MEMBUANG DURI DALAM DAGING

MEMBUANG DURI DALAM DAGING

"Poisoner do their deadly work in secret. The evidence in
poisoning cases is nearly always circumstantial. In this case it is
more direct than usual. You must remember that poisoning is always
concealed and deliberate. It is crime that is not done in a moment of
passion, or on an impulse. It is crime that must be planned."

Itulah ungkapan hakim William Windeyer saat mengadili Dean,
pelaku pembunuhan dengan racun, di Pengadilan Pidana Pusat Sidney
tahun 1896, yang dikutip Peter Macinnis dalam buku Poisons, from
Hemlock to Botox and the Killer Bean of Calabar (Arcade New York
2005).

Ungkapan itu memang telah lama, tetapi maknanya masih relevan
untuk dijadikan jendela dalam melihat pembuktian yuridis kasus
pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib (39).

Sebagai hamba hukum, hakim Windeyer menginsafi, pelaku pembunuhan
dengan racun melaksanakan pekerjaan mematikan dalam kerahasiaan.
Kasus-kasus ini hampir selalu bertumpu pada circumstantial evidence
dan pada keadaan yang memungkinkan pengadilan untuk menjangkau
kesimpulan bahwa seseorang bersalah meski tanpa bukti yang
sempurna/konklusif.

Dalam kerahasiaan

Kejahatan ini lebih langsung dari biasa. Kita, kata Windeyer,
harus ingat bahwa peracunan selalu disembunyikan, nyaris tak
terlihat, serta dipenuhi kesengajaan, niat, dan kehendak. Ia adalah
kejahatan yang tidak dapat dilaksanakan dan selesai dalam sebuah
momen keraguan atau sebuah momen keseketikaan. Ia adalah kejahatan
yang pasti telah direncanakan. Itu pasti.

Pada kasus Munir, ada keyakinan kuat, ia telah mati karena
terbunuh racun, seseorang telah meracunnya secara kejam dan pengecut.
Dan sang peracun tidak sendirian, tetapi ada dalam komplotan.
Keyakinan ini bukan tanpa bukti. Hanya saja, pada sisi lain mata
rantai bukti-bukti dalam kejahatan ini terkesan menjadi terputus.

Pembuktian yuridis who did what to whom berakhir dengan vonis 14
tahun penjara oleh pengadilan negeri kepada Pollycarpus atas tuduhan
pembunuhan berencana dan penggunaan surat palsu. Namun, dua hakim
agung majelis kasasi Mahkamah Agung membatalkan tuduhan pembunuhan.
Pandangan hukum kaum positivis merasa babak ini akhir segalanya, demi
kepastian hukum.

Bagi kita, hukum harus menyibak kebenaran sehingga keadilan bisa
tegak. Kepastian hukum yang menyisakan kebenaran masih sebagai
misteri, keadilan pun tak hadir, dan ini tidak boleh dibiarkan.

Pencarian kebenaran

Upaya mengungkap kebenaran dalam kasus pembunuhan Munir telah
menempuh semua cara yang mungkin dan tersedia. Dari segi hukum,
pengajuan peninjauan kembali (PK) adalah upaya terakhir yang mungkin
dilakukan kendati justifikasinya dalam prosedur keadilan bersifat
problematik. Satu-satunya dasar legal utama bagi upaya PK adalah
pencarian kebenaran demi keadilan itu sendiri.

Kita menyadari, upaya mengungkap kebenaran tak pernah mudah. Dan
bagi kasus Munir, upaya ini telah melibatkan komitmen dan solidaritas
dari begitu banyak pihak, baik oleh negara maupun warga.

Meskipun keadaan itu tidak membuatnya jadi lebih mudah, harus
diakui telah membuatnya bernapas lebih panjang. Semua solidaritas dan
kerja sama dari berbagai pihak itu memberi kita harapan untuk tetap
bekerja, setia (fidelity), dan tidak mudah menyerah meski bukti
sempurna belum juga ditemukan.

Duri yang menyakitkan

Jika dulu Presiden Yudhoyono menyatakan pengungkapan kasus Munir
adalah test of our history, sampai hari ini hasilnya adalah runtuhnya
benteng tirani kebisuan dan sikap tinggal diam, yang sebelumnya
dengan banal memenjarakan kita.

Kasus Munir bukan hanya pembunuhan. Bukan semata kejahatan pada
relasi intersubyektivitas. Ia adalah akibat perbuatan orang-orang
yang menyalahgunakan kekuasaan. Jika tak ada kemampuan dan kehendak
kita untuk menjaga organ kekuasaan seperti intelijen atau badan
publik lainnya, selamanya tubuh negara mengalami kesakitan. Jika
tubuhnya kesakitan, jiwanya pun tak akan tenang.

Para pembunuh Munir adalah duri yang menyebabkan sakit itu.
Mereka ada dalam daging tubuh negara kita. Duri itu telah terus
mempermalukan kita dan badan-badan kekuasaan negara kita di mata
dunia dan anak cucu kita. Karena itu, harus dicabut dan dibuang.
Bukan hanya oleh hamba-hamba hukum, tetapi juga oleh bagian-bagian
lain dari tubuh kekuasaan negara kita dan jiwa bangsa Indonesia.