Kelompok Kerja untuk Advokasi Menentang Penyiksaan

Kelompok Kerja untuk Advokasi Menentang Penyiksaan

"Tidak seorangpun Petugas Penegak Hukum yang boleh melakukan, menganjurkan atau mentolelir setiap tindakan penyiksaan atau perlakukan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat, petugas penegak hukum juga tidak boleh menggunakan perintah atasan atau keadaan – keadaan khusus misalnya keadaan perang atau ancaman perang, ancaman terhadap keamanan nasional, ketidak stabilan politik internal, atau keadaan darurat umum lainnya, sebagai pembenaran atas dilakukannya penyiksaaan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan meredahkan martabat" (Pasal 5  Resolusi Majelis Umum No 34/169 tanggal 17 Desember 1979 tentang Kode Perilaku Petugas Penegak Hukum)

Kami, Kelompok Kerja untuk Advokasi Menentang Penyiksaan menyambut baik rencana kedatangan Special Rapporteur (Special Rapporteur PBB), Mr Manfred Nowak, untuk Penyiksaan, pada bulan November ini atas undangan Pemerintah Indonesia. Kunjungan Special Rapporteur PBB ini adalah resmi dan merupakan representasi dari PBB untuk melihat situasi penyiksaan dan pelaksanaan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam Lainnya yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun 1998.

Kunjungan ini merupakan implementasi dari salah satu mandat Special Rapporteur berdasarkan Resolusi Komisi HAM PBB 1985/33, yakni untuk melakukan kunjungan fact-finding berkaitan dengan praktik-praktik penyiksaan di Negara-Negara Pihak pada Konvensi.

Berkaitan dengan hal ini, beberapa poin penting yang harus diperhatikan secara bersama-sama dalam konteks kasus-kasus Penyiksaan, antara lain:

Pertama, bahwa kerangka hukum yang berlaku di Indonesia sangat tidak memadai untuk mencegah terjadinya praktik-praktik penyiksaan.

KUHP yang berlaku sekarang ini hanya mengenal istilah "penganiayaan", yang secara subtansi dan subyek pelakunya berbeda dengan kategori Penyiksaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan, yang tidak memungkinkan untuk menghukum aparat Negara yang melakukan praktik-praktik penyiksaan dalam meminta/mencari sebuah informasi. Contoh kasus sebagaimana yang dialami oleh  Risman Lakoro ketika diperiksa di kantor Polisi Sektor Tilamuta-Limboto, Gorontalo. Karena mengalami berbagai penyiksaan ia terpaksa mengakui tuduhan pembunuhan atas kematian putranya.

Di samping itu, UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM tidak menyediakan sebuah kerangka hukum, kecuali ketika penyiksaan itu menjadi bagian dari Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang dilakukan secara sistematis atau meluas.  

Kedua, bahwa sampai saat ini penjara merupakan tempat dimana penyiksaan dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia terus dilakukan. Oleh karena itu, Special Rapporteur harus diberikan izin untuk memperoleh informasi yang seluas-luasnya mengenai kondisi penjara di Indonesia.

Hasil riset LBH Jakarta menunjukkan sangat besarnya tindakan-tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat negara. Dari sebanyak 639 responden di tiga tempat (LP Cipinang, Rutan Salemba, LP Pondok Bambu) menyebutkan bahwa sebanyak 74,4 % tindakan penyiksaan dilakukan oleh Polisi, 4,5% dilakukan oleh Sipir Penjara, 0,9 % dilakukan oleh TNI, 0,6 % dilakukan oleh Pegawai Sipil, dan 5, 9 % dll (contoh: sesama napi).

Ketiga, bahwa peluang terjadinya tindakan penyiksaan semakin besar dalam kontra melawan terorisme.  

PP No. 1/2002 – menjadi UU No. 15/2003 – memberikan wewenang yang sangat besar kepada Kepolisian dan aparat intelijen dalam hal melakukan penangkapan. Pasal 28 menyebutkan "Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap orang selama 7×24 jam"  Proses ini lebih lama dari yang telah ditetapkan dalam KUHAP.   

Keempat, bahwa praktik-praktik penyiksaan masih terus berlangsung di daerah-daerah konflik dan menempatkan masyarakat pada umumnya sebagai korban potensial.  

Sebagai contoh, masih terdapatnya kasus-kasus penyiksaan/salah tangkap di Aceh (paska MOU Helsinki) dan di Poso pada tahun 2005, yang tidak diselesaikan dengan baik seperti yang dialami oleh Jumaedi pada tanggal 1 Juli 2005, ketika ia ditangkap di rumahnya kemudian dibawa ke Hotel Mulia, Pendolo Village untuk diinterogasi dan dipaksa mengakui keterlibatan dirinya pada peristiwa bom di Tentena. Jumaedi ditangkap sampai 10 Juni 2005. Hal yang sama juga dialami oleh Jumeri, Mastur Saputra, dan Sutikno, pada awal Juni 2005.

Untuk itu, diharapkan Pemerintah Indonesia dan departemen-departemen terkait (Deplu, Depkumham/Dirjen Lapas, TNI, dan Polisi) bersikap kooperatif dan berkerja sama dengan Special Rapporteur PBB untuk memberikan informasi yang benar dan bersikap objektif sesuai dengan fakta-fakta yang ada di lapangan. Sehingga inisatif untuk mengundang Special Rapporteur bukan hanya sebagai lip-service semata, namun dapat benar-benar merupakan komitmen Indonesia dalam penghormatan terhadap kemanusiaan, bukan semata-mata retorika politik.

Sehubungan dengan ini, kami menyatakan kepada Pemerