UU Pembela HAM Diusulkan

JAKARTA(SINDO) – Sebanyak 14 negara di wilayah Asia Pasifik sepakat untuk membentuk Undang-Undang (UU Pembela HAM /Human Rights Defender). Kesepakatan itu merupakan hasil pertemuan tahunan ke- 12 Forum Asia Pasifik untuk Hak Asasi Manusia (HAM) di Sydney,Australia, 24–27 September 2007.

Negara di Asia Pasifik setuju jika UU tersebut diterapkan di semua negara, termasuk Indonesia, agar bisa menjamin dan melindungi para pembela HAM. Koordinator Human Rights Working Group (HRWG) Rafendi Djamin yang menjadi wakil Indonesia dalam forum itu mengungkapkan, UU khusus untuk pembela HAM ini sangatlah penting. Sebab, pembela HAM memiliki kedudukan yang penting dalam penegakan HAM.Namun,menurut dia, yang perlu dipikirkan adalah masalah teknis peraturannya. ”Idealnya memang perlu.

Sejauh ini kita kan belum ada UU itu,tapi memang itu masih perlu didiskusikan lagi.Apakah harus dengan UU khusus tentang pembela HAM, atau dengan peraturan pemerintah (PP) saja,” tegas Rafendi Djamin kepada SINDO tadi malam. Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Edwin Pertogi mengatakan, UU khusus untuk pembela HAM tersebut sangatlah perlu. Sebab, faktanya,selama ini pembela HAM di Indonesia kurang terlindungi. ”Bisa dilihat saja, dalam kasus Munir, pembela HAM sangat tidak terlindungi dan tidak ada aturan yang melindunginya,” ujarnya.

Dia mengatakan, pembela HAM adalah titik sentral dari penegakan HAM.Sebab,pembela HAM adalah garda terdepan dalam membela saksi dan korban pelanggaran HAM. Maka itu, ujar dia, jika pembela HAM tidak terlindungi, hal ini akan berdampak pada saksi dan korban pelanggaran HAM yang dapat dipastikan telantar. Di sisi lain, kata Edwin, kesepakatan pada UU khusus pembela HAM tersebut tidak lepas dari komitmen PBB dan Uni Eropa. Menurut dia, dua lembaga tersebut sangat peduli pada pembela HAM.

Jadi, hendaknya sebagai anggota PBB, Indonesia perlu menerapkan perlindungan pada pembela HAM. Anggota Komnas HAM Bidang Pengkajian dan Penelitian Abdul Munir Mulkhan mengungkapkan, pembela HAM memang selayaknya dilindungi. Sebab, sampai saat ini instrumen untuk melindungi pembela HAM hampir tidak ada. ”Setahu saya tidak ada instrumen untuk melindungi pembela HAM. Maka kalau UU Pembela HAM dalam konteks melindungi pembela HAM, saya sangat sepakat,” ujarnya.

Dia mengatakan, dalam pembicaraan informal antaranggota Komnas HAM, masalah pembela HAM juga sempat disinggung. Bahkan, bukan saja perlindungan pada pembela HAM, tetapi juga perlunya penghargaan pada pembela HAM. ”Sampai saat ini, memang minim dua hal tersebut (adanya perlindungan dan penghargaan bagi pembela HAM),” ujarnya. Wakil Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsudin tidak sepakat dengan adanya UU khusus pembela HAM. Menurut dia, yang perlu dilakukan bukan pembuatan UU baru, tapi adalah merealisasikan UU yang ada dan mengoptimalkan kerja Komnas HAM.

Dia menambahkan, ketidaksepakatan tersebut juga terkait dengan biaya yang akan muncul jika dibentuk UU yang baru. ”Tidak perlu itu (UU khusus pembela HAM). Biayanya kan juga besar. Untuk saat ini, optimalkan saja kerjanya dulu,” tukasnya. Anggota Komisi III DPR Almuzammil Yusuf mengutarakan, usulan tentang UU khusus untuk pembela HAM adalah wacana yang perlu dipikirkan dan dapat dipertimbangkan untuk dibahas lebih lanjut.

”Sebagai sebuah ide, itu bisa dikaji lebih dulu,” terangnya. Terutama mengenai untung dan rugi keberadaan UU tersebut ke depannya. Anggota Komisi III DPR Agun Gunandjar Sudarsa menegaskan, UU yang mengatur khusus mengenai human rights defender tidak perlu dibuat. Dalam hal legislasi, kata dia, semua jaminan dan perlindungan terkait dengan penegakan HAM sudah lengkap.

Yang masih harus dibenahi, yaitu bagaimana political will dari aparat penegak hukum dan pemerintah untuk mengaplikasikan UU yang ada. ”Saya pikir, semua sudah lengkap dan kita tidak ada masalah mengenai pengaturan dan perlindungan terhadap pembela HAM.Yang jadi soal dan harus terus dibenahi, yaitu menyangkut penerapan dari aturan yang sudah ada itu,” tegas Agun. Meski demikian, kata dia, political will sebenarnya sudah bisa disebut baik. Sebab, ujar dia, dalam masa transisi dari era Orde Baru ke reformasi, dibutuhkan kesabaran dan kearifan ketika menyelesaikan kasus HAM.

”Apa yang kita kerjakan tentu tidak bisa selesai segera. Kita semua harus bersabar dan menyikapi persoalan dengan arif.Tapi tentu kita desak penyelesaian dengan cepat dan baik,” tandasnya. Menurut dia, persoalan utama dalam penanganan kasus HAM baik yang ringan maupun kasus berat yaitu masih adanya ketergantungan aparat penegak hukum kepada penguasa. Selain itu, ada juga faktor kultur,pengetahuan penyelidikan, dan dukungan dari semua pihak terkait proses penyelesaian kasus demi kasus.”Semua kekurangan dalam penanganan itu saja dibenahi dulu,” tandasnya. (CR04/kholil)