Kasus Wasior dan Wamena di Bawah Jaksa Agung Baru

Kasus Wasior dan Wamena di Bawah Jaksa Agung Baru

Terpilihnya Jaksa Agung yang baru, Hendarman Supanji yang menggantikan Abdurrahman Saleh masih menyisakan banyak pekerjaan rumah bagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran berat HAM di tanah air. Sejumlah peristiwa pelanggaran berat HAM yang melahirkan reformasi seperti peristiwa Trisakti Semanggi I dan II, kerusuhan Mei 1998 serta penculikan aktivis 1997/1998 menjadi tuntutan besar mahasiswa dan masyarakat sipil untuk diproses secera hukum, dalam hal ini lewat mekanisme Pengadilan HAM (UU No. 26 tahun 2000). Seluruh kasus-kasus di atas mandeg ditahap penyidikan, yang menjadi tugas Jaksa Agung.  Di antara tunggakan kasus-kasus tersebut juga terdapat kasus Wasior dan Wamena, yang terjadi di Papua. Meski Papua identik dengan persoalan pelanggaran HAM (masa lalu) yang sistemik, hanya kedua kasus (Papua) di atas yang sedang ditangani melalui proses hukum, yaitu mekanisme Pengadilan HAM.

Tak lekang dari ingatan masyarakat di Wasior dan Wamena akan terjadinya sebuah kejahatan kemanusiaan pada 2001 dan 2003 lalu. Dalam dua peristiwa tersebut, puluhan masyarakat sipil menjadi korban karena diduga melakukan tindak kekerasan terhadap  aparat kepolisian dan TNI. Akibat pengejaran kepada pihak-pihak yang diduga pelaku, terjadilah peristiwa kekerasan yang semakin meluas dan menimbulkan banyak korban, termasuk perempuan dan anak-anak. Pengejaran itu juga meluas ke kampung-kampung sekitar hingga para penduduk ketakutan dan harus meninggalkan rumah mereka.

Sudah hampir tiga tahun, tidak ada perkembangan hukum untuk kasus Wasior Wamena. Sebelumnya, Komnas HAM telah menyerahkan berkas penyelidikan kepada Kejaksaan Agung pada 3 September 2004 melalui surat No. 290/TUA/IX/2004. Dalam kesimpulannya, Tim ad hoc Penyelidikan Komnas HAM menyatakan adanya bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya pelanggaran HAM yang berat pada Wasior dan Wamena. Pelanggaran HAM berat itu berupa  tindakan pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, dan  penghilangan secara paksa untuk kasus  Wasior dan  pembunuhan, penyiksaan, perampasan kemerdekaan dan pengusiran penduduk untuk kasus Wamena.

Namun Jaksa Agung mengembalikan berkas tersebut pada 30 November 2004 melalui surat No. R-209/A/F.61/11/2004 dengan alasan penyelidikan Komnas HAM belum lengkap. Di akhir Desember 2004, Komnas HAM menyerahkan kembali hasil penyelidikannya melalui surat No. 376/TUA/XII/2004.

Dalam penjelasan kepada KontraS di awal tahun 2004, Jaksa Agung yang diwakili oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Sudhono Iswahyudi dan Direktur Penanganan HAM, I Ketut Murtika menyatakan penyelidikan Komnas HAM memiliki kekurangan karena tidak memenuhi persyaratan formil dan materil. Persyaratan formil itu berupa sumpah jabatan dan syarat membuat berita acara. Sementara kekurangan persyaratan materil berupa kurangnya bukti (termasuk visum and repertum) serta kurang jelasnya pelaku. Pada kesempatan lain, Jaksa Agung Hendarman Supanji menyatakan akan menjalankan proses pemeriksaan berdasarkan hukum dan tidak mau melanggarnya (Mei 2007).

Alasan Kejaksaan Agung jelas mengada-ada. Dalam pengalaman penyelidik tim ad hoc Komnas HAM sebelumnya, penyelidik untuk kasus Timor Timur dan Tanjung Priok tidak disumpah dan tidak membuat berita acara penyelidikan. Jaksa Agung langsung membentuk tim penyidik ad hoc untuk melakukan penyidikan. Selain itu, baik UU No. Pengadilan HAM maupun Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana justru mensyaratkan kewajiban adanya sumpah jabatan serta pembuatan berita acara dilakukan oleh penyidik, dalam hal ini Kejaksaan Agung (pasal 21 ayat 4 UU Pengadilan HAM serta pasal 75 KUHAP).

