Kenangan: Munir dan GA-974

Oleh Dody Wisnu Pribadi

Bu guru Farida, guru almarhum Munir, masih mengajar di SD Muhammadiyah IV Batu, tempat Munir dahulu menyelesaikan pendidikan SD di kota dingin di lereng Gunung Panderman tersebut. Pada Jumat (7/9) sekolah ini mengadakan peringatan tiga tahun meninggalnya Munir.

Muncul percakapan antara Bu Farida dan Ibrahim, siswa SD kelas VI.

"Kamu kenal sama Munir?" tanya Bu Farida.

Ibrahim menjawab, "Kenal. Munir itu pahlawan pembela orang-orang lemah," ujar Ibrahim tangkas.

"Kamu bisa jadi kayak Munir?" tanya Bu Farida lagi.

"Ingin. Tapi ndak mau mati kayak Munir," jawab Ibrahim.

Penonton spontan tertawa. Tawa getir.

Suasana getir bercampur keheranan dan kegusaran memang selalu muncul setiap kali Munir dikenang bahkan oleh orang yang barangkali tidak pernah menemui dia.

Seorang murid perempuan kemudian bertanya kepada Bu Farida, "Lho Bu, Munir itu pembela orang-orang lemah, tetapi mengapa kok dibunuh ya?" Penonton tertawa lagi.

Tambah getir. Itu pertanyaan semua orang di dunia ini. Bu Farida tidak menjawab.

Rakyat Indonesia

Tanpa disuruh dan tanpa diperintah, hari-hari ini muncul peringatan meninggalnya Munir. Kabarnya, di Jakarta dan Yogyakarta juga berlangsung. Tentu juga di Kota Batu, yang diperingati dengan pergelaran wayang kulit semalam suntuk pada Jumat (7/9) malam. Lakonnya Wisanggeni Gugat, yang dibawakan dalang Ki Sukidi asal Surakarta.

"Lakonnya dipilih dengan judul itu untuk memberi pesan bahwa jiwa Munir dan rakyat Indonesia di belakang Munir terus menggugat," kata Najidah, aktivis Pusat Penelitian Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang yang terlibat dalam acara tersebut.

Hal itu belum memperhitungkan acara peringatan yang diselenggarakan secara spontan oleh masyarakat, seperti peringatan di SD Muhammadiyah IV.

Menurut Amin Saifullah, anggota Panitia Peringatan Tiga Tahun Wafatnya Munir di Batu yang juga guru di SD Muhammadiyah IV, sekolah ini menyelenggarakan ziarah ke makam Munir yang jaraknya tidak sampai 2 kilometer dari sekolah.

Setelah ziarah diselenggarakan acara teater di SD itu. Tapi dasar anak-anak, mereka memahami proses kematian Munir teramat sederhana dengan kacamata anak-anak.

Adegan teater menunjukkan kesewenang-wenangan tentara. Lalu ada tokoh Munir. Munir dalam teater bocah SD itu meninggal, bukan dibunuh dengan minuman beracun, melainkan ditembak. Lalu orang-orang tertawa melihat kekonyolan anak-anak, tentu lagi-lagi dengan tawa getir.

Racun

Peringatan di Batu, kata Ikhwan, aktivis muda Muhammadiyah yang menjadi anggota panitia, diselenggarakan di Jalan Agus Salim, di depan kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama. Lokasi ini, yang berjarak tidak sampai 100 meter dari SD Muhammadiyah, adalah tempat sehari-hari dahulu Munir tumbuh sebagai warga Kota Batu.

Di daerah keramaian dekat segitiga Alun-alun Batu – Masjid Jami’ – Batu Plaza ini, kawasan yang berlokasi tidak sampai 2 kilometer dari rumah tinggal Munir di Jalan Diponegoro, Munir bersosialisasi.

Tidak ada yang bisa menjawab dari warisan siapa Munir memiliki keberanian sekuat itu. Munir termasuk pelopor gerakan kebangkitan kaum buruh. Saat itu dia masih menjadi staf Lembaga Bantuan Hukum Surabaya. Dia masuk dan keluar kampung-kampung kucel yang dihuni kaum buruh untuk membangkitkan kesadaran kaum buruh, mencerahkan mereka, dan menggelorakan perlawanan terhadap kezaliman yang dialami kaum buruh.

Keberanian Munir terlihat saat memimpin Kontras pada dekade 1990- an, ketika dia mendatangi markas tentara yang amat ditakuti pada zaman gawat-gawatnya kekuasaan Orde Baru. Munir pun dijuluki sebagai orang yang sudah putus "urat takut"-nya.

Cita-citanya dahulu pernah hanya ingin berhenti menjadi pengacara, lalu berjualan jamu meneruskan tradisi keluarganya, pemilik kios jamu di salah satu sudut jalan Alun-alun Batu hingga sekarang.

Namun, cita-cita itu tidak terealisasi. Munir tetaplah aktivis, tetap pemilik suara lantang yang menyerukan keadilan dan kebenaran, sampai akhirnya menemui ajal lewat racun arsenik jahanam di pesawat terbang yang dia tumpangi.

Maka, tidak heran jika pada pamflet yang ditempelkan sebagai undangan panitia menuliskan "Memperingati tiga tahun wafatnya Munir, pejuang hak asasi manusia, di Garuda Indonesia Airways GA 974 Selasa 7 September 2004". (Dody Wisnu Pribadi)