Rekomendasi Pertemuan Jaringan Sipil se-Aceh

Rekomendasi Pertemuan Jaringan Sipil se-Aceh
Jangan Amputasi HAM Rakyat Aceh..!

Sebanyak 41 organisasi masyarakat sipil dari 9 Kabupaten/Kota di Aceh telah melaksanakan pertemuan jaringan di Meusium Aceh pada tanggal 5-6 November 2007. Pertemuan ini merupakan ajang konsolidasi sipil untuk mendukung dan mengawal perdamaian yang berkeadilan di Aceh. Setelah melalui proses diskusi dan sharing selama dua hari, peserta pertemuan menyepakati beberapa permasaalahan penting yang harus ditanggapi secara bersama.  

Yaitu, berkaitan dengan penyelesaian HAM masa lalu, dalam hal ini peserta menyimpulkan pentingnya menghormati dan mendukung aspirasi yang cukup kuat disuarakan oleh masyarakat korban pelanggaran HAM di Aceh yang menginginkan adanya proses hukum terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pasa masa konflik. Sayangnya pasal 228 UU PA telah mengamputasi hak bagi masyarakat Aceh untuk dapat memperoleh keadilan HAM, melalui proses yudisial sebagaimana yang diatur dalam UU No 26 tahun 2000. Karena, pengadilan HAM dalam UUPA hanya berwenang mengadili perkara pelanggaran HAM yang terjadi di atas tahun 2006 (sesudah UU PA disahkan). Lebih tragis lagi, pemerintah sejauh ini hanya berinisiatif untuk membuat Qanun pengadilan HAM dalam merespon aspirasi korban.

Pembentukan pengadilan HAM melalui Qanun ini dianggap memiliki banyak kelemahan yang semakin mempersulit perwujudan keadilan HAM di Aceh. Mengingat aturan hukum se level qanun dikhawatirkan tidak memiliki kekuatan untuk memaksa kepatuhan dari pelaku pelanggaran HAM dari unsure Negara untuk tunduk dibawahnya. Dengan demikian pembentukan pengadilan HAM melalui Qanun dianggap lebih mundur dari pada menyandarkan pada undang-undang pengadilan HAM yang telah ada (UU no 26 Tahun 2000). Untuk itu, peserta meminta kepada pemerintah Aceh untuk lebih cermat dan teliti dalam melahirkan kebijakan dengan mempertimbangkan secara sungguh-sungguh aspirasi masyarakat Aceh. Dan peserta juga berharap kepada Komnas HAM Indonesia yang sekarang di pimpin oleh Putra Aceh agar benar-benar mempertimbangkan aspirasi masyarakat Aceh dalam proses amandemen UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang sedang mereka gagas.

Selain itu, masyarakat sipil Aceh dalam pertemuan ini juga mendesak pemerintah untuk melaksanakan  kewajibannya secara sungguh-sungguh terhadap pemenuhan hak atas rehabilitasi dan konpensasi bagi masyarakat korban konflik, sebagaimana yang diamanahkan dalam MoU Helsinki. Rehabilitasi dan konpensasi bagi korban konflik hendaknya dimaknai oleh pemerintah Indonesia sebagai kewajiban Nasional yang harus dilaksanakan secara tuntas dan manusiawi berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang kuat, seperti UU, minimal PP atau Keppres.

Dalam pertemuan ini, aksi kriminalitas bersenjata yang kembali marak terjadi di Aceh juga menjadi sorotan penting dari peserta pertemuan. Peserta menganggap aksi kriminalitas bersenjata merupakan ekses dari tidak berjalannya beberapa klausul dalam MoU Helsinki salah satunya berkaitan dengan lemahnya pelaksanaan reitegrasi dan rekonstruksi ekonomi dan social dampak dari konflik bersenjata.

Secara umum peserta melihat ketidaksesuaian UU PA dengan MoU Helsinki sebagai penyebab utama munculnya berbagai permasalahan baru di Aceh, untuk itu sangat penting  bagi pemerintah dan pihak-pihak pengambil kebijakan lainnya di Aceh dan Nasional agar segera melakukan penyempurnaan UUPA sesuai dengan subtansi yang diatur dalam MoU Helsinki sebagai acuan dasar dalam proses perdamaian di Aceh.

Selain itu kalangan sipil yang terlibat dalam pertemuan ini juga menyimpulkan pentingnya memperkuat entitas politik rakyat Aceh dengan adanya peluang pembentukan partai politik lokal, peluang ini dinilai sebagai salah satu strategi transformasi konflik bersenjata, menuju alam politik sipil yang demokratis dan non kekerasan. Dengan demikian, bagi rakyat Aceh yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap kenderaan politik nasional (partai nasional), tetap memiliki kenderaan politik legal di Aceh dalam memperjuangkan aspirasi dan cita-cita politik mereka. Untuk itu, diharapkan kepada pemerintah pusat agar dapat bersikap arif dan tidak mempersulit proses pembentukan Parlok di Aceh dengan syarat-syarat atau aturan-aturan yang memberatkan.  

Di akhir pertemuan, jaringan sipil yang terlibat dalam pertemuan ini bersepakat untuk terus mengamati perkembangan situasi di Aceh dari waktu ke waktu. Dan secara bersama-sama akan terus mengawal keberlanjutan perdamaian yang berkeadilan di Aceh. Rekomendasi ini juga akan kami kirimkan kepada Pemerintahan Aceh. 

 

Banda Aceh, 7 November 2007

Jaringan Masyarakat Sipil Aceh

Teguh Wirmadi (PB HAM Aceh Timur), Mirwanda (SPKP HAM Aceh Barat), Zainuddin (KMPD Bireun), Sapiah TA (PASKAH Pidie), Muslem (KMPD Pidie), Wen Arsyaddin (Smangat Aceh Tengah), Ida Irawati ( ADA B Bireun), Murtala (K2HAU Aceh Ut ara),  Sayed Safwatullah (PB HAM Pidie), Ernidawaty (LINA PIDIE), Mawaddah (SP Bener Meriah),  Muzakkir (Persaudaraan Aceh Bireun), Renipidar (Smala),  Amirudin (SPKP HAM Aceh Timur), Mahyedin Wali (SPKP HAM Aceh Utara), Samir (PB HAM Aceh Tengah), Sukarti Abdullah (LINA Aceh Utara), Usman Osama (EPC Aceh), Ajidan Rahman (PB2L Bener Meriah), Novi Safriani (LSPENA Bireun), Eli Saputri (PB HAM Aceh Barat), Fikri (ASoH Meulaboh), Aan (SOMBEP Aceh Barat), Hendri (Labuhan Haji Centre), Fakhrudin (Redelong Institute Aceh Tengah), Nuruzzahri (BEM Almuslim Bireun), Liswardi (Suloh Aceh Selatan), Haspizal (Forkanas Aceh Selatan), Tarmizi (Komunitas Korban Pelanggaran HAM Aceh Besar), Adi Sudhanto (SIRA Aceh Selatan),  Mahyani (DEMOS  Aceh),  Isda (Persaudaraan Aceh Banda Aceh),  Alfarabi (BEM Ummuha), Darma (Koalisi NGO HAM), Halik Saing ( Gera k Aceh), Badriah (Ismahi Ummuha), Yuyun Anisah (KPI Aceh), Hendra Fadli (KontraS Aceh), Syahirul Alim (ACSTF), Hospi Novrizal (LBH Banda Aceh), Munawar Khalid (RTA), Yusuf Ar-Qardawy (BEM IAIN Ar-Raniry).