Dicari Figur Munir Yang Pemberani

Demi Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Yang Tak Jelas Juntrungannya

Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Ma­nusia (Komnas HAM) pe­riode 2007-2012 diharapkan bi­sa me­nun­tas­­kan sejumlah ka­sus pelanggaran HAM yang se­lama ini tak jelas jun­­trungan­nya. Untuk itu, perlu di­cari pu­tra-putri terbaik bangsa yang be­rani seperti pejuang HAM Mu­nir.

SEBAB, dalam membongkar suatu pe­lang­garan HAM bisa saja berhadapan dengan pi­hak-pihak yang berkuasa secara politik, hu­kum, dan ekonomi, sehingga mungkin saja melakukan tindak kekerasan demi me­nutupi kasus pelanggaran HAM tersebut.

Makanya Tim Penyeleksi anggota Kom­nas HAM yang diketuai Soetandjo Wignjo­­soebroto hendaknya memilih putra-pu­tri terbaik bangsa yang harus berani me­ng­ungkap kebenaran.

Jangan sampai Tim Penyeleksi yang ter­diri dari lima orang itu hanya mencari orang-orang yang melempem. Apalagi orang-orang titipan pemerintah. Ini bisa mencoreng ke­wibawaan Komnas HAM.

Untuk itu, Komisi III DPR sebagai pe­nyaring dari hasil godokan Tim 5 itu di­min­ta tetap kritis dalam memilih calon ang­gota Komnas HAM pada saat fit and propert test. Harus benar-benar dicari orang yang pe­duli dan mampu menyelesaikan kasus-kasus pe­langgaran HAM yang terjadi, jangan sam­pai ada calon yang anti negara tetapi meng­gunakan institusi negara untuk mewujudkan cita-citanya.

Diharapkan juga anggota Komnas HAM jang­an cuma dijadikan tempat mencari pe­ker­jaan. Tapi orang-orang yang dipilih harus pu­nya komitmen yang besar dalam mem­perjuangkan hak-hak kemanusian dari ketidakadilan.

Demikian disampaikan Sekretaris Culture Human Empowerment Social and Study—(CHESS) Foundation Hari Sutantya dan Ke­tua Majelis Anggota Perhimpunan Ban­tuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Jakarta Hendardi kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

‘’Untuk anggota Komnas HAM periode 2007-2012 hendaknya dicari figur seperti Mu­nir yang selama hidupnya dikenal pem­berani memperjuangkan kebenaran dan hak-hak manusia,’’ kata Hari Sutantya.

Menurutnya, seleksi calon anggota Kom­nas HAM ini penuh dengan conflic of in­terest. Jika diamati 70 calon anggota Kom­nas HAM yang lolos seleksi tahap kedua, se­tidaknya terdapat 19 nama yang pe­ngajuan­nya menggunakan rekomendasi dari dua LSM, yaitu Kontras dan Elsam.

“Selain itu ternyata anggota panitia seleksi juga memberikan rekomendasi untuk calon yang seharusnya dia seleksi. Setidaknya ada dua yang dalam berkas pencalonannya ditandatangani anggota Panitia Seleksi. Padahal tidak bisa begitu dong,” ujarnya.

Disamping itu, kata dia, patut diduga ada calon yang maju dengan mengantongi du­kungan resmi pejabat pemerintah. Padahal, ang­gota Komnas HAM itu harus bersikap netral.

’’Saya dengar-dengar ada calon yang lolos se­leksi tahap kedua yang pencalonannya men­dapat dukungan pejabat pemerintah,’’ ucapnya.

Bukan itu saja, lanjutnya, meski ber­ang­go­takan tiga akademisi yang bergelar pro­fe­sor, panitia seleksi calon anggota Komnas HAM tidak memiliki tolok ukur yang jelas da­lam melakukan proses seleksi. Tidak ada pen­jelasan transparan dari panitia seleksi, apakah seleksi tahap pertama itu me­nyang­kut masalah administrasi atau menyangkut substansi.

Kalau menyangkut administrasi, lanjut­nya, patut dipertanyakan juga bagaimana pa­nitia melakukan seleksi cari 178 calon ang­gota. Tapi anggaplah panitia seleksi sudah me­masuki tahap substansi ketika melakukan seleksi untuk memangkas calon dari 178 ke 70, ini pun jadi pertanyaan, karena di antara calon-calon yang lolos ada yang meng­gu­na­k­an rekomendasi calon yang justru tidak lolos.

“Sulit dibantah hubungan banyaknya LSM yang lolos seleksi calon anggota Kom­nas HAM dengan latar belakang panitia se­lek­si. Tetapi lebih dari itu adalah asumsi pa­nitia seleksi, yang seolah-olah menganggap per­juangan menegakkan HAM lebih efektif di­lakukan oleh calon anggota yang selama ini suka berteriak mengenai pelanggaran HAM. Tapi sebenarnya tidak memberikan ha­sil yang nyata buat korban pelanggaran HAM itu sendiri, seperti dalam kasus Se­manggi atau kasus penculikan aktivis,” tuturnya.

Untuk itu, dia mendesak DPR mengkritisi dengan serius setiap calon anggota Komnas HAM yang kelak diajukan panitia seleksi. Bahkan bila dikaitkan dengan latar belakang proses seleksi dan panitia seleksi, tidak ada sa­lahnya Komisi III DPR meniru cara Ko­misi I DPR yang sempat mengoreksi ulang calon yang diajukan Tim Independen dalam pro­ses seleksi calon anggota Komisi Pe­nyiaran Indonesia (KPI) periode 2007 – 2010 awal tahun ini.

Bila perlu DPR harus mendesak Komnas HAM maupun Dephuk HAM agar mem­bentuk panitia seleksi baru calon anggota Komnas HAM yang lebih independen.

Sementara Hendardi mengatakan konflik ke­pentingan proses seleksi calon anggota Kom­nas ditingkat panitia seleksi sangat kecil ke­mung­kinannya. Justru yang perlu di­was­pa­dai saat dilakukan di DPR.

“Bukannya nggak mungkin, tapi kecil kemungkinannya daripada seleksi di DPR. Sebab seleksi di panitia dilakukan oleh tim independen yang ditunjuk Komnas HAM,” katanya.

Menurutnya, di DPR itulah yang sangat ken­tal unsur politisnya dalam seleksi calon ang­­gota Komnas HAM, sebab mem­per­juang­­kan kepentingan parpol sehingga pro­ses jegal menjegal tidak bisa dihindarkan.

“Saya dulu juga pernah mau jadi anggota Kom­nas HAM, tapi saya dijegal oleh ke­lom­pok politik tertentu. Makanya saya malas men­­­calonkan lagi,” bebernya. RM