Kemenangan Soeharto vs Time, Bentuk Tirani Hukum Mahkamah Agung

Kemenangan Soeharto vs Time, Bentuk Tirani Hukum Mahkamah Agung

Putusan kasasi MA yang memenangkan Soeharto atas gugatannya kepada majalah Time memang patut disesalkan. Putusan ini semakin menambah daftar panjang posisi MA sebagai “mesin cuci” kekuasaan. Selain itu putusan ini mencerminkan setali tiga uang dengan putusan Jaksa Agung (pemerintah) yang menerbitkan SKP3 atas tuntutan pengadilan Soeharto. Setelah negara menolak menutut pertanggungjawaban Soeharto, putusan MA ini malah menutup peran dan kebebasan setiap orang untuk mendapatkan dan menyebarkan informasi terkait dengan kejahatan penguasa. Fakta ini seolah membantah pernyataan Presiden SBY dalam forum APEC, dimana SBY menyampaikan kemajuan Indonesia dalam perang terhadap korupsi dan melakukan reformasi yudisial.  

Kasus yang berawal dari berita majalah Time terhadap kekekayaan keluarga Soeharto pada Mei 1999 ini, memang bukan sekedar berita. Hasil investigasi yang dilakukan Time kala itu seolah mengkonfirmasi asumsi yang berkembang di publik dalam dan luar negeri tentang kekayaan Keluarga Soeharto. Kekayaan yang tentu diperoleh dari hasil kekuasaan yang korup.

Informasi yang sangat berharga dari Time ini juga dimanfaatkan oleh Kejaksaan Agung yang kala itu tengah melakukan penyidikan terhadap korupsi yang dilakukan oleh keluarga Soeharto. Bila ditilik dari sini, dapat dikatakan informasi yang diberitakan oleh Time menyumbang amunisi bagi pengungkapan kejahatan Soeharto beserta kroni-kroni sebagaimana amanat Tap MPR No XI/1998 (termasuk Instruksi Presiden Nomor 30 tahun 1998).

Bila merujuk pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Juni 2000 maupun Pengadilan Tinggi yang memutuskan menolak gugatan yang diajukan oleh Soeharto terhadap Time.  Pada putusan tingkat pertama itu Majelis Hakim  menilai bahwa informasi yang diberitakan Time berguna bagi kepentingan publik dan sesuai dengan tuntutan zaman.

Berangkat dari hal tersebut diatas,  seharusnya pemberitaan Time dapat dilihat sebagai hal positif.  Pertama, pemberitaan yang didasarkan hasil investigasi itu telah membuat terang isue-isue seputar kekayaan Keluarga Soeharto di masyarakat. Berdasarkan hal ini Time telah menjalan fungsi media yang kredibel, berbasis fakta dan menyangkut isu kepentingan publik. Kedua, dengan pemberitaan itu Time telah membantu membuka jalan bagi negara untuk melakukan tindakan hukum lainnya bagi pengusutan terhadap tindakan KKN yang dilakukan oleh Soeharto beserta kroni-kroninya.

Kepentingan publik yang lebih besar seharusnya menjadi dasar bagi majelis hakim dalam memutuskan perkara ini. Pengungkapan kejahatan Keluarga Soeharto seharusnya dipahami sebagai kehendak rakyat Indonesia sebagaimana telah tertuang dalam Tap MPR XI/1998 tersebut. Langkah Mahkamah Agung yang kerap memenangkan para pelanggaran HAM dan korupsi, hanya menempatkan MA sebagai tirani hukum dari masa lalu yang menolak arus perubahan.  Oleh karena itu agenda reformasi peradilan masih menjadi sesuatu yang mendesak.

Jakarta, 12 September 2007

Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (GEMAS):
AJI, Demos, Elsam, HRWG, ICW, Imparsial, INFID, IKOHI, TI, KontraS, Kasum, KRHN, LSPP, LBH Jakarta, PBHI, YLBHI, Yappika, Fadjroel Rahman, Romo Beni Susetiyo, Hendardi.

Kemenangan Soeharto vs Time, Bentuk Tirani Hukum Mahkamah Agung

Kemenangan Soeharto vs Time, Bentuk Tirani Hukum Mahkamah Agung

Putusan kasasi MA yang memenangkan Soeharto atas gugatannya kepada majalah Time memang patut disesalkan. Putusan ini semakin menambah daftar panjang posisi MA sebagai “mesin cuci” kekuasaan. Selain itu putusan ini mencerminkan setali tiga uang dengan putusan Jaksa Agung (pemerintah) yang menerbitkan SKP3 atas tuntutan pengadilan Soeharto. Setelah negara menolak menutut pertanggungjawaban Soeharto, putusan MA ini malah menutup peran dan kebebasan setiap orang untuk mendapatkan dan menyebarkan informasi terkait dengan kejahatan penguasa. Fakta ini seolah membantah pernyataan Presiden SBY dalam forum APEC, dimana SBY menyampaikan kemajuan Indonesia dalam perang terhadap korupsi dan melakukan reformasi yudisial.  

Kasus yang berawal dari berita majalah Time terhadap kekekayaan keluarga Soeharto pada Mei 1999 ini, memang bukan sekedar berita. Hasil investigasi yang dilakukan Time kala itu seolah mengkonfirmasi asumsi yang berkembang di publik dalam dan luar negeri tentang kekayaan Keluarga Soeharto. Kekayaan yang tentu diperoleh dari hasil kekuasaan yang korup.

Informasi yang sangat berharga dari Time ini juga dimanfaatkan oleh Kejaksaan Agung yang kala itu tengah melakukan penyidikan terhadap korupsi yang dilakukan oleh keluarga Soeharto. Bila ditilik dari sini, dapat dikatakan informasi yang diberitakan oleh Time menyumbang amunisi bagi pengungkapan kejahatan Soeharto beserta kroni-kroni sebagaimana amanat Tap MPR No XI/1998 (termasuk Instruksi Presiden Nomor 30 tahun 1998).

Bila merujuk pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Juni 2000 maupun Pengadilan Tinggi yang memutuskan menolak gugatan yang diajukan oleh Soeharto terhadap Time.  Pada putusan tingkat pertama itu Majelis Hakim  menilai bahwa informasi yang diberitakan Time berguna bagi kepentingan publik dan sesuai dengan tuntutan zaman.

Berangkat dari hal tersebut diatas,  seharusnya pemberitaan Time dapat dilihat sebagai hal positif.  Pertama, pemberitaan yang didasarkan hasil investigasi itu telah membuat terang isue-isue seputar kekayaan Keluarga Soeharto di masyarakat. Berdasarkan hal ini Time telah menjalan fungsi media yang kredibel, berbasis fakta dan menyangkut isu kepentingan publik. Kedua, dengan pemberitaan itu Time telah membantu membuka jalan bagi negara untuk melakukan tindakan hukum lainnya bagi pengusutan terhadap tindakan KKN yang dilakukan oleh Soeharto beserta kroni-kroninya.

Kepentingan publik yang lebih besar seharusnya menjadi dasar bagi majelis hakim dalam memutuskan perkara ini. Pengungkapan kejahatan Keluarga Soeharto seharusnya dipahami sebagai kehendak rakyat Indonesia sebagaimana telah tertuang dalam Tap MPR XI/1998 tersebut. Langkah Mahkamah Agung yang kerap memenangkan para pelanggaran HAM dan korupsi, hanya menempatkan MA sebagai tirani hukum dari masa lalu yang menolak arus perubahan.  Oleh karena itu agenda reformasi peradilan masih menjadi sesuatu yang mendesak.

Jakarta, 12 September 2007

Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (GEMAS):
AJI, Demos, Elsam, HRWG, ICW, Imparsial, INFID, IKOHI, TI, KontraS, Kasum, KRHN, LSPP, LBH Jakarta, PBHI, YLBHI, Yappika, Fadjroel Rahman, Romo Beni Susetiyo, Hendardi.