Di sisi lain, jika bukti-bukti yang diajukan penyelidik dianggap kurang, maka penyidik memiliki kewenangan yang lebih kuat untuk melengkapi bukti-bukti tersebut. Dalam pasal 7 KUHAP disebutkan bahwa penyidik memiliki kewenangan untuk melakukan penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledehan. Bahkan penyidik memiliki kewenangan yang lebih kuat untuk memanggil para saksi, termasuk saksi dari aparat TNI dan Polri.

Sementara itu alasan pengembalian berkas itu juga tak cukup kuat secara hukum. Dalam pasal 20 UU tentang Pengadilan HAM disebutkan bahwa pengembalian berkas oleh penyidik kepada penyelidik hanya dapat dilakukan bila hasil penyelidikan “belum lengkap”. Mengacu pada penjelasannya, hal itu berarti “belum cukup memenuhi unsur pelanggaran HAM yang berat”. Artinya jika Komnas HAM sudah menyimpulkan “adanya dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat”, maka tidak ada alasan lain dari Kejaksaan Agung selain segera melakukan penyidikan.

Langkah itu harus segera diwujukan dengan segera membentuk tim penyidik ad hoc untuk kasus Wasior Wamena. Segera setelah penyidikan selesai, Kejaksaan Agung harus melakukan penuntutan terhadap para pelaku yang bertanggungjawab. Tak juga ada alasan politis bagi ditundanya pembentukan pengadilan HAM, karena pelaku pelanggar HAM dapat diadili lewat mekanisme Pengadilan HAM (permanen), sesuai dengan pasal 45 UU tentang Pengadilan HAM.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa sejak tahun 2004 penyidikan tak kunjung dilakukan? Padahal secara hukum tak ada ruang politisasi dari DPR dalam proses ini, sebagaimana pada kasus-kasus lain (TSS dan Mei 1998), yang peristiwanya terjadi sebelum berlakunya UU No. 26/2000. Apakah persoalannya terletak pada kemauan politik (political will) semata atau kuatnya intervensi pada Kejaksaan Agung, baik secara institusi maupun individu? 

Terlepas apapun alasannya, harapan korban terletak di tangan Jaksa Agung yang baru. Keberanian untuk melakukan penyidikan serta terlibat aktif melakukan pembenahan sistem dalam mekanisme Peradilan HAM menjadi salah satu tantangan besar. Sangat disayangkan bahwa reformasi hukum yang sedang berlangsung, sama sekali belum menyentuh perbaikan di bidang penegakan masalah hak asasi manusia. Meski harus diakui adanya celah-celah interpretatif dalam UU tentang Pengadilan HAM, Jaksa Agung baru harus berani melakukan terobosan hukum yang sensitif terhadap kepentingan korban. Pengalaman kelemahan proses Pengadilan HAM peristiwa Abepura (2000) yang akhirnya membebaskan para pelaku harus menjadi pelajaran penting yang harus dipetik oleh para penegak hukum, termasuk penuntut umum Kejaksaan Agung. Dituntut political will, keseriusan atas pembuatan dakwaan yang lengkap serta upaya pembuktian yang maksimal.

Selain itu, diharapkan pula Jaksa Agung dapat turut serta mendorong terobosan-terobosan strategis bagi berlangsungnya proses peradilan yang efektif. Kebutuhan pembuktian yang cukup temasuk pemeriksaan lokasi peristiwa maupun kesaksian para korban membuat berdirinya Pengadilan HAM di Papua menjadi hal yang mendesak. Sementara jaksa penuntut umum yang mewakili kepentingan korban juga harus secara aktif merumuskan pemenuhan hak-hak korban yang disesuaikan dengan kerugian serta budaya masyarakat Papua. Hak-hak itu termasuk pembukaan atas peristiwa yang sesungguhnya terjadi (truth), diadilinya para pelaku (justice) serta pemberian kompensasi (compensation), restitusi (restitution) dan rehabilitasi (rehabilitation), baik secara individu maupun komunitas.  

Terakhir, harapan akan keadilan bagi korban Wasior dan Wamena hanyalah sebagian kecil harapan dari banyak korban pelanggaran HAM di seantero wilayah Papua. Pemenuhan rasa keadilan bagi korban di Wasior dan Wamena harus menjadi pintu masuk bagi terjaminnya ketidakberulangan peristiwa pelanggaran HAM di masa yang akan datang. Keadilan buat korban di Papua bisa menjadi salah satu kontribusi penting pada penyelesaian masalah Papua yang lebih luas. Semakin lama keadilan ditunda, semakin sulit keadilan bisa diwujudkan dan publik (Papua) akan lupa apa itu konsep keadilan.

Indria Fernida

Kepala Bidang Operasional KontraS