Dari Jakarta Mereka Belum Mau Kembali

"Kami tak akan pulang sampai ganti rugi dipenuhi seratus persen."

Sekejam-kejamnya Jakarta, bagi sebagian warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas), tak sekejam Porong, Sidoarjo. "Di sini makanannya enak-enak, tadi aja makan nasi Padang," kata Basa Romauli, 36 tahun, saat ditemui di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, kemarin.

Uli, ibu dua anak itu biasa dipanggil, membandingkan Jakarta dengan Porong setelah disembur lumpur Lapindo. "(Di sana) pengungsi menumpuk, susah air dan makanan," kata Uli sambil menikmati embusan angin di bawah rimbun pepohonan.

Bagi Uli, Aryo (sang suami), dan kedua anaknya, malam-malam di Ibu Kota pun tak begitu mencekam. Setidaknya untuk urusan tidur, mereka masih bisa memilih tempat. Kalau bukan di bawah pohon di Tugu Proklamasi, ya, di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Jalan Borobudur 14.

"Di sini mereka bebas. Mereka bisa masak, mandi, dan tidur, asalkan tertib," kata Kepala Rumah Tangga Kantor Kontras Victor Dacosta. "Makanan juga suka ada yang ngasih."

Tapi, bukan uluran tangan dan belas kasihan itu yang membuat 70-an korban Lumpur Lapindo bertahan. "Kami tak akan pulang sampai ganti rugi dipenuhi seratus persen," ujar Pujiyanto, koordinator tim perunding warga Perumtas.

Tuntutan warga Perumtas tak bergeser barang sejengkal pun. Mereka meminta ganti rugi Rp 1 juta untuk setiap meter bangunan dan Rp 1,5 juta per meter tanah yang terendam.

Sejauh ini, sekitar 30 warga Perumtas memang bergiliran pulang ke Sidoarjo. Tapi, menurut Pujiyanto, itu bukan karena warga kelelahan. Mereka itu karyawan yang meminta perpanjangan masa cuti. "Mereka akan kembali," ujarnya.

Di Jakarta, saban hari warga Perumtas pun terus bersuara. Saban hari, seusai sarapan pagi, mereka pergi berdemonstrasi. Sasarannya berganti-ganti. Kadang kantor menteri, kadang gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka baru pulang ke Tugu Proklamasi menjelang petang.

Semangat bisa saja terus menyala. Tapi fisik korban Lapindo mulai menunjukkan keterbatasan. Sedikitnya sepuluh pengungsi sakit. "Rata-rata sakit tenggorokan. Mungkin karena kebanyakan orasi," kata Pujiyanto. Untunglah, di Jakarta masih ada dokter yang sukarela membantu mereka. RAFLY WIBOWO