“Potret Hitam Diskriminasi berbasis Rasial, Etnik dan Keturunan Di Indonesia”

”Potret Hitam Diskriminasi berbasis Rasial, Etnik dan Keturunan Di Indonesia”
( Sidang laporan pemerintah Indonesia untuk konvensi anti diskriminasi rasial /CERD )

 
HRWG, mewakili anggota koalisi Ngo Ham di Indonesia akan mengikuti sidang Komite anti Diskriminasi Rasial PBB pada tanggal 8-9 Agustus 2007 di Jenewa yang akan membahas laporan Pemerintah Indonesia mengenai pelaksaan Konvensi Anti Diskriminasi Rasial (CERD). Pemerintah RI telah mengirimkan laporannya pada tahun 2006.

Laporan pemerintah tersebut adalah laporan Periode untuk tahun 1999 sampai 2004. Akan tetapi, laporan pemerintah ini merupakan laporan gabungan antara Laporan Pertama (Initial) dengan laporan periodik/berkala. Seyogyanya Pemerintah menyerahkan laporan Initial pada tahun 2000 (satu tahun setelah meratifikasi). Dan kemudian menyerahkan laporan periodik pertama pada tahun 2002, setelah itu menyerahkan laporan periodik kedua pada tahun 2004. Dengan demikian penyampaian laporan periodik/berkala terlambat sampai 2 (dua) kali keterlambatan.

Dalam sidang Komite Anti Diskriminasi Rasial ini, HRWG beserta sebagian anggotanya antara lain GANDI, KontraS, MADIA, Aman, Desantara, Elsam, JKMA-Aceh, PIAR-NTT, Foker LSM-Papua, LAPAR-Kalimantan, Elpagar-Kalbar (sekitar 25 lembaga yang berasal dari Jakarta dan beberapa daerah lain) membuat laporan Alternatif sebagai tandingan laporan Pemerintah. Pembuatan laporan alternatif ini merupakan hak legal dari kelompok NGO ynag diakui oleh mekanisme PBB dan konvensi anti diskriminasi rasial.

Disamping laporan alternatif dari HRWG dan anggotanya, juga ada laporan alternatif dari Sawit Wacth dalam mekanisme peringatan (Early Warning procedure) Sistem Konvensi Anti Diskriminasi Rasial dan Asian Indigius & tribal people network.

Fakta yang terhapus
Dalam laporan pemerintah berbagai peristiwa dan fakta penting tentang diskriminasi berbasis CERD banyak yang dimanipulasi atau bahkan tidak dimasukkan dalam laporan tersebut, misalnya saja peristiwa kerusuhan MEI 98 yang mengorbankan perempuan etnis tionghoa yang sampai saat ini tidak ada penyelesaian apapun. Dalam laporan pemerintah kasus Mei 98 dikatakan telah diproses. Begitu pula kasus kerusuhan Sampit dan Sambas yang masih meninggalkan persoalan lain seperti ’luka’ sosial yang belum terselesaikan dan persoalan pengungsi yang terabaika.

Disamping fakta/peristiwa dalam laporan tersebut juga kebijakan hukum dan implementasinya yang juga di manipulasi dan dikaburkan oleh pemerintah Indonesia. Dalam laporan pemerintah dikatakan bahwa kebijakan anti diskriminasi rasial untuk Tionghoa telah dihapus, padahal belum sepenuhnya dihapus dan implementasinyapun juga masih diskriminatif. Hal ini dapat dilihat dari UU 23/2006 Adminduk dan berbagai syarat yang tetap berbasis pada SKBRI untuk etnis Tionghoa jika mereka mau mengurus  berbagai akta.
Dalam konteks ini, hal yang sama juga terjadi bagi kelompok etnik ataupun sub etnik yang memiliki dan menganut Kepercayaan sendiri. Mereka mengalami diskriminasi berbasiskan etnik akibat masih adanya kebijakan pengutamaan 6 (enam) agama yang diakui pemerintah. Demikian juga kelompok Indigenius People mereka mengalami berbagi diskriminasi akibat kebijakan pengelolaan sumberdaya alam.

Celakanya lagi dalam laporan pemerintah juga melakukan tuduhan serius terhadap keberadaan Ahmadiyah yang dianggap organisasi penyebar kebencian rasial yang secara legal dapat dibubarkan organisasinya (akan  direvisi dalam laporan tambahan/adendum?).   
           
Rekam Jejak diskriminasi
Berangkat dari laporan pemerintah dan relitas diskriminasi yang terjadi, HRWG dan bebrapa anggotanya mapun NGO lain telah membuat laporan alternatif. Laporan alternatif tersebut telah di kirimkan kepada Komite beberpa waktu yang lalu.

Dalam laporan alternatif tersebut dipaparkan beberapa hal pokok, baik dalam konteks kebijakan hukum maupun kasus yang terjadi. Beberapa hal tersebut adalah.

