PEKERJAAN RUMAH REFORMASI TNI

PEKERJAAN RUMAH REFORMASI TNI

Kita mengapresiasi upaya-upaya membangun TNI profesional dan
supremasi sipil yang telah ditempuh lewat semua cara di tingkat
legislasi dan institusi.

Meski demikian, aneka upaya ke arah itu kadang masih terlihat
lamban. Ada kesan, reformasi TNI tidak lagi mendesak.
Ada dua masalah utama yang menyebabkan tidak tuntasnya pekerjaan
rumah (PR) reformasi TNI. Pertama, elite-elite sipil kerap berdalih
rendahnya anggaran TNI sebagai penghalang. Padahal budget militer
telah naik dibandingkan anggaran di masa lalu.

Kedua, institusi sipil dinilai tak siap melaksanakan reformasi
TNI. Hal ini harus diatasi dengan langkah nyata penguatan instansi
sipil, bukan malah jadi alasan menunda penyelesaian PR reformasi TNI.

Apa saja PR itu? Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono berjanji,
Presiden SBY akan mengeluarkan peraturan presiden tentang agenda
penghapusan bisnis TNI. Sampai kini belum ada, meski telah
direncanakan sejak Oktober 2005. Tim Supervisi dan Transformasi
Bisnis TNI sebatas verifikasi sejumlah unit usaha.

Jika terus ditunda, target menghapus bisnis militer pada 2009
sulit tercapai. Kegagalan ini bisa menyeret anggota TNI dalam kasus
kriminal dan menciptakan potensi konflik antar-individu/satuan
keamanan. Setahun terakhir, tercatat 12 peristiwa kekerasan antara
anggota TNI dan Polri, termasuk kasus Ternate, Maluku Utara, baru-
baru ini.

Anehnya elite sipil selalu beralasan, tawuran itu disebabkan
masalah kesejahteraan akibat anggaran rendah. Padahal masalahnya
adalah penyimpangan sistem, seperti dalam kasus korupsi dana pensiun
prajurit oleh perwira dan koneksinya (Asabri). Banyak kasus tak
ditangani tuntas seperti senjata ilegal, jual beli alutsista (tank
Scorpio, helikopter MI-17, pesawat Fokker 50). Kasus ini menguap.

Keterkaitan anggota TNI dengan kriminalitas dan korupsi bisa
memudarkan semangat korps, bisa berakibat kontrol sipil atas militer
(civilian supremacy) menjadi lemah. Akibatnya, kasus-kasus yang
melibatkan TNI tak selesai dengan adil. Contohnya, penembakan warga
sipil di Alastlogo dan pengambilalihan tanah warga Rumpin, Bogor.
Kasus-kasus ini mempermalukan TNI di mata masyarakat.

Tidak konsisten

Pelaksanaan UU TNI untuk memindahkan yurisdiksi hukum perkara
kriminal oleh TNI dari yurisdiksi pengadilan militer ke pengadilan
umum juga terlambat. Pembahasan RUU Peradilan Militer menunjukkan
lemahnya kepemimpinan elite sipil.

Kita dikejutkan istilah "peradilan koneksitas" bagi sipil yang
melakukan kejahatan militer. Istilah ini mengandaikan ada kekosongan
hukum bagi kejahatan militer yang dilakukan sipil dan
menjungkirbalikkan logika umum. Logika terbalik pasal ini, jika
militer tunduk kepada pengadilan sipil, warga sipil wajib tunduk
kepada hukum militer. Padahal subyek yang hendak diatur RUU ini
adalah militer. Pada prinsipnya, peradilan militer bukan bagian badan
kekuasaan yudikatif. Peradilan militer adalah bagian internal sistem
komando organisasi militer.

Pergeseran paradigma elite sipil tak sepenuhnya terjadi. Yang ada
adalah cara meredam tuntutan persoalan masa lalu. Struktur teritorial
masih jadi mata dan telinga militer dan berpotensi menjadi alat
kekuasaan. Kasus terakhir, pembentukan tim kebersamaan wilayah
Bantul, Yogyakarta, yang melibatkan Babinsa TNI. Langkah ini tidak
konsisten dengan pengakuan TNI untuk mendorong pemberdayaan
masyarakat dan demokratisasi dan bisa salah diartikan.

Pemerintah sebenarnya dapat mengambil langkah-langkah progresif
di bidang reformasi TNI tanpa mengeluarkan biaya besar atau bahkan
tanpa biaya. Misalnya, mengeluarkan instruksi presiden, menyampaikan
informasi hasil audit, dan mendukung proses hukum atas kasus-kasus
yang melibatkan TNI. Anggaran seharusnya tak dijadikan alasan menunda
implementasi reformasi TNI dan pertanggungjawaban pelanggaran HAM
masa lalu.

Yang terpenting dari itu semua adalah elite-elite sipil yang kini
sudah bersiap-siap menghadapi pemilihan umum tidak boleh menarik TNI
ke dalam politik praktis. Jika ini terjadi, rusaklah komitmen
reformasi yang kita bangun selama hampir satu dekade ini.

Pekerjaan Rumah Reformasi TNI

Usman Hamid

Kita mengapresiasi upaya-upaya membangun TNI profesional dan supremasi sipil yang telah ditempuh lewat semua cara di tingkat legislasi dan institusi.

Meski demikian, aneka upaya ke arah itu kadang masih terlihat lamban. Ada kesan, reformasi TNI tidak lagi mendesak.

Ada dua masalah utama yang menyebabkan tidak tuntasnya pekerjaan rumah (PR) reformasi TNI. Pertama, elite-elite sipil kerap berdalih rendahnya anggaran TNI sebagai penghalang. Padahal budget militer telah naik dibandingkan anggaran di masa lalu.

Kedua, institusi sipil dinilai tak siap melaksanakan reformasi TNI. Hal ini harus diatasi dengan langkah nyata penguatan instansi sipil, bukan malah jadi alasan menunda penyelesaian PR reformasi TNI.

Apa saja PR itu? Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono berjanji, Presiden SBY akan mengeluarkan peraturan presiden tentang agenda penghapusan bisnis TNI. Sampai kini belum ada, meski telah direncanakan sejak Oktober 2005. Tim Supervisi dan Transformasi Bisnis TNI sebatas verifikasi sejumlah unit usaha.

Jika terus ditunda, target menghapus bisnis militer pada 2009 sulit tercapai. Kegagalan ini bisa menyeret anggota TNI dalam kasus kriminal dan menciptakan potensi konflik antar-individu/satuan keamanan. Setahun terakhir, tercatat 12 peristiwa kekerasan antara anggota TNI dan Polri, termasuk kasus Ternate, Maluku Utara, baru-baru ini.

Anehnya elite sipil selalu beralasan, tawuran itu disebabkan masalah kesejahteraan akibat anggaran rendah. Padahal masalahnya adalah penyimpangan sistem, seperti dalam kasus korupsi dana pensiun prajurit oleh perwira dan koneksinya (Asabri). Banyak kasus tak ditangani tuntas seperti senjata ilegal, jual beli alutsista (tank Scorpio, helikopter MI-17, pesawat Fokker 50). Kasus ini menguap.

Keterkaitan anggota TNI dengan kriminalitas dan korupsi bisa memudarkan semangat korps, bisa berakibat kontrol sipil atas militer (civilian supremacy) menjadi lemah. Akibatnya, kasus-kasus yang melibatkan TNI tak selesai dengan adil. Contohnya, penembakan warga sipil di Alastlogo dan pengambilalihan tanah warga Rumpin, Bogor. Kasus-kasus ini mempermalukan TNI di mata masyarakat.

Tidak konsisten

Pelaksanaan UU TNI untuk memindahkan yurisdiksi hukum perkara kriminal oleh TNI dari yurisdiksi pengadilan militer ke pengadilan umum juga terlambat. Pembahasan RUU Peradilan Militer menunjukkan lemahnya kepemimpinan elite sipil.

Kita dikejutkan istilah "peradilan koneksitas" bagi sipil yang melakukan kejahatan militer. Istilah ini mengandaikan ada kekosongan hukum bagi kejahatan militer yang dilakukan sipil dan menjungkirbalikkan logika umum. Logika terbalik pasal ini, jika militer tunduk kepada pengadilan sipil, warga sipil wajib tunduk kepada hukum militer. Padahal subyek yang hendak diatur RUU ini adalah militer. Pada prinsipnya, peradilan militer bukan bagian badan kekuasaan yudikatif. Peradilan militer adalah bagian internal sistem komando organisasi militer.

Pergeseran paradigma elite sipil tak sepenuhnya terjadi. Yang ada adalah cara meredam tuntutan persoalan masa lalu. Struktur teritorial masih jadi mata dan telinga militer dan berpotensi menjadi alat kekuasaan. Kasus terakhir, pembentukan tim kebersamaan wilayah Bantul, Yogyakarta, yang melibatkan Babinsa TNI. Langkah ini tidak konsisten dengan pengakuan TNI untuk mendorong pemberdayaan masyarakat dan demokratisasi dan bisa salah diartikan.

Pemerintah sebenarnya dapat mengambil langkah-langkah progresif di bidang reformasi TNI tanpa mengeluarkan biaya besar atau bahkan tanpa biaya. Misalnya, mengeluarkan instruksi presiden, menyampaikan informasi hasil audit, dan mendukung proses hukum atas kasus-kasus yang melibatkan TNI. Anggaran seharusnya tak dijadikan alasan menunda implementasi reformasi TNI dan pertanggungjawaban pelanggaran HAM masa lalu.

Yang terpenting dari itu semua adalah elite-elite sipil yang kini sudah bersiap-siap menghadapi pemilihan umum tidak boleh menarik TNI ke dalam politik praktis. Jika ini terjadi, rusaklah komitmen reformasi yang kita bangun selama hampir satu dekade ini.

Usman Hamid Koordinator Kontras