penegakan ham: Negara Tak Beri Rasa Keadilan kepada Korban

Jakarta, Kompas – Negara dinilai semakin tidak punya sikap politik jelas, apalagi kemauan kuat, baik untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat maupun untuk memberikan rasa keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat dan keluarga mereka.

Penilaian itu tercetus dalam jumpa pers Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jumat (18/5), yang juga dihadiri dosen Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia Bambang Widodo Umar.

Menurut para aktivis Kontras dan Widodo Umar, ketidakpedulian negara seperti itu tampak dari pernyataan Jaksa Agung baru Hendarman Supandji, yang mengusulkan kasus pelanggaran HAM ditangani sebagai kasus pidana biasa.

Selain itu, ketidakpedulian juga terlihat dari kenyataan masih adanya sejumlah prajurit TNI pelaku pelanggaran HAM di masa lalu, yang belakangan diketahui malah menduduki posisi jabatan penting, baik dalam pemerintahan maupun dalam institusi TNI.

Mereka mencontohkan kondisi seperti itu terjadi pada beberapa mantan anggota Tim Mawar Kopassus, yang sebelumnya diadili karena terlibat dalam penculikan sejumlah aktivis pada tahun 1997-1998.

Dalam vonis Mahkamah Militer Jakarta Timur, 6 April 1999, delapan prajurit Kopassus dihukum 22 bulan hingga 26 bulan dan dipecat, sementara tiga lainnya divonis 15 bulan tanpa pemecatan. Tiga orang dari mereka sekarang menduduki jabatan strategis di TNI.

"Dari hasil pengadilan militer itu saja kita bisa melihat seperti apa kualitas hukumannya. Sampai sekarang dari pengadilan itu kita juga tidak pernah tahu seperti apa sebenarnya rantai komando (perintah) penculikan atau bagaimana nasib ke-14 korban mereka," ujar Sri Suparyati dari Kontras. (DWA)