Hal pokok dalam laporan alternatif ini adalah;

1.
Mengenai Kerangka hukum timbulnya diskriminasi di Indonesia. Dan berbagai peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan.
2.
Mengenai praktek Impunity dalam kasus Kekerasan berbasis etnis Tionghoa pada Mei 98, dan Impunity pada konflik Etnis di kalimantan
3.
Diskriminasi negara terhadap etnis Tionghoa. Yaitu masih berlakunya praktek-praktek SBKRI dalam berbagai hal, dan masih adanya sebagai warga etnis Tionghoa yang diperlakukan sebagai Stateles.
4.
Diskriminasi Terhadap Masyarakat Adat (Indigenous People) dalam bentuk perampasan terhadap tanah dan SDA maupun dalam bentuk kebijakan pembangunan, streotipe, maupun berdasarkan Perda-perda.
5.
Diskriminasi rasial terhadap etnik dan pengabaian religi etnik
6.
Mengenai IDPs (Pengungsi internal ) korban peristiwa konflik etnis di Kalimantan
7.
Diskriminasi rasial di Papua. Hal ini dalam bidang Kebijakan pembangunan (ekonomi dan pekerjaan), kemudian diskriminasi terhadap Masyarakat Adat Papua.

 

Dari tema tersebut dapat memberikan gambaran kepada kita semua (baik publik maupun komite) bahwa diskriminasi berdasarkan ketentuan Konvensi Anti Diskriminasi Rasial masih berlangsung  secara sistematis ( karena ada kebijakan ).

Keberadaan laporan alternatif ini dimaksudkan untuk mendorong perubahan kebijakan dan penyelesaian kasus melalui desakan komite anti diskriminasi PBB kepada pemerintah Indonesia. Dengan mendapatkan gambaran yang utuh mengenai apa yang terjadi di Indonesia, maka Komite dapat mengambil langkah dalam sebuah rekomendasi yang sifatnya komperhensif dan berdasarkan  kebutuhan riil.

 

Harapan terhadap Komite

Sidang komite anti diskriminasi rasial PBB untuk Indonesia ini adalah sidang yang pertama walaupun membahas 3 laporan sekaligus( awal/initial, dan 2 laporan periodik). Sidang ini akan berlangsung pada 8-9 agustus 2007 di Geneva. Hasil dari sidang ini adalah lahirnya sebuah Concluding Observation yang di dalamnya terdapat rekomendasi dan penunjukan follow up coordinator (koordinator tindak lanjut) yang akan memonitoring pelaksanaan dari concluding observation tersebut.

Harapan terhadap komite dalam sidang pembahasan laporan ini adalah lahirnya sebuah rekomendasi yang konkret baik dalam aspek kebijakan mapun penyelesaian kasus, terutama yang berkaitan dengan impuinity.

Begitu pula dengan terpilihnya follow up coordinator yang memilki perhatian penuh atas pelaksanaan concluding observation tersebut. Disamping itu, followup coordinator adalah pribadi yang tidak mudah putus asa dalam usahanya mendesak pemerintah Indonesia agar melaksananakan rekomendasi komite serta dapat berkunjung ke Indonesia secara reguler.

Perubahan di Indonesia.
Hasil sidang yang berupa concluding obsevartion, di dalamnya terdapat rekomendasi dan penunjukan follow up coordinator dapat diimplementasikan secara maksimal di Indonesia.

Implementasi ini harus didukung penuh oleh semua departemen di pemerintahan sekarang dengan ukuran – ukuran pelaksanaan yang jelas. Begitu pula harus di dukung oleh parlemen dengan cara memberikan dukungan politik dan pengawasan terhadap pelaksanaan rekomendasinya. 

Keberhasilan pelaksanaan dari hasil sidang komite tidak hanya bermanfaat bagi citra Indonesia di Internasional namun merupakan jawaban atas kebutuhan di Indonesia sendiri untuk menghapuskan diskriminasi rasial. Penghapusan diskriminasi ini adalah kebutuhan negara untuk menciptakan sistem yang demokratis dan menghargai HAM.

Jika diskriminasi masih terjadi dan kebijakan diskriminasi itu masih berlaku maka dapat dikatakan bahwa negara tersebut tidak menghargai prinsip HAM dan demokrasi.

Jakarta , 3 Agustus 2007

Hormat kami

Rafendi Djamin, Koordinator HRWG (081311442159)
Hendardi, Setara Institute (0811170944)
Indria Fernida, KontraS (08161466341)
Wahyu Efendi, GANDI (08129494284)
Abdul Haris Semendawai, ELSAM


Lampiran:
LAPORAN ALTERNATIF PELAKSANAAN KONVENSI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RASIAL (ICERD) DI INDONESIA