Polisi untuk Perdamaian Aceh

Polisi untuk Perdamaian Aceh

Setelah Aceh damai dan konflik mereda, peran polisi otomatis menjadi penting. Polisi tidak hanya berfungsi memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat seperti diamanatkan dalam UU No 2/2002, tentang Kepolisian RI , akan tetapi berfungsi mencegah agar ketidakamanan. Apalagi dalam konteks Aceh yang baru saja meraih kedamaian pasca MoU Helsinki.

Pekerjaan Polisi, memang berat, apalagi secara internal masalah kepolisian pun masih bertumpuk dan harus diselesaikan. Penyelesaian kasus-kasus kekerasan masa lalu yang terjadi di Aceh, misal, harus mendapat perhatian khusus dari Polisi. Sehingga citra dan kinerja kepolisian ke depan lebih baik.

Konflik bersenjata dan penerapan operasi militer di Aceh, membuat peran polisi tidak bisa berfungsi maksimal. Polisi tidak mampu menjalankan perannya di antara kebijakan pemerintah yang ingin menumpas habis gerakan separatis bersenjata di Aceh. Malahan kepolisian terjebak dan terseret dalam setting pemerintah dalam mengamankan Aceh yang menggunakan cara-cara represif dengan pola militeristik. Cara-cara tersebut, sungguh sangat bertolak belakang dengan tugas dan fungsi Polisi itu sendiri. Sebab dalam UU kepolisian dinyatakan tegas bahwa fungsi Polisi adalah penegak hukum, memberi perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Pascapenandatanganan MoU antara pemerintah RI dan GAM di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005, peran Polisi semakin ditantang .

Situasi damai Aceh yang harus dipelihara, sebenarnya ruang yang tepat bagi polisi untuk kembali memainkan fungsinya sebagai institusi penegak hukum sekaligus menunjukkan eksistensinya selaku lembaga yang independen, mandiri tanpa intervensi dari pihak manapun. Di antara tantangan Polisi khususnya di Aceh, adalah kemampuan untuk mengungkap aksi kriminalitas yang belakangan ini marak terjadi.

Polisi harus lebih peka dan mampu menganalisis keadaan untuk keamanan dan ketertiban masyarakat. Kepekaan polisi, misal, ketika banyak pendapat yang melansir bahwa situasi ini sebagai efek dari lambannya proses reintegrasi di Aceh. Polisi harus bisa memberi jawaban, apakah itu benar? Atau jawaban bahwa itu hanyalah trik dan strategi orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk kembali menjerumuskan Aceh ke dalam konflik? Atau memang ketidakmampuan polisi dalam melaksanakan tugasnya?

Pada moment peringatan HUT ke-61 Polri (1 Juli), berbagai kasus dan persoalan hukum, keamanan dan ketertiban dalam masyarakat itu, harus mampu dijawab oleh Polri. Salah satu adalah menunjukkan keseriusan dan hasil dan proses kerja Polisi. Polisi tidak sekedar mencegah, tapi juga menemukan pelaku kejahatan hingga mereka pantas dijatuhi hukuman melalui pengadilan. Kecuali itu, eptugas polisi harus mampu mengendus fenomena terjadinya gangguan Kamtibmas, sehinga tidak terus terulang.

Pola dan pendekatan community police, seharusnya membuat Polisi dapat memberi dan meyakinkan masyarakat Aceh untuk mendukung kerja kerja kepolisian. Polisi mampu menumbuhkan kesadaran hukum kepada masyarakat sehingga secara bersama-sama mencegah dan memberantas kejahatan di daerah ini. Deteksi dini dan kemitraan Polisi dengan masyarakat harus bisa diciptakan lembaga kepolisian. Dengan demikian, kasus-kasus kekerasan, penggunaan senjata api yang tidak sesuai prosedur sering terjadi di Aceh, dapat
dihilangkan sama sekali. Kasus senpi ketika polisi menggelar razia di Kecamatan Lhoksukon pada tanggal 10 Juni 2007 dan menembak seorang warga yang mengakibatkan korban meninggal, keadaan tersebut masih menunjukkan sikap arogansi Polisi. Dengan kata lain, Polisi belum mampu mencegah diri dan menghindari penggunaan cara-cara kekerasaan dalam menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan masyarakat.

Polisi dan HAM

MoU Helsinki telah secara tegas memandatkan pada poin 4.12 tentang anggota polisi organik Aceh akan memperoleh pelatihan khusus di Aceh dan di luar negeri. Tujuannya, agar Polisi memiliki pengetahuan dan apresiasi terhadap hak asasi manusia. Artinya, anggota polisi tidak hanya terlatih menggunakan senjata api dan memeliki peiawaian dalam mencegah dan memberantas kejahatan, tapi juga memiliki penghormatan atas hak-hak asasi manusia. Karena sebagai polisi, mereka bukan berhadapan dengan benda mati, melainkan manusia atau masyarakat yang wajib dilindungi.

Pendekatan kekerasan yang ditampilkan petugas Polisi adalah suatu pelanggaran tugas dan fungsi polisi itu sendiri. Apalagi dalam situasi Aceh yang saat ini sedang merajut kedamaian. Tentu, pendekatan kekerasan tidak lagi menjadi model yang harus diterapkan kepolisian di Aceh. Polisi diharapkan benar-benar menjadi penjaga dan pengawalan keamanan rakyat, dan pengemban tegaknya hukum di Aceh. Polisi harus kuat dan independen, sehingga tidak rapuh dan diitervensi pihak mana pun dan oleh siapa pun.

Kesan masyarakat, bahwa Polisi kita tidak mampu dan berani menegakkan hukum yang benar, harus dijawab dengan komitmen Polisi. Misal, masyarakat menilai Polisi tidak mampu mengatasi permasalahan dan menangani proses penegakan hukum, karena adanya tekanan pihak-pihak berkuasa. Atau sebaliknya baru serius ketika ada tekanan dari pihak lain. Sebut saja kasus pemukulan TNI oleh masyarakat dan kasus pemukulan masyarakat oleh TNI yang terjadi di Desa Alue Dua, Kecamatan Nisam, Kabupaten Aceh Utara pada tanggal 20-24 Maret 2007, ternyata Polisi tidak memiliki nyali dan tidak berdaya ketika TNI melakukan intervensi, dan kemudian bersama-sama melakukan tindakan melanggar hukum terhadap masyarakat dengan melakukan pemukulan. Kalau sikap dan watak polisi seperti itu, maka rakyat kemana harus menggantungkan harapan untuk bisa aman dan mendapat perlindungan
hukum?

Sudah saatnya Polisi menyadari sejarah kelahiran dengan fungsi yang dimanatkan kepada lembaga ini. Kedamaian yang tercipta di Aceh pascabencana dan konflik, sebenarnya menjadi ruang untuk Polisi menegakkan kembali citranya. Ruang dan momen menebarkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap polisi sebagai pelindung masyarakat sipil agar mereka aman dan tertib. Inilah yang hendaknya direnung agar Polisi dirasakan perannya dalam kedamaian Aceh. Selamat ulang tahun.

2 Juli 2007

Asiah
Koordinator KontraS Aceh