BENANG KUSUT KASUS MUNIR

BENANG KUSUT KASUS MUNIR

Polri kembali aktif mengusut konspirasi pembunuhan aktivis HAM,
Munir. Apakah ini penanda terang atau sekadar meredam tekanan publik
dan berakhir gelap?

Dari Istana Negara, Kepala Polri Jenderal Sutanto menyatakan,
penyidik menetapkan dua tersangka baru, IS dan R. Diduga IS adalah
Indra Setiawan, Presiden Direktur Garuda saat Munir tewas, dan R
adalah Ramelgia Anwar, Wakil Presiden untuk Keamanan Garuda. Ternyata
keliru.

Sekilas tak ada yang baru. Dua tahun lalu, inilah rekomendasi
pertama Tim Pencari Fakta (TPF) kepada Presiden SBY, plus satu nama
lain, Pollycarpus Budihari Priyanto. Dari nama-nama ini, TPF
mengembangkan temuan dan penyidik mengarah keterlibatan pihak lain di
luar Garuda. TPF berharap semua diajukan ke persidangan.

Ironisnya, penyidik hanya mengajukan satu tersangka, Polly.
Padahal, polisi dan jaksa menggunakan tuduhan berlapis, dari tindak
pidana perbantuan (Pasal56 KUHP), penyertaan (Pasal 55), pemalsuan
surat (Pasal 263), hingga pembunuhan berencana (Pasal 340). Lebih
ironis lagi, MA membebaskan Polly dari pembunuhan (3/10/2006).

Pengajuan PK

Langkah terbaru Polri menetapkan dua tersangka baru, menetapkan
tiga TKP pembunuhan saat Munir transit di Bandara Changi, Singapura,
serta langkah Jaksa Agung mengajukan peninjauan kembali (PK) langsung
menuai kontroversi.

Di satu sisi, kita merasakan lambatnya proses dan hasil tak
maksimal. Ada kekhawatiran, pengusutan terhenti saat menghadapi
sutradara pembunuhan. Di sisi lain, pengacara Garuda
mempraperadilankan keabsahan penangkapan IS dan R serta menolak PK
Jaksa Agung.

Secara hukum, praperadilan hanya bisa mengubah administrasi,
bukan masalah pokok. Jadi tak perlu dikhawatirkan. Bagaimana dengan
PK?

Mengutip cendekiawan dan mantan hakim agung Adi Andojo Soetjipto,
di sini kita dihadapkan masalah keadilan hukum yang materiil dan
kepastian hukum.Apa maksudnya?

Putusan MA adalah kepastian hukum. Putusan yang berkekuatan hukum
tetap (inkracht van gewisde). Apakah putusan MA pada kasus Munir
sudah memenuhi keadilan hukum yang materiil?

Putusan MA yang berkekuatan hukum tetap harus dijunjung tinggi.
Isi suatu putusan berlaku sebagai benar (res iudicata pro veritate
accipitur). Kekuatannya mengikat, meski jelek atau cacat. Tanpa
prinsip ini tidak akan ada kepastian hukum.

Namun, Adi Andojo juga menyatakan, secara ilmiah kepastian hukum
dapat diterobos oleh keadilan hukum yang materiil. Untuk itulah KUHAP
mengatur acara PK (Pasal 263 Ayat 1).

PK adalah upaya luar biasa untuk memperbaiki putusan yang
berkekuatan hukum tetap. Tujuannya agar pengadilan benar-benar
menjalankan keadilan. Agar sendi-sendi hukum yang asasi di masyarakat
terlindungi.

Karunia

Memang, yang dapat mengajukan PK, menurut Pasal 263 Ayat 1 KUHAP,
adalah terpidana atau ahli waris. PK dikecualikan untuk putusan bebas
atau lepas darisegala tuntutan hukum. Sebab, putusan bebas merupakan
suatu karunia (verkregen recht) yang diperoleh terdakwa, suatu hak
yang tidak dapat diganggu gugat (Pasal 67 dan 244).

