Langkah Berliku Suciwati

Ia gigih menuntut keadilan, meski harus terbang ke luar negeri dan meninggalkan anak.

Rakyat bersatu, tuntaskan kasus Mei
Rakyat bersatu, tuntaskan kasus Mei
Pak SBY, tuntaskan kasus Mei
Pak SBY, tuntaskan kasus Mei

Yel-yel itu mengoyak udara sore di bilangan Jatinegara Kaum, Jakarta Timur. Dipimpin perempuan muda berkerudung, sekitar 50 orang anggota keluarga korban prahara Mei 1998, yang meriung di sebuah panggung, begitu bersemangat memekikkannya. Mereka, hampir semuanya ibu-ibu, berteriak seraya mengacungkan kepalan tangannya.

Suciwati, istri mendiang aktivis hak asasi manusia Munir, yang hadir dalam pertemuan Selasa sore pekan lalu tersebut, juga tak kalah antusias memekikkan yel-yel itu. Kepalan tangannya mengacung, pekikannya menyentak.

Beberapa saat kemudian, Suci–sapaan akrab perempuan 39 tahun itu–didaulat berpidato. "Ibu-ibu dan bapak-bapak yang terhormat, kita jangan pernah menyerah," katanya berapi-api. "Kita bersama-sama harus terus menuntut dituntaskannya kasus pelanggaran HAM yang menimpa keluarga kita," Suci menambahkan, yang disambut tempik riuh hadirin.

Dalam pidatonya, Suciwati juga berbagi pengalaman seputar upayanya menuntut pengungkapan kasus suaminya, Munir, yang tewas diracun dalam penerbangan ke Belanda pada 7 September 2004. Kepada hadirin yang tergabung dalam Paguyuban Mei dan Forum Keluarga Korban Mei 1998 itu ia menyatakan permintaannya hanya satu: temukan aktor utama pembunuh Munir.

Ya, sudah sekitar dua setengah tahun berlalu, dan kasus Munir masih berselimut kabut. Toh, Suciwati pantang berpangku tangan. Ia terus melangkah, menagih aparat dan orang-orang di jajaran teras negeri ini agar mengungkap kasus itu secara tuntas.

Dan kehadirannya dalam pertemuan di Jatinegara Kaum sore itu merupakan bagian dari langkahnya menuntut keadilan. Menurut Suciwati, keluarga korban adalah pihak yang disakiti. Makanya, ia merasa sangat penting untuk berada di antara mereka. "Itu demi saling memperkuat dan menjaga solidaritas untuk terus-menerus mencari keadilan," penerima gelar Asia’s Heroes 2005 versi majalah Time Asia itu menjelaskan.

Suciwati kemudian muncul sebagai sosok yang gigih menuntut agar serangkaian kasus pelanggaran hak asasi diusut tuntas. Bersama sejumlah korban–dari kasus tragedi 1965, Talangsari, Jenggawah, Trisakti, Semanggi, hingga kerusuhan Mei 1998–ia menggelar aksi diam setiap Kamis sore. Aksi diam di depan Istana Negara itu terinspirasi oleh aksi para ibu di Plaza De Mayo di Buenos Aires, Argentina, yang anak-anaknya hilang oleh junta militer pada 1970-an.

Yang pasti, kini di sela-sela kesibukannya sebagai Sekretaris Program Yayasan Tifa, Jakarta, Suciwati terus berjuang mencari keadilan. Beruntung, kantornya ikut mendukung. "Yang penting ada laporan yang jelas," katanya tentang kebijakan tempat kerjanya sejak 2004 itu.

Kantor Yayasan Tifa, Pukul 12.15

Biasanya Suciwati telah berada di kantornya sekitar pukul 9 pagi. Tapi, Selasa pekan lalu, ia baru tiba di kantornya di Jalan Jaya Mandala, Menteng Dalam, Jakarta Selatan, sekitar pukul 12.15. "Saya tadi ada pertemuan dengan orang Kedutaan Kanada," katanya sesaat setelah tiba di kantornya.

Menurut Suciwati, ia mendapat undangan dari sejumlah lembaga penggiat hak asasi di Kanada. Mulai pekan ini hingga awal bulan depan, ia bersama beberapa rekannya akan bertandang ke negeri itu. Rencananya, Suciwati akan kembali menggalang dukungan internasional demi menuntaskan kasus Munir dan pelanggaran hak asasi lainnya di Tanah Air.

