penghilangan paksa: Pemerintah dan DPR Masih Ragu Menyusun Draf RUU

Jakarta, Kompas – Pemerintah dan DPR terkesan belum yakin siapa yang harus berinisiatif menyusun draf rancangan undang-undang atau RUU untuk meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Terhadap Orang dari Penghilangan Paksa yang telah disetujui Pemerintah Indonesia Desember tahun lalu.

Pemerintah menilai, peluang ratifikasi konvensi internasional terbuka jika dilakukan lewat mekanisme inisiatif DPR. Sebaliknya, DPR beranggapan beban legislasinya terlalu banyak dan rencana ratifikasi konvensi itu tidak tercantum dalam program legislasi nasional.

Sikap yang saling lempar pekerjaan itu muncul dalam diskusi bertema "Menuju Ratifikasi Konvensi Menentang Penghilangan Paksa sebagai Kejahatan Berkelanjutan", Selasa (8/5), yang digelar Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di Jakarta.

Sebagai narasumber adalah anggota Komisi III DPR Nursyahbani Katjasungkana serta Direktur Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kemanusiaan Departemen Luar Negeri Wiwiek Setyawati Firman.

"Proses ratifikasi seharusnya dilakukan dengan sebuah sinergi antara pemerintah dan DPR. Namun, soal pengajuan memang bisa datang dari salah satunya. Kalau mau ditangani pemerintah, prosesnya pasti memerlukan waktu yang lama," ujar Wiwiek.

Wiwiek berpendapat, ia justru melihat peluang yang besar jika ratifikasi dilakukan melalui proses pengajuan hak inisiatif DPR.

Namun, Nursyahbani menduga DPR akan kesulitan jika harus meratifikasi konvensi internasional itu tahun ini. Selain tidak tercantum dalam proyek legislasi nasional, DPR juga masih punya banyak tanggungan legislasi. Pada masa sidang tahun ini saja, DPR punya beban 15 RUU. (dwa)