Sampai di sini, tak ada lagi peluang hukum terhadap Polly yang
dibebaskan dari dakwaan Pasal 340 KUHP. Lalu mengapa Jaksa Agung
mengajukan PK? Mengapa MA membuka diri bagi PK? Tampaknya ini merujuk
yurisprudensi MA No 55PK/Pid/ 1996, 25 Oktober 1996.

Saat itu jaksa merasa bisa ajukan PK sebagai pihak "yang
berkepentingan" berdasar tafsiran Pasal 21 UU No 14/1970 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Jaksa berdalil KUHAP tidak melarang jaksa
mengajukan PK sepanjang ada alasan yang diatur Pasal 263 Ayat 2 dan 3
KUHAP, demi tegaknya hukum dan keadilan.

Jaksa juga menunjuk peraturan lama, Reglement op de
Strafvordering, yang mengatur bahwa yang berhak mengajukan PK adalah
Jaksa Agung, terpidana, dan yang berkepentingan.

MA sendiri menerima PK yang diajukan jaksa pada kasus Muchtar
Pakpahan yang diputus "bebas murni". Yurisprudensi tetap MA
membedakan putusan bebas "murni" dan "tidak murni". Putusan bebas
tidak murni masih bisa ditinjau kembali.

Motif dan aktor utama

Apakah kriteria ini bisa diterapkan pada putusan MA yang
membebaskan Polly dari pembunuhan namun tetap menyatakan bersalah
untuk penggunaan surat palsu? Bisa saja.

Namun, persoalannya tidak sesederhana itu. Jika MA menerima PK
Jaksa Agung, bukan berarti kasus Munir selesai, sebab PK hanya untuk
Polly. Sementara yang ditunggu publik adalah apa motif dan siapa
aktor utama pembunuh Munir.

Untuk mencapai target itu, kita harus belajar dari masa lalu.
Selalu ada hambatan nonteknis dan politis. Karena itu dibutuhkan
peran Presiden. Misalnya untuk mencegah campur tangan pihak luar.
Dari dalam, harus diwaspadai adanya upaya mutasi atau demosi terhadap
petugas hukum yang serius mengungkap kematian Munir.

Benang Kusut Kasus Munir

Usman Hamid

Polri kembali aktif mengusut konspirasi pembunuhan aktivis HAM, Munir. Apakah ini penanda terang atau sekadar meredam tekanan publik dan berakhir gelap?

Dari Istana Negara, Kepala Polri Jenderal Sutanto menyatakan, penyidik menetapkan dua tersangka baru, IS dan R. Diduga IS adalah Indra Setiawan, Presiden Direktur Garuda saat Munir tewas, dan R adalah Ramelgia Anwar, Wakil Presiden untuk Keamanan Garuda. Ternyata keliru.

Sekilas tak ada yang baru. Dua tahun lalu, inilah rekomendasi pertama Tim Pencari Fakta (TPF) kepada Presiden SBY, plus satu nama lain, Pollycarpus Budihari Priyanto. Dari nama-nama ini, TPF mengembangkan temuan dan penyidik mengarah keterlibatan pihak lain di luar Garuda. TPF berharap semua diajukan ke persidangan.

Ironisnya, penyidik hanya mengajukan satu tersangka, Polly. Padahal, polisi dan jaksa menggunakan tuduhan berlapis, dari tindak pidana perbantuan (Pasal 56 KUHP), penyertaan (Pasal 55), pemalsuan surat (Pasal 263), hingga pembunuhan berencana (Pasal 340). Lebih ironis lagi, MA membebaskan Polly dari pembunuhan (3/10/2006).

Pengajuan PK

Langkah terbaru Polri menetapkan dua tersangka baru, menetapkan tiga TKP pembunuhan saat Munir transit di Bandara Changi, Singapura, serta langkah Jaksa Agung mengajukan peninjauan kembali (PK) langsung menuai kontroversi.