Untuk kesekian kalinya Suciwati kembali mengadu kepada dunia. Tahun lalu, misalnya, ia meluncur ke markas Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat. Di Negara Abang Sam itu, ia juga bertemu dengan sejumlah anggota Kongres Amerika Serikat di Washington. "Saya terpaksa ke luar negeri karena sampai sekarang belum menemukan keadilan di sini," ujarnya ketika kami berbincang di ruang kerjanya di lantai dua gedung Yayasan Tifa.

Sebetulnya, jauh sebelum kasus Munir bergulir, Suciwati telah terbiasa menempuh jalan berliku mencari keadilan. Persisnya pada pertengahan 1990. Ia meninggalkan profesinya sebagai guru bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas Cokroaminoto, Malang, Jawa Timur. Suciwati kemudian memilih menjadi buruh pabrik jaket kulit. "Saya melamar memakai ijazah SMA," lulusan Program Diploma II Bahasa dan Sastra Indonesia, IKIP Negeri Malang, itu mengisahkan.

Keputusannya itu dilatari oleh keprihatinannya melihat nasib buruh yang indekos di sekitar rumahnya di bilangan Mergosono, Malang. Mereka enjoy saja dieksploitasi. "Dengan menjadi buruh pabrik, saya ingin menyadarkan mereka sehingga tenaganya tidak dieksploitasi terus," tuturnya.

Benar saja. Sejak menjadi buruh pabrik garmen di kawasan industri Bandulan, Malang, Suciwati aktif mengorganisasi rekan-rekannya. Mula-mula ia giat berdiskusi dengan para buruh sejumlah pabrik di sana, membicarakan segala hal yang menyangkut nasib mereka. Setelah itu, ia dan teman-temannya membentuk Kelompok Buruh Malang.

Di tempat kerjanya sendiri, Suciwati giat memimpin demo menentang ketidakadilan yang kerap menimpa rekan-rekannya. Perempuan kelahiran Malang, 28 Maret 1968, itu juga mengusulkan pembentukan serikat buruh. "Nah, saat itulah saya dipanggil bos," katanya mengenang.

Suciwati lalu diajak makan di sebuah restoran mewah di Hotel Kartika Prince, Malang. Si bos, seorang pria Korea, menawarinya menjadi anggota staf dengan gaji besar. Ia juga diiming-imingi melanjutkan kuliah. Tapi, syaratnya, Suciwati harus meninggalkan kegiatannya memobilisasi rekan-rekannya. "Saya menolak dan kemudian di-PHK," ujarnya. "Padahal saya baru bekerja sekitar empat bulan."

Saat itu awal April 1991. Nah, ketika mengurus proses hukum PHK, Suciwati bertemu dengan Munir. Pria berambut dan berkumis pirang itu adalah pengacara di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang yang menangani kasusnya. Sejak itu, keduanya menjadi dekat, terutama karena mereka sama-sama menaruh perhatian pada nasib buruh.

Kira-kira lima tahun berselang, mereka menikah. Menurut Suciwati, ada sejumlah hal yang membuatnya menerima lamaran Munir. Selain orangnya lucu, Munir juga memiliki banyak kecocokan dengannya. Mereka sama-sama datang dari keluarga egaliter, yang senantiasa menghargai orang. "Lalu apa yang saya yakini juga diyakini Munir, begitu pula sebaliknya," tuturnya. "Jadi kami memiliki kesamaan frame berpikir."

Lalu mereka hijrah ke Jakarta. Setelah dua tahun menikah, pasangan itu dikaruniai anak, Soultan Alif Allende. Nama anak pertama ini terinspirasi oleh Salvador Allende, pejuang hak asasi manusia dari Cile, Amerika Latin, yang sangat dikagumi Munir. Sekitar tiga tahun berselang, lahir anak kedua, Diva Suu Kyi Larasati. "Kalau nama anak kedua terilhami pejuang perempuan Birma, Aung San Suu Kyi, yang memang saya kagumi," Suciwati menerangkan.

Waktu berlalu, hingga petaka kematian Munir pun datang merampas kebahagiaan keluarga itu. Saat mendengar kabar kepastian suaminya meninggal, tiba-tiba Suciwati merasa hidupnya melayang. "Meski risiko seperti ini pernah kami diskusikan saat Munir masih hidup, saya syok sekali," katanya getir.

Menurut Suciwati, kalau boleh tawar-menawar dengan Tuhan, ia ingin berganti tempat dengan Munir. "Sebab, bagi saya, Munir lebih dibutuhkan untuk perjuangan menegakkan keadilan di negeri ini," tutur peraih penghargaan hak asasi manusia dari Human Rights First, Amerika, itu.

"Wah, sudah jam tiga, nih. Saya harus siap-siap pergi ke Jatinegara Kaum," ujar Suciwati. Ia tampak bergegas ke kamar mandi untuk berkemas. Baju lengan panjang putih bergaris-garis cokelat yang dikenakannya sedari pagi telah berganti. Kini ia mengenakan kaus lengan panjang garis-garis berwarna abu-abu dan hitam. Sedangkan celananya tetap, jins warna biru tua.

Kami meluncur di atas Isuzu Panther krem metalik milik Tempo. Sore itu, rencananya Suciwati akan menjadi tamu dalam pertemuan keluarga korban tragedi Mei 1998. Dalam acara yang digelar di kampung kumuh di Jatinegara Kaum, Pulogadung, Jakarta Timur, itu ia juga akan berbagi pengalaman dengan para korban pelanggaran hak asasi manusia tersebut.

Pertemuan Keluarga Korban Kasus Mei, Jatinegara Kaum, Pukul 16.30

Dalam perjalanan menuju Jatinegara Kaum, Suciwati sibuk membaca SMS dan kemudian membalasnya. Ia juga menelepon sejumlah rekannya. Wajahnya tampak semringah ketika menghubungi anak-anaknya di rumahnya di Jaka Sampurna, Bekasi, Jawa Barat. Sesekali tawa renyahnya membuncah.

Kami tiba di tujuan ketika matahari telah condong ke barat. Sinarnya yang keemasan mengiringi kami menyusuri gang sempit menuju lokasi pertemuan. Sepanjang perjalanan, sejumlah orang yang berpapasan dengan Suciwati menyapanya ramah. "Halo, Bu Munir," kata mereka, yang dibalas senyuman oleh Suciwati.

Lokasi pertemuan para anggota keluarga korban kasus Mei 1998 itu berada persis di pinggir rel kereta api. Di atas panggung seluas sekitar 6 x 6 meter yang beralas karpet, sekitar 50 orang anggota keluarga korban duduk meriung. Begitu melihat Suciwati datang, mereka segera bangkit dan menyalaminya. Beberapa di antara para ibu malah memeluk istri almarhum Munir itu.

Acara yang dimulai sekitar pukul 15.00 itu dihadiri pula beberapa penggiat hak asasi lainnya. Selain Suciwati, tampak Nursjahbani Katjasungkana dan Rieke Dyah Pitaloka. Ketiganya mendapat giliran menyampaikan orasinya. "Acara seperti ini penting untuk memperkuat langkah kita menuntaskan pelanggaran HAM," ujar Suciwati sesaat setelah berorasi.

Sekitar pukul 17.50, Suciwati pamit. Petang itu ia telah ditunggu tim pengacaranya yang tergabung dalam Komite Solidaritas untuk Munir di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di Jalan Borobudur, Menteng, Jakarta Pusat. Suciwati akan berkonsultasi dengan tim kuasa hukumnya untuk mengajukan banding atas gugatan perkara perdata melawan PT Garuda Indonesia.

Kantor Kontras, Pukul 19.00

Setiba di kantor Kontras, ketua tim kuasa hukum Suciwati, Asfinawati, telah menunggu. Tak lama berselang Suciwati kemudian terlibat diskusi cukup serius dengan tim kuasa hukumnya. Meski begitu, tawa renyah mereka sesekali meledak. Riuh-rendah.

Malam sekitar pukul 20.00, pertemuannya dengan tim kuasa hukumnya selesai. Suciwati kemudian bergegas pulang ke rumahnya. Menurut dia, hingga kini kedua anaknya masih suka kangen dengan Abahnya–panggilan mereka kepada Munir. Khususnya Alif, yang sempat merasakan kedekatan sangat intens dengan bapaknya.

Bila mereka menanyakan bapaknya, kata Suciwati, ia akan memberi penjelasan bahwa Abah tak ke mana-mana. Abah ada di sini, di hati kita. Untungnya, kedua buah hatinya kini tumbuh menjadi sosok yang mandiri dalam kehidupan dan pikiran. "Mereka sudah bisa menerima keadaan."

Itu kian memberi kekuatan kepada Suciwati untuk terus mencari keadilan atas kematian suaminya, meski ia harus terbang ke sejumlah negara. Menurut dia, kalau ia menemukan keadilan di sini, kenapa harus membuang-buang waktu ke luar negeri dan meninggalkan anak segala? "Sebab, saya merasa lebih nyaman bila berada di pelukan anak," katanya. NURDIN KALIM