Fatamorgana Kasus Munir “Sang Fenomena”

Fatamorgana Kasus Munir
"Sang Fenomena"

Kasus pembunuhan terhadap Munir, aktivis HAM, memasuki babak baru proses hukum di Kepolisian. Pertengahan April 2007, Kepolisian mengumumkan 2 nama baru tersangka pembunuhan Munir, mereka adalah Indra setiawan dan Rohainil Aini. Keduanya terlibat dalam pemalsuan surat tugas terhadap Pollycarpus untuk terbang satu pesawat dengan Munir, 6 September 2004, Jakarta-Singapura- Belanda. Selain itu, Kepolisian mendapatkan novum (alat bukti baru) terhadap Pollycarpus yang diduga terlibat pembunuhan Munir. Novum tersebut diserahkan ke Mahkamah Agung, berharap kasus ini tidak berhenti hingga mampu menguak dalang dan motif pembunuhan terhadap Munir, sahabat kemanusiaan bangsa Indonesia.

Pertanyaannya kemudian, akankah kasus ini terkuak? Mampukah pemerintahan Yudhoyono membongkar kejahatan ini? Siapa pelakunya? Bagaimana pembunuhan tersebut terjadi? Apa motif pembunuhan ini? Pertanyaan terakhir akan menggiring kita pada titik terang, siap yang mendalangi pembunuhan yang sangat terorganisir terhadap Munir? Untuk menjawab pertanyaan di atas, paling tidak bisa dilihat secara sederhana pada dua hal; pertama, profil Munir. Kedua; pada proses atau dinamika penanganan hukum terhadap kasus ini.

Siapa Munir?
Pertanyaan "siapa Munir?" patut diajukan, untuk membantu melihat kenapa ia dibunuh lewat cara yang sangat terorganisir. Siapa Munir? Harus diakui, senang atau tidak, Munir, seorang anak bangsa yang lahir di kota kecil di Jawa Timur, Batu, 42 tahun lalu merupakan fenomena (fakta luar biasa yang terasa) HAM bagi Indonesia. Terutama dalam proses politik transisi demokrasi saat-saat men- jelang dan paska turunya Soeharto pada 1998, bahkan sampai saat-saat akhir hidupnya.

Munir berhasil mencerdaskan dan mendidik publik Indonesia, terutama para pemerhati hukum dan HAM, lewat sebuah kejahatan yang dibongkarnya; penghilangan orang secara paksa. Kejahatan ini terbilang baru diketahui oleh masyarakat Indonesia. Hal ini wajar saja mengingat dominasi informasi yang dikuasai pemerintah orde baru saat itu.

Akan tetapi Munir bertahan dan membongkar kejahatan tersebut, bahkan Munir mampu mengadvokasi korban penghilangan orang yang kembali, diantaranya Mugiyanto, Rahardja Waluyo Djati dan Nezar Patria, hingga menemukan pola dan pelaku; Tim Mawar Kopassus TNI. Akibat dari terkuaknya kejahatan ini, sejumlah nama yang diduga terlibat dan bertanggung jawab harus menjalani penghukuman dan dipecat dari kesatuan TNI. Meskipun proses hukum dan pemecatan sejumlah nama; seperti Letjen Prabowo Subiakto dan Muchdi PR, dikecam berbagi kalangan karena tidak sesuai dengan ukuran akuntabilitas HAM dan hukum, harus diakui bahwa hal tersebut merupakan kemajuan kecil dalam jabang bayi transisi demokrasi.

Munir tidak berhenti pada kasus diatas. Proses transisi memberikan ruang bagi sejumlah kalangan masyarakat sipil, terutama para korban pelanggaran HAM, bermunculan menuturkan penderitaan dan kerugiaan akibat represi militeristik rezim Orde baru. Sejumlah kasus bermunculan dan menghadirkan fakta baru; seperti kasus Talangsari Lampung 1989, kasus Pembantaian Tanjung Priok 1984. Termasuk kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi dimasa transisi politik di Indonesia; seperti kasus Trisakti 1998, Semanggi I 1998, Semanggi II 1999 dan kasus Timor Timur paska Jejak Pendapat 1999.

Munir selalu ada dan bicara lantang membela korban atas kasus-kasus diatas. Tak ayal, Munir mengecam akrobat sejumlah nama yang diduga terlibat ke- jahatan-kejahatan diatas. Bahkan pernyataan-pernyataan Munir untuk meyelamatkan transisi politik di Indonesia justru merisaukan nama-nama pelanggar HAM dalam posisi-posisi mereka dalam transisi politik.