Di satu sisi, kita merasakan lambatnya proses dan hasil tak maksimal. Ada kekhawatiran, pengusutan terhenti saat menghadapi sutradara pembunuhan. Di sisi lain, pengacara Garuda mempraperadilankan keabsahan penangkapan IS dan R serta menolak PK Jaksa Agung.

Secara hukum, praperadilan hanya bisa mengubah administrasi, bukan masalah pokok. Jadi tak perlu dikhawatirkan. Bagaimana dengan PK?

Mengutip cendekiawan dan mantan hakim agung Adi Andojo Soetjipto, di sini kita dihadapkan masalah keadilan hukum yang materiil dan kepastian hukum. Apa maksudnya?

Putusan MA adalah kepastian hukum. Putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisde). Apakah putusan MA pada kasus Munir sudah memenuhi keadilan hukum yang materiil?

Putusan MA yang berkekuatan hukum tetap harus dijunjung tinggi. Isi suatu putusan berlaku sebagai benar (res iudicata pro veritate accipitur). Kekuatannya mengikat, meski jelek atau cacat. Tanpa prinsip ini tidak akan ada kepastian hukum.

Namun, Adi Andojo juga menyatakan, secara ilmiah kepastian hukum dapat diterobos oleh keadilan hukum yang materiil. Untuk itulah KUHAP mengatur acara PK (Pasal 263 Ayat 1).

PK adalah upaya luar biasa untuk memperbaiki putusan yang berkekuatan hukum tetap. Tujuannya agar pengadilan benar-benar menjalankan keadilan. Agar sendi-sendi hukum yang asasi di masyarakat terlindungi.

Karunia

Memang, yang dapat mengajukan PK, menurut Pasal 263 Ayat 1 KUHAP, adalah terpidana atau ahli waris. PK dikecualikan untuk putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Sebab, putusan bebas merupakan suatu karunia (verkregen recht) yang diperoleh terdakwa, suatu hak yang tidak dapat diganggu gugat (Pasal 67 dan 244).

Sampai di sini, tak ada lagi peluang hukum terhadap Polly yang dibebaskan dari dakwaan Pasal 340 KUHP. Lalu mengapa Jaksa Agung mengajukan PK? Mengapa MA membuka diri bagi PK? Tampaknya ini merujuk yurisprudensi MA No 55PK/Pid/ 1996, 25 Oktober 1996.

Saat itu jaksa merasa bisa ajukan PK sebagai pihak "yang berkepentingan" berdasar tafsiran Pasal 21 UU No 14/1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Jaksa berdalil KUHAP tidak melarang jaksa mengajukan PK sepanjang ada alasan yang diatur Pasal 263 Ayat 2 dan 3 KUHAP, demi tegaknya hukum dan keadilan.

Jaksa juga menunjuk peraturan lama, Reglement op de Strafvordering, yang mengatur bahwa yang berhak mengajukan PK adalah Jaksa Agung, terpidana, dan yang berkepentingan.

MA sendiri menerima PK yang diajukan jaksa pada kasus Muchtar Pakpahan yang diputus "bebas murni". Yurisprudensi tetap MA membedakan putusan bebas "murni" dan "tidak murni". Putusan bebas tidak murni masih bisa ditinjau kembali.

Motif dan aktor utama

Apakah kriteria ini bisa diterapkan pada putusan MA yang membebaskan Polly dari pembunuhan namun tetap menyatakan bersalah untuk penggunaan surat palsu? Bisa saja.

Namun, persoalannya tidak sesederhana itu. Jika MA menerima PK Jaksa Agung, bukan berarti kasus Munir selesai, sebab PK hanya untuk Polly. Sementara yang ditunggu publik adalah apa motif dan siapa aktor utama pembunuh Munir.

Untuk mencapai target itu, kita harus belajar dari masa lalu. Selalu ada hambatan nonteknis dan politis. Karena itu dibutuhkan peran Presiden. Misalnya untuk mencegah campur tangan pihak luar. Dari dalam, harus diwaspadai adanya upaya mutasi atau demosi terhadap petugas hukum yang serius mengungkap kematian Munir.

Usman Hamid Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)