Kemerdekaan Sebagai Pemuliaan Kemanusiaan

Kemerdekaan Sebagai Pemuliaan Kemanusiaan

 

Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada setiap tanggal 17 Agustus, selalu diikuti berbagai acara perlombaan dan hiburan. Ini adalah ekspresi yang paling banyak kita temukan di masyarakat saat merayakan hari pendirian republik kita tercinta. Tentu ada banyak cara untuk memetik makna kemerdekaan itu. Salah satunya adalah mengukur kemajuan HAM di Indonesia.

Kegembiraan dan sorak sorai pada perayaan itu sesungguhnya resultante dari pergulatan melawan keterpasungan dan penindasan penjajah. Di masa penjajahan kebebasan menjadi barang mahal. Kemerdekaan selalu dinanti sebagai bentuk pembebasan sebuah bangsa dari segala pengekangan manusia oleh sesama manusia. Kemerdekaan menjadi buah sekaligus modal besar bagi pemuliaan hak asasi manusia pada masa lalu, kini dan hari esok.

Semangat pemuliaan nilai-nilai kemanusiaan ini menjadi landasan pada setiap momentum penting di dunia. Lihat saja pengalaman Amerika ketika membuat Declaration of Independence pada 1776. Traktat bersejarah ini menitiktekankan persamaan manusia dan jaminan hak yang melekat pada setiap manusia. Di Perancis, Revolusi 1789 melahirkan rumusan Declaration of the Rights of Man and Citizen. Begitu pula Indonesia, UUD 1945 adalah deklarasi besar tentang sejarah perlawanan rakyat melawan penindasan manusia dalam bentuk penjajahan fasisme militer Jepang dan penjajahan dagang Belanda.

Upaya pengembalian harkat dan martabat kemanusiaan ini tergambar cukup baik pada Pembukaan UUD 1945. Alinea pertama menyatakan “…penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusian dan perikeadilan.” Kalimat ini telah memasuki wilayah universal bahwa penjajahan menindas prinsip kemanusiaan dan perikeadilan. Tujuan pemerintahan yang dibentuk adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Semangat kemerdekaan ini bersesuaian dengan tuntutan penagakan HAM di bidang hak-hak sipil dan politik dan juga hak ekonomi sosial budaya. Yang pertama kemerdekaan fisik dan kedua adalah kesejahteraan masyarakat dan hak atas pendidikan. Bahkan sebuah penegasan kembali semangat kemerdekaan Indonesia yang lintas batas negara dengan komitmen pelibatan diri dalam setiap perjuangan internasional melawan penjajahan dan menciptakan perdamaian abadi.

Pertanyaannya adalah apakah cita-cita itu sudah semakin dekat dengan kenyataan setelah 62 tahun kita merdeka?

Hingga hari ini, deretan banyak saudara-saudara kita yang kehilangan sandaran sebagai warga negara. Warga korban pencemaran Teluk Buyat atau Lumpur Panas Lapindo, atau korban PHK PT Dirgantara adalah makhluk-makhluk bangsa merdeka yang tak merdeka.

Data UNICEF tahun 2006 mengungkapkan lebih dari 100 ribu perempuan dan anak-anak jadi korban praktik perdagangan manusia. Sebagian besarnya dijadikan pekerja seks.

Data BPS mengungkapkan 64,1% pendapatan rumah tangga habis untuk makanan. 32 % untuk transportasi, sandang, dan papan. Hanya 2,4 % untuk  pendidikan dan 2,07 % untuk  kesehatan. Angka kemiskinan meningkat dari 35,10 juta orang (Februari 2005) menjadi 39,05 juta (Maret 2006). Jika standar 2 dollar dipakai, jumlah penduduk miskin menjadi 108 juta orang.

Amanah Konstitusi untuk memajukan kesejahteraan umum juga masih jauh dari harapan. Tengok saja data terakhir Institute for Ecosoc Rights (Desember 2006) yang mengungkapkan bahwa 40% anggaran dari APBN 2005 habis untuk bayar hutang, jumlah pengangguran pada 2006 menjadi 11,1 juta orang dan ini meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 10,9 juta orang. Jumlah buruh kontrak di Jawa Timur naik menjadi 68% pada  Januari 2006, sementara data sebelumnya pada 2003 hanya 7%. Angka PHK meningkat. Indonesia mengirim buruh migran pada setiap tahun sekitar 450.000 orang. Mayoritas perempuan dan ironinya, 60% dari mereka dikirim secara ilegal. Standar hidup layak (the right to adequate living) masih sekadar mimpi.

Dalam usaha pencapaian tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, terkait dengan hak atas pendidikan, masih ada 4,2 jt anak usia sekolah yang belum pernah sekolah. Sekitar 7 % penduduk usia 15 tahun keatas buta huruf. Angka putus sekolah SD 2,66% (1,267 jt) SMP 3,5 % (638.056), dan 6,77% fasilitas pendidikan rusak. Dan masih berderet rapor merah lainnya yang harus diperbaiki pemerintah.

Pemikiran para pendiri bangsa di atas adalah gagasan besar. Gagasan itu seirama dengan perkembangan dunia. Tiga tahun setelah kita menyatakan merdeka, bangsa-bangsa di seluruh dunia mengesahkan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia 1948. Atmosfir Perang Dunia II yang melanda dunia turut mengilhami pentingnya menempatkan posisi manusia dalam posisi yang bermartabat. Manusia tak boleh diperlakukan secara semena-mena. Lewat Deklarasi inilah, dunia memuliakan empat gagasan kemanusiaan: martabat, kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan. Nilai ini diletakkan dalam cita-cita tertinggi dalam hubungan bangsa-bangsa di dunia.

Tentu sebagai negara kita telah lama terlepas dari penjajahan fisik negara lain. Namun itu bukanlah berarti kemerdekaan dalam arti sesungguhnya telah dinikmati seluruh penduduk negeri. Hingga saat ini keadilan masih barang mahal, yang hanya hinggap dalam mimpi, terutama bagi mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM berat.

Tengok saja nasib korban pelanggaran HAM Tanjung Priok, Timor Timur dan Abepura 2000. Pada tiga peristiwa itu pengadilan mengakui adanya perampasan kemerdekaan tapi tak menghukum mereka yang paling bertanggungjawab. Hukum menjadi buta keadilan. Sebuah ironi yang harus “diterima” korban di tengah perayaan hari kemerdekaan. Belum lagi ketidakjelasan penyelesaian kasus penembakan mahasiswa di Trisakti dan Semanggi I-II, penculikan aktivis 1997-1998, tragedi Mei 1998, Talangsari 1989, bahkan tragedi 65 yang mengalami hambatan politis. Sudahkah pemimpin negeri ini memuliakan martabat mereka ?

Ada juga ketidakadilan pusat pada daerah. Pemerintah baru memasuki fase rekonsiliasi politik. Hal ini dapat kita lihat pada perdamaian yang berlangsung di Aceh atau regulasi otonomi khusus Papua masih menyisahkan keprihatinan. Pada kasus pelanggaran HAM di Wasior dan Wamena yang terjadi tahun 2000-an saja, hingga saat ini Kejaksaan Agung masih enggan untuk melakukan penyidikan.

Belum lagi eksploitasi sumber daya alam yang mengenyampingkan keberadaan penduduk sekitar dan menyumbang kerusakan lingkungan hidup, seperti terjadi di Freeport Papua dan Teluk Buyat. Pada kasus-kasus seperti ini pemerintah seakan tidak memiliki kuasa atas para pemodal asing yang mengelola sumber daya alam bangsa kita yang merdeka. Dan tragisnya, negara kadang memilih berkonfrontasi dengan rakyatnya sendiri. Ironi dan tragis.

Masalah-masalah ketidakpuasan daerah atas pusat, hingga saat ini negara lebih cenderung untuk mengalihkan masalah dengan jargon “mempertahankan NKRI.” Jargon ini lebih merupakan refleksi keengganan negara untuk mendengar dan mengakomodasi tuntutan rakyatnya. Jargon ini juga menggambarkan paradigma negara yang masih mengutamakan keberadaan teritori di banding pemuliaan manusia yang hidup atas teritori tersebut. Kemudian atas nama NKRI, alat kekerasan negara seperti memiliki lisensi untuk melakukan tindak kekerasan terhadap warganya dengan latar nasionalime atau patriotisme. Bahkan Jargon ini dapat digunakan untuk menggerakan perseteruan dikalangan warga sendiri.

Penegakan HAM masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintahan paska orde baru. Perjuangan untuk lepas dari penjajahan sudah lama berakhir. Saatnya mengisi kemerdekaan dengan perjuangan menegakkan kebaikan. Dan sebaik-baiknya perjuangan menegakkan kebaikan adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Adakah Kemerdekaan yang kita rayakan ini akan selalu absen dari agenda pemuliaan hak asasi manusia? Jawabnya masih menunggu kejujuran, kebaikan dan keberanian politik para penguasa. Namun bila “batas” menunggu telah habis, para penguasa negeri ini harus tahu bahwa memilih langkah perlawanan terhadap kelaliman adalah sesuatu hak asasi yang dapat digunakan masyarakat. Semoga langkah itu tidak perlu.

Jakarta, 13 Agustus 2007
Edwin Partogi
Kepala Biro Litbang KontraS