Pertanyaannya kemudian, kenapa Munir dibunuh pada tahun 2004 menjelang Pemilihan Presiden putaran kedua? Adakah hubungan Pembunuhan Munir dengan proses pemilu tersebut? Spekulasi yang konspiratif bisa saja bermunculan, bahwa Munir dibunuh karena dendam pribadi sejumlah individu yang terganggu karir politiknya, atau dalam rangka menurunkan pamor salah satu calon peserta Pemilu pada 2004, atau memberikan pekerjaan rumit bagi pemerintahan terpilih hasil pemilu 2004 sehingga potensial dicap gagal dalam kinerja penegakan hukumnya.

Dinamika Kasus Munir
Semua hal diatas hanyalah spekulasi belaka sampai pemerintahan SBY dan institusi hukum dibawahnya mampu bekerja dengan berani dan cerdas. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintahan Yudhoyono, Polri, Kajagung dan Pengadilan. Namun jika dilihat ke belakang, terdapat catatan atas sejumlah tindakan, yang pernah diambil, mengalami kegagalan dan keberhasilan.

Dalam sejarah penanganan kasus Munir, Pemerintah Yudhoyono, membentuk tim adhoc; Tim Pencari Fakta (TPF) khusus pembunuhan Munir pada 2004. Sayangnya, hasil kerja TPF tidak pernah diumumkan ke publik. Kepolisian RI juga melakukan penyelidikan/penyidikan, walhasil membawa Pollycarpus ke Pengadilan. Meskipun, pada akhirnya Pollycarpus lolos dari dakwaan pembunuhan di Mahkamah Agung.
Dinamika tersebut sepertinya membuat Pemerintahan SBY, sempat kehilangan arah kerja dalam kasus Munir. Pemerintah dengan segala kapasitas dan institusi pendukungnya sempat membiarkan proses pengungkapan terhadap kasus Munir. Kontan, Hal ini menimbulkan respons dari sejumlah kalangan, termasuk masyarakat interna- sional.

Sebut saja, pelapor khusus PBB untuk Pekerja HAM, Pelapor khusus PBB untuk administrasi keadilan, sampai yang terakhir pelaporan khusus PBB untuk Pembunuhan diluar proses hukum, Philip Alston, mendesak pemerintah Indonesia segera mengungkap kasus Pembunuhan Munir. Harus diakui bahwa yang menjadi keprihatinan Internasional, saat ini, tidak lagi, soal ke-jahatannya, namun juga soal ketidak berdayaan Pemerintah dalam menangani kasus ini.

Membangun Kenyataan
Kerja kepolisian selama ini, terutama pada tim yang terakhir, haruslah diacungi jempol, karena mampu mendapati skenario baru pembunuhan Munir, menangkap Indra setiawan dan Rohainil Aini, sebagai pihak yang diduga terlibat memberi surat tugas yang janggal kepada Polly carpus; Pilot Garuda yang diduga sebagai pembunuh Munir, namun dinyatakan tidak terbukti oleh MA.

Akan tetapi hal tersebut belum cukup, mengingat belum ada akomodasi fakta yang valid dan penghukuman yang sepatutnya atas kejahatan ini. Negara, secara resmi, masih belum mengakui fakta bahwa Munir mati dibunuh. Padahal ini terbukti dengan kandungan racun arsenik yang melibihi ambang batas mematikan dalam tubuh Munir. Hal ini diperkuat dengan belum adanya satupun subyek hukum yang dihukum. Terlebih-lebih masih belum mengungkapkan motif pembunuhan terhadap Munir.

Mengingat bahwa perkembangan hukum kasus Munir tidak konstan maka perlu sebuah tindakan dan hasil yang signifikan dalam penaganan kasus Munir. Ukuran signifikan adalah terungkapnya semua pelaku disemua tingkatan; pemberi perintah kejahatan, perencana kejahatan, pelaksana, pihak yang turut serta membantu dihukum.

Selain itu, mengingat kasusnya dilakukan secara sistematis, melibatkan sejumlah oknum di institusi tertentu, maka seharusnya kasus ini bisa digunakan untuk menuntut perbaikan institusi-institusi dimana oknum-oknumnya terlibat atau menyalahgunakan kekuasaan. Juga, pemerintah harus mampu menjamin aktifitas pekerja HAM dan Demokrasi di negeri tercinta Indonesia ini. Semua kecurigaan dan prasangka dalam kasus Munir harus dijawab oleh kerja yang serius dari pemerintahan SBY, terutama Polri, Kejaksaan Agung dan Pengadilan. Mitos Fatamorgana penegakan hukum di Indonesia bagi masyarakat harus dikikis. Kasus Munir bisa menjadi pintu masuknya.

Penulis adalah Head of Impunity Watch and Institution Reform Kontras (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) Commission for "Disappeared" and Victim of Violence