Mengecam Keputusuan ‘Keadaan Darurat’ di Pakistan

Mengecam Keputusuan ‘Keadaan Darurat’ di Pakistan

KontraS dan HRWG secara tegas menngecam keputusan Presiden Pakistan Perves Musharraf yang mendeklarasikan Negara (Pakistan) dalam keadaan bahaya (Emergency Rule) pada 4 November 2007. Menurut kami, tindakan ini merupakan tindakan yang bertentangan dengan semangat demokartisasi, bukan hanya di Pakistan, akan tetapi di kawasan Asia. Terlebih status keadaan bahaya tersebut justru digunakan untuk melonggarkan pemerintahannya melakukan serangkaian kekerasan.

Terbukti setelah diumumkan keadaan bahaya ini juga digunakan untuk menghabisi musuh-musuh politik Musharraf. Pihak kepolisian dan militer Pakistan menghentikan operasi media-media di Pakistan, terutama media-media swasta. Sementara Mahkamah Agung Pakistan dibuat tidak efektif dengan cara seluruh hakim agungnya, termasuk Ketua Mahkamah Agung Iftikhar Chaudhry, secara tidak sah dipaksa menjalani tahanan rumah. Demikian juga dengan para hakim-hakim ditingkatan yang lebih rendah yang secara tidak konstitusional dipindahkan oleh Presiden Musharraf. Bahkan menjatuhkan hukuman kurung rumah selama 90 hari kepada Pelapor khusus PBB asal Pakistan Ashma Jahangir. Juga, Pimpinan-pimpinan oposisi politik pemerintah dan Pengacara terkenal, seperti Aitzaz Ahsan, ditahan secara tidak sah. Ribuan Pengacara dan aktifis HAM ditahan secara tidak sah. Tindakan-tindakan ini juga bisa dilihat sebagai pelanggaran hak-hak yang mendasar dan tidak dapat dikurang-kurangi (Non Derogable rights). Dan dengan sendirinya, Keadaan Darurat tersebut menjadi Illegal.

Presiden Musharraf mengklaim bahwa tindakan-tindakan diatas penting dilakukan dalam memerangi kekuatan ekstrim dan teroris yang mengancam Pakistan. Jelas bahwa tindakan ini merupakan sikap anti demokrasi oleh Presiden Musharraf dan pemerintahan yang anti terhadap kritik. Tindakan-tindakan tersebut menunjukkan sikap sepihak pemerintahan yang dengan gampang menuduh ‘ektrimis dan teroris’ terhadap kelompok-kelompok tertentu. Tindakan ini merupakan contoh buruk dalam perang melawan terorisme.

Menurut kami, demokrasi dan kebebasan sipil merupakan satu-satunya cara untuk menghancurkan terorisme sampai ke akar-akarnya. Diktatorial dan kekerasan hanya akan melahirkan dan memperpanjang terorisme, dimanapun. “Demokrasi, Hak untuk hidup, Peradilan yang Fair, menentukan nasib, dan kebebasan bicara dan berkumpul adalah hak yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari semua orang”

Keadaan yang terjadi di Pakistan merupakan potensi meluasnya dan panjangnya penderitaan bagi masyarakat sipil. Adalah kekhawatiran dan kewajiban semua bangsa untuk menentang pelanggaran hak-hak masyarakat sipil di Pakistan (Universal Principle). Termasuk Pemerintah Indonesia yang sedang menjadi ketua dewan keamanan PBB dan  anggota Dewan HAM PBB. Terlebih-lebih, Indonesia juga memiliki pengalaman buruk atas masa-masa kediktatoran dan darurat militer, sebagaimana di Aceh, yang berakhir dengan banyaknya pelanggaran HAM dan belum terselesaikan hinga saat ini. Seiring dengan hal tersebut kami menyayangkan sikap Pemerintah Indonesia yang menyatakan masalah Pakistan adalah urusan dalam negeri. Padahal setiap negara memiliki kewajiban mengingatkan, bahkan mengambil tindakan, jika ada kegagalan dalam menjalankan tugas Duty to Protect terhadap hak-hak dasar warga negara dimana Keadaan Darurat diberlakukan.

Kami mendesak Pemerintah Indonesia segera menyatakan ketidak setujuannya terhadap apa yang terjadi di Pakistan dan sesegera mungkin membangun solidaritas internasional untuk menentang pemberlakukan keadaan darurat di Pakistan, terutama untuk segera mengembalikan (restore) kebebasan media, membebaskan para aktifis dari kelompok oposisi dan para (profesional) pekerja HAM dan hukum di Pakistan. Ketiadaan respon terhadap persoalan di Pakistan, patut dicurigai sebagai persetujuan terhadap pemberlakuan keadaan darurat sebagai cara ‘melawan terorisme dan kritikan oposisi’.

Jakarta, 07 November 2007
KontraS-HRWG