan pelaku atau pengambil kebijakan. Sementara terhadap saksi sendiri, tidak disiapkan program perlindungan yang memadai.

Keempat , Komposisi Kesaksian Tidak Berimbang.
Dalam hearing ke-2 ini komposisi pengungkapan kebenaran didominasi oleh kesaksian pelaku dan pengambil kebijakan, terlihat pada jumlah kesaksian pelaku yang lebih banyak dari kesaksian korban. Seharusnya komposisinya berimbang dan mencerminkan cakupan peristiwa yang ada. Lebih ironisnya, kesaksian dari para pelaku tersebut sangat klarifikatif atas peran dan posisi serta memberikan opini.

Berangkat dari catatan secara umum tersebut, kami menilai bahwa public hearing ke-2 KKP jelas telah gagal menghadirkan kebenaran dan akhirnya hanya menjadi panggung pengingkaran kebenaran semata. KKP hanya mendekonstruksi fakta-fakta yang sah dari KPP HAM dan CAVR. KKP bukan merekonstruksi fakta-fakta tersebut.

Bertolak dari monitoring KKP dan pengamatan diatas, patut direkomendasikan sejumlah hal sebagai berikut:

1.Mendesak KKP untuk menolak dan tidak menggunakan kesaksian yang diberikan oleh para pelaku maupun pengambil kebijakan yang tidak sesuai dengan mandat ToR KKP. ToR KKP hanya membatasi pada peristiwa pelanggaran HAM.
2.Mendesak KKP untuk bekerja berdasarkan prinsip internasional dalam pengungkapan kebenaran. Salah satunya memberikan perlindungan khusus bagi korban yang dihadirkan.
3.Mendesak KKP menerbitkan aturan kesaksian yang mematuhi mandat dan pengambilan kesaksian berdasarkan pada pembuktian fakta.
4.Mendesak komisioner KKP untuk berhenti beropini dan mengklaim fakta pada proses klarifikasi tanpa menunjukkan data.
5.Mendesak Presiden Republik Indonesia dan Timor Leste untuk segera mengamandemen ToR yang bertentangan dengan hukum HAM internasional.
6.Mengingatkan bahwa pengakuan kejahatan adalah syarat mutlak dalam proses menata kehidupan bernegara yang demokratis, dan mengakui bahwa pengingkaran kebenaran adalah awal dari kehancuran kehidupan bernegara.

 
Hormat Kami,
Jakarta, 31 Maret 2007

ELSAM-FORUM ASIA-HRWG-KontraS-PEC-SOLIDAMOR-YLBHI