Korban Tragedi 1965 Tuntut Jaminan Hak Sipil

JAKARTA — Para korban tragedi 1965 bersama lembaga penggiat hak asasi manusia, Kontras, mendesak Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia agar menjamin hak sipil. "Saat ini tidak ada lagi aturan yang jelas cara menangani korban," kata perwakilan Kontras, Haris Azhar, kemarin.

Haris menjelaskan Mahkamah Konstitusi telah mencabut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi. Namun, Departemen Hukum dan HAM belum membuat kebijakan soal pemenuhan hak para korban.

Padahal, katanya, "Pemenuhan hak menjadi mutlak untuk memenuhi proses rekonsiliasi." Saat ini, katanya, Kontras mencatat sedikitnya 15 peraturan pemerintah masih diskriminatif.

Kontras mendesak pemerintah agar membuat kebijakan strategis bagi penuntasan kasus pelanggaran hak asasi. Begitu pula peraturan yang menjamin pemenuhan hak para korban. Kontras juga mendesak dihapuskannya peraturan pemerintah yang diskriminatif.

Tuntutan serupa juga diserukan oleh korban peristiwa 1965, Tjasman Setyo. Menurut dia, para korban masih dianggap komunis yang menjadi musuh negara. "Saya ditetapkan sebagai anggota PKI tanpa proses yang jelas," ujarnya.

Sebagai mantan pegawai negeri sipil, sudah 40 tahun lebih ia tidak pernah mendapat uang pensiun. "Ini menunjukkan minimnya political will dari pemerintah," katanya.

Direktur Pemenuhan Direktorat Jenderal HAM Baldwin Simanjuntak menyatakan pemerintah sedang menyusun konsep pemenuhan hak para korban tersebut. "Pasca-pembatalan undang-undang itu, kami sudah menyusun konsep," ujarnya. YUDHA SETIAWAN