Mempertanyakan Tanggung Jawab Negara dalam Perlindungan Integritas Personal Warga Negaranya

Mempertanyakan Tanggung Jawab Negara dalam Perlindungan Integritas Personal Warga Negaranya

 

Pada 1 Juli 2007, kepolisian RI baru saja merayakan hari jadinya ke-61 tahun. Di tengah upayanya untuk memperbaiki citra dan mereformasi diri, tampaknya kenyataan itu masih jauh dari harapan. Sebagai aparat penegak hukum, kepolisian masih menerapkan kekerasan yang konvensional, berupa penyiksaan serta tindakan merendahkan martabat manusia lainnya dalam menjalankan tugasnya. Dalam monitoring KontraS, selama kurun waktu Juni 2005-Juni 2006 sebanyak 25 kali peristiwa penyiksaan dilakukan oleh aparat kepolisian. Jumlah yang hampir setara pada kurun Juni 2006-2007, dimana terjadi 24 kasus serupa. Data ini tentu tidak menggambarkan praktek penyiksaan secara umum mengingat penelusuran data yang terbatas berbanding situasi aktualnya. Situasi yang dianggap lazim adalah melakukan penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan dari orang yang diduga pelaku tindak pidana. Padahal jelas setiap orang yang belum dibuktikan bersalah harus dianggap tidak bersalah (principle of presumption of innocence). Apalagi penerapan itu semakin diperkuat dengan upaya ‘serius’ oleh aparat kepolisian Densus 88 untuk memberantas terorisme yang diiringi dengan perlakuan penyiksaan kepada para tersangka.

Sementara aparat penegak hukum lainnya, Kejaksaan Agung tengah menanti tugasnya untuk mengeksekusi mati para terpidana yang saat ini sedang menjalani proses hukum. Dalam catatan KontraS, sebanyak 121 orang terancam dihukum mati karena melakukan tindak pidana pembunuhan, terorisme dan narkoba. Sementara 49 orang telah dihukum mati sejak tahun 1979. Penerapan hukuman mati ini masih diakui dalam beberapa aturan hukum pidana di Indonesia, selain juga diyakini efektif oleh sebagian kalangan di DPR, pemerintah, ahli-ahli hukum pidana bahkan Komnas HAM. Padahal berbagai penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa penerapan hukuman mati tidak menimbulkan efek jera. Penerapan hukuman mati juga tak dapat menghentikan peredaran narkoba, bahkan justru mempertebal semangat ideologis dalam kasus-kasus terorisme serta tidak memberikan fakta utuh peristiwa kekerasan di sebuah wilayah konflik. Saat ini, pro kontra terhadap hal tersebut tengah diuji di Mahkamah Konstitusi.  

Dua fakta di atas menunjukkan secara gamblang, sejauhmana tanggung jawa negara –lewat  institusi penegak hukumya- menjalankan perannya dalam dalam melindungi (atau tak melindungi) hak warga negaranya. Suatu hal yang cukup paradoks, karena Indonesia telah memiliki norma yang cukup untuk melindungi HAM. Apalagi diperkuat dengan amandemen ke-II UUD 1945 yang mengandung norma penghormatan (respect), pemenuhan (fullfill) dan perlindungan (protect) HAM secara khusus. Namun tampaknya hal itu tak menjadi landasan kuat karena aturan pendukung lainnya tak dapat berlaku efektif. Selain tentu tampak tak cukup kuat political will seluruh insitusi negara untuk bekerjasama dalam meformasi diri sebagai lembaga yang mejalankan konsitusi.  

Dalam kacamata prinsip hukum internasional, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang serta hak untuk tidak dihilangkan secara paksa merupakan perlindungan integritas personal yang dijamin oleh negara kepada warga negaranya. Hak-hak tersebut termasuk dalam hak yang fundamental, sehingga dalam pelaksanaannya hak ini tak bisa dikurangi dalam keadaan apapaun (non derogable rights) termasuk dalam keadaan perang. Bahkan hak untuk hidup diakui sebagai hak asasi manusia yang paling fundamental dan paling tinggi tingkatannya (the supreme human rights). Sementara komunitas internasional menempatkan tindakan penghilangan orang secara paksa sebagai induk pelanggaran HAM, karena melanggar empat jenis hak dasar, berupa pelanggaran atas hak untuk tidak disiksa, hak atas kebebasan dan keamanan, hak untuk diperlakukan sama di depan hukum dan hak untuk hidup.

Keseluruhan hak tersebut diatur jelas dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 tahun 2006. Secara khusus, aturan untuk bebas dari penyiksaan serta kewajiban negara diatur dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment), yang disahkan PBB pada 10 Desember 1984. Sementara hak untuk tidak dihilangkan secara paksa diatur dalam Konvensi Perlindungan terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Orang secara Paksa (International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance), yang baru disahkan PBB pada 20 Desember 2006.

Dalam berbagai Konvensi Hak Sipil Politik, hak asasi manusia bersubjek pada setiap diri manusia atau individu. Sehingga pihak yang mendapatkan suatu perlindungan dan pemenuhan HAM adalah seorang individu. Sehingga pemenuhan HAM harus mencakup setiap individu dan tidak terpisahkan (inalieanable) dari individu. Sementara setiap hak asasi yang melekat pada individu tentu mengandaikan negara (state) yang memiliki tugas dan kewajiban (duty-bearer) untuk memenuhi dan melindunginya.. Di satu pihak individu adalah pemegang hak (rights-holder) yang bisa menikmati segala kategori hak asasi yang tercantum dalam Kovenan ini, sementara di lain pihak negara memiliki kewajiban atau tugas untuk menghormati, melindungi dan memenuhi kewajibanya bagi setiap individu di bawah juridiksinya.

Sejauhmana Tanggung Jawab Negara?

Secara umum baik konstitusi, dasar negara (Pancasila) maupun UU tentang Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999 menegaskan hak individu serta kewajiban negara dalam menghormati, melindungi dan memenuhinya. Dalam pasal 28I ayat 1 UUD 1945 tegas disebutkan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum,dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusiayang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.

Namun pemerintah masih mengabaikan jaminan hak untuk hidup, walaupun konsitusi tegas menyatakannya. Dari catatan KontraS, hingga saat ini masih terdapat 11 UU dan 3 RUU yang masih menerapkan hukuman mati, termasuk dalam pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP. Hal ini yang mendasari para praktisi hukum untuk menerapkan hukuman mati. Langkah ini diikuti dengan berbagai kebijakan, seperti terlihat dari pernyataan Wapres Jusuf Kalla yang menolak usul Uni Eropa agar Indonesia menghapuskan pidana mati pada RUU KUHP yang baru.

Tampaknya penerapan hukuman mati masih akan diterapkan dalam sistem hukum Indonesia. Namun sedikit kemajuan tampak dari dimasukannya penerapan hukuman mati dengan pembatasan di dalam RUU KUHP, pasal 87 yang menyatakan Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun, jika: a). Reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; b). Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; c). Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan d). ada alasan yang meringankan Aturan ini juga masih dipertanyakan. Karena sesuai norma HAM, periode penundaan eksekusi yang berkepanjangan (death row phenomenon) terhadap seorang narapidana masih dianggap melanggar HAM.

Sementara jauh sebelum meratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Politik pada 2006 lalu, pemerintah telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan melalui UU No. 5 tahun 1998. Dalam konvensi dijelaskan bahwa terminologi ‘penyiksaan’ diterapkan pada individu yang sebagian haknya dibatasi oleh negara, seperti para tersangka, terdakwa maupun narapidana yang sedang menjalani proses hukum. Termasuk gugurnya suatu pemeriksaan jika dijalankan lewat tindakan penyiksaan. Hal ini didukung dengan panduan normatif aparat kepolisian untuk menjalankan proses hukum secara profesional, yaitu Aturan Perilaku Aparat Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enforcement Officials).

Namun sistem hukum nasional tidak memadai untuk menuntut tindakan penyiksaan. KUHP hanya mengatur tindak pidana penganiayaan. Sementara dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM hanya diatur tindakan penyiksaan dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. Akibatnya hampir sepuluh tahun berlaku, konvensi ini tak dapat bekerja secara efektif. Tak ada aturan pelaksanaan dalam sistem hukum nasional yang dapat mengimplementasikan penerapan konvensi, termasuk tidak adanya penghukuman yang jujur terhadap pelaku penyiksaan. Langkah maju diterapkan dalam pembahasan RUU KUHP. RUU ini memasukkan aturan tentang tindak pidana penyiksaan dalam bab Tindak Pidana Terhadap HAM.  

Untuk menjamin hak agar tidak dihilangkan secara paksa, Konvensi Orang Hilang merupakan perkembangan luar biasa dalam melawan impunitas. Konvensi ini mengatur kewajiban negara untuk mencegah tindakan penghilangan paksa. Secara khusus, konvensi menegaskan tindakan penghilangan paksa sebagai kejahatan yang berkelanjutan (continuing crimes) sehingga tidak mengenal batas waktu penuntutan hingga keberadaan maupun kejelasan korban diketahui.

Indonesia menyatakan komitmennya untuk mendukung pengesahan konvensi. Hamid Awaludin, Menteri Hukum dan HAM menegaskan hal tersebut dalam pidato dalam Sidang UN Human Rights Council, 13 Maret 2007. Komitmen tersebut kembali dituangkan dalam Sidang 116 Assembly Inter Paliamentary Union, 2 Mei 2007. Hingga saat ini belum ada tanda-tanda dari pemerintah Indonesia dan DPR untuk melakukan penandatanganan bagi persetujuan pengesahan konvensi tersebut.

Dari uraian di atas tampak bahwa institusi negara memiliki kewajiban strategis bagi perlindungan hak warga negaranya. Rakyat tentu berharap langkah nyata yang dilakukan pemerintah lewat komitmen dan janji (pledges) sebelum dipilih kembali menjadi anggota Dewan HAM PBB, Mei 2007. Harapan itu juga ditumpukan kepada para anggota Komnas HAM yang baru terpilih Juni 2007 lalu.

Reformasi sistem hukum lewat ratifikasi berbagai konvensi internasional termasuk konvensi induk tentang Hak Sipil dan Politik serta Hak Ekonomi Sosial Budaya tampaknya tak cukup. Semestinya langkah tersebut dapat berkontribusi positif bagi reformasi sistem hukum, khususnya revisi KUHP yang tengah berjalan. Mengingat proses amandemen KUHP ini telah berjalan lama, harus ada langkah khusus yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR untuk mempercepat pemberlakuan KUHP yang baru.

Namun lebih jauh diharapkan adanya konsistensi political will dari seluruh institusi negara termasuk penegak hukum untuk mereformasi diri dengan tidak mengintervensi pelaksanaan hak-hak asasi manusia. Secara khusus Komnas HAM diharapkan dapat turut serta melakukan pembenahan dan mendorong reformasi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan untuk pemenuhan hak warga negaranya. 
      

Indria Fernida
Kepala Bidang Operasional KontraS