2 Tahun MoU Helsinki, Isu HAM Belum Menjadi Prioritas

Iqbal Fadil – detikcom



Jakarta – Hari ini, tepat dua tahun yang lalu, sebuah kesepakatan bersejarah ditandatangani di Helsinki, Finlandia antara pemerintah Indonesia dengan GAM. Kesepakatan itu menjadi tonggak perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam setelah puluhan tahun dilanda konflik.

Namun sayangnya, sepanjang 2 tahun pelaksanaan MoU Helsinki, belum ada satu pun permasalahan HAM yang ditangani dengan baik.

"Kami melihat belum ada proses yang pasti ke arah penyelesaian permasalahan pelanggaran HAM masa lalu, malah yang terjadi dukungan dari eksekutif baru sebatas pernyataan-pernyataan yang bersifat retorika politik," kata koordinator badan pekerja Kontras Aceh Asiah Uzia dalam siaran pers yang diterima detikcom, Rabu (15/8/2007).

Kontras Aceh menegaskan, hari ini, seharusnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Pengadilan HAM di Aceh sudah terbentuk. Namun alih-alih berharap adanya kebijakan yang pasti, Prolega (Proyek Legislasi Aceh) saja tidak memprioritaskan pembentukan qanun KKR.

"Sebagai mandat dari MoU Helsinki, pembentukan KKR dan Pengadilan HAM harusnya dilakukan sesegera mungkin dan menjadi agenda utama," cetus Asiah.

Jika pemprov NAD beralasan pembentukan KKR terhambat kekosongan hukum, Kontras Aceh mempertanyakan sejauhmana pemerintah mengajukan solusi alternatif untuk mendorong lahirnya Perpu, Perpres atau Undang-undang baru.

"Yang terlihat sejak UU Pemerintahan Aceh disahkan, Pemerintah Aceh tidak punya inisiatif dan langkah konkrit untuk mendorong penegakan dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Aceh," ungkap Asiah.

Di luar itu, situasi Aceh yang semakin hari makin kondusif pasca MoU harusnya
menjadi pijakan banyak pihak untuk menyerahkan semua kewenangan kepada Pemerintah Aceh dan aparaturnya. Fungsi Pemerintah Pusat seperti pembentukan FKK (Forum Komunikasi dan Koordinasi) yang berada di bawah Menkopolkam seharusnya tidak terjadi.

Apalagi FKK mempunyai mandat yang sangat luas yang dikhawatirkan bisa memperlemah peran dan fungsi Pemerintahan Aceh. Mandat FKK selain menjadi mediator apabila suatu ketika terjadi konflik antara TNI/Polri dan GAM, juga untuk membantu proses reintegrasi dan mendorong pembentukan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) dan Pengadilan HAM di Aceh.

"Mandat ini menjadi tidak tepat di saat Aceh sudah memiliki Gubernur definitif yang dipilih melalui Pilkada yang damai dan demokratis. Apalagi FKK dipimpin oleh seorang anggota TNI dan ini tidak sejalan dengan semangat reintegrasi yang harusnya terus dikembangkan menuju normalisasi situasi Aceh," ujar Asiah.

Padahal, lanjut Asiah, setelah AMM meninggalkan Aceh, AMM sudah memberikan semua kewenangan kepada Pemerintahan Aceh. "Karena itu kami menilai FKK merupakan bentuk lain dari intervensi Pemerintah Pusat terhadap Aceh dan
ini menjadi tidak relevan dalam situasi dan kondisi Aceh yang kian membaik," paparnya.

Secara keseluruhan, Kontras Aceh menilai, situasi damai Aceh yang terus terjaga
merupakan upaya dari banyak pihak untuk mengkondusifkan situasi. Secara
organisasional para pihak telah menunjukkan komitmennya terhadap MoU dengan tidak melakukan aktifitas yang dapat menciptakan atau memunculkan reaksi permusuhan.

"Ke depan, komitmen ini harus terus dijaga dan dipertahankan dengan mengedepankan prinsip-prinsip HAM dan demokrasi yang berkeadilan karena perdamaian hanya akan bertahan sejauhmana MoU dihormati dan dilaksanakan," tukas Asiah.

Kontras Aceh juga meminta kepada pemprov NAD untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan MoU Helsinki dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat Aceh. "Karena apapun capaian yang telah dan belum dihasilkan adalah bagian dari tanggung jawab politik bersama demi perdamaian yang abadi dan berkeadilan," tandasnya. (bal/Ari)