Arti Kasus “Orang Hilang” dalam Reformasi TNI

Arti Kasus "Orang Hilang" dalam Reformasi TNI

Bertepatan dengan kurun waktu 9 tahun reformasi digulirkan agenda penuntasan kasus pelanggaran HAM mencuat kembali. Hal ini terkait kasus penghilangan dan penculikan aktivis prodemokrasi 1997-1998. Kali ini akibat putusan Pengadilan Militer tingkat banding di Jakarta yang membatalkan pemecatan 10 anggota tim mawar Kopassus TNI AD, dan hanya menjatuhkan hukuman tambahan berupa pemecatan terhadap komandan tim tersebut; Mayor Inf Bambang Kristiono. Bahkan 4 orang di antara mereka, oleh Mabes TNI telah diberikan jabatan baru-sebagai Dandim dan Danyon-dan kenaikan pangkat. Layakkah tindakan ini diberikan ketika korban tidak mendapatkan efek apa pun dari penghukuman tersebut? Ketika ‘mereka’ yang dihilangkan masih belum diketahui nasibnya? Selain itu, seperti apakah reformasi TNI seharusnya dilakukan di Indonesia?

HAM dan Reformasi TNI
Sejak tahun 2000, Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadi bagian penting dalam dasar hukum dan politik bangsa Indonesia. Bahkan dalam UU nomor 10 tahun 2004 tentang tata cara penyusunan peraturan per-UU-an, HAM menjadi salah satu hal penting untuk diperhatikan dalam menyusuan UU apa pun di Indonesia. Hal ini yang kemudian yang tertuang dalam UU nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, di mana HAM menjadi salah satu dasar keberadaan TNI dalam menjalankan fungsi pertahanan negara dan fungsi-fungsi lainnya. Namun sayang, dalam praktiknya norma HAM tersebut kehilangan daya tafsirnya. Seharusnya makna HAM dilihat secara lebih luas dan kontektual.

Pertama, secara prinsipil, bahwa HAM berlaku melampaui hukum. Artinya, hukum hanya menjadi alat menjamin pemenuhan HAM. Hukum tidak bisa membatasai pemenuhan HAM, apalagi terhadap hak-hak dasar seperti hak atas kehidupan, hak untuk bebas dari penyiksaan dan tindakan kejam lainnya, hak untuk bebas dari perbudakan dan kerja paksa, hak untuk bebas dari penahanan karena hutang, hak untuk berpikir, berhati nurani dan beragama, hak untuk ditahan secara sewenang-wenang, hak atas peradilan yang bebas dan tidak memihak, hak untuk mendapatkan bantuan hukum, hak atas praduga tidak bersalah.

Karena sifat mendasarnya, pemberlakuan dan daya koreksi terhadap pelanggaran HAM di atas pun tidak mengenal waktu. Sampai saat ini, di Chile program reparasi terhadap korban penyiksaan rezim militer 1980-an masih berjalan. Demikian pula di Afrika Selatan, setelah lebih dari 10 tahun rezim demokratis berkuasa, penghukuman terhadap para pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu tetap dituntut ke pengadilan. Artinya, tidak ada pembatasan waktu mundur ke belakang (retro aktif) hanya karena kepentingan nama baik pelaku atau institusi tertentu.

Oleh karenanya, di Indonesia pemberlakuan HAM dan reformasi TNI tidak bisa semata-mata dilakukan secara ke depan (pascaperubahan Konstitusi pada 2000, disahkan UU Pertahanan Negara pada 2002 dan UU TNI pada 2004. Konsekuensi dari pemberlakukan HAM tersebut adalah penghormatan (ke masa depan) dan koreksi (masa lalu) atas perilaku anggota TNI yang membuat kebijakan, penanggung jawab serta pelaku pelanggaran HAM di masa lalu juga penting.

Absurd
Keengganan mengoreksi kesalahan perilaku anggota TNI di masa lalu terlihat jelas dalam kasus penghilangan secara paksa dan penculikan aktivis prodemokrasi 1997-1998. Penyelesaian kasus ini sangat tidak solid dan diskriminatif. Di masa awal kasus ini terkuak, dibentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) hanya untuk sejumlah petinggi ABRI yang terlibat. Sementara bagi mereka yang berada di tingkat pelaksana kebijakan, digiring ke Mahkamah Militer. Dari dua hal ini ada sejumlah persoalan di mata akuntabilitas dan transparansi. Pertama, ada pemisahan pola penyelesaian sehingga mengaburkan bentuk sistematisnya kejahatan penghilangan dan penculikan anak bangsa yang pro demokrasi. Kedua, pemeriksaan dan hasilnya, dilakukan secara tertutup hingga masyarakat tidak mengetahui apa dan bagaimana kejahatan tersebut terjadi dan apa serta bagaimana penghukumannya. Paling tidak informasi atas proses tersebut menjadi penting (hak) bagi keluarga korban yang anak-anaknya masih hilang.

Ketiga, peradilan militer atas tim mawar, menggambarkan bagaimana upaya pemeriksaan dan penghukuman didominasi oleh institusi militer (hakim dan penuntut umumnya serta penyelidiknya adalah anggota TNI). Keempat, substansi permasalahan dalam peradilan militer terhadap tim Mawar hanya mengenai penculikan terhadap mereka yang telah kembali, tidak termasuk mereka (13 orang) yang masih hilang hingga saat ini. Bahkan ditingkat banding, yang argumentasi hukumnya disimplifikasi menjadi tanggung jawab si komandan yang gagal memberikan contoh bagi bawahan (pasal 6 KUHPM). Artinya Peradilan Militer tersebut, tingkat pertama atau pun tingkat banding, tidak menyelesaikan masalah apa pun dari persoalan pokok pelanggaran HAM dalam kasus ini; hilangnya anak manusia.

Padahal jelas bahwa pencapaian keadilan tidak bisa semata-semata mengandaikan sisi substansi, akan tetapi sisi prosedural juga menjadi penting. Kasus peradilan militer terhadap tim mawar menjadi gambaran utuh bagaimana ketidak tersediaan prosedur, seperti penyediaan informasi dan pelibatan masyarakat yang baik dalam sebuah lembaga korekstif; yaitu peradilan (militer) hanya akan mengaburkan substansi persoalan. Oleh karenanya wajar jika kemudian tak satu pun ‘mereka yang hilang’ kembali ke keluarganya dan para pelaku-tim mawar-tetap berada di institusi TNI, bahkan mendapat kenaikan pangkat dan mendapat jabatan baru. Kecuali komandan yang tetap dipecat dari kesatuan TNI.

Lebih jauh, absurditas upaya koreksi dan upaya reformasi TNI terlihat dalam upaya menggugurkan pasal penuntasan pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di masa lalu yang dijamin (salah satunya lewat pasal 43 ayat 2 UU nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM) oleh Bambang Kristiono, Komandan Tim Mawar, ke Mahkamah Konstitusi. selain itu, absurditas koreksi dan reformasi TNI, menuai keberulangan kekerasan (Repetiton of Violence) hal ini sangat jelas terlihat pada kasus penembakan Marinir (TNI AL) terhadap warga Alas Tlogo, Pasuruan. Patut dikawatirkan bahwa absurditas tersebut justru menjadi titik balik reproduksi kekerasan terhadap masyarakat.

Perlu Reformasi
Sampai di sini kita bisa mengatakan bahwa TNI telah membuang waktu mengoreksi institusinya terutama dari anggota-anggotanya yang patut dipertanyakan integritas dan loyalitasnya terhadap bangsa dan kemanusiaan. Seharusnya transisi politik sejak 1998 digunakan untuk membangun institusi yang profesional-secara substansial. Artinya keprofesionalan militer, terlebih-lebih masih menerapkan sistem komando teritorial, harus dibangun dengan membangun kepercayaan dari masyarakat lewat pembuktian penghormatan terhadap penghukuman atas pelanggarannya terhadap kemanusiaan. Hingga akhirnya, masyarakat merasa nyaman terhadap TNI.

Mengingat perannya yang dominan di masa lalu, seharusnya TNI mampu memberi arti proses transisi demokrasi di Indonesia.

Penulis adalah Kepala Divi si Pemantauan Impunitas dan Reformasi Institusi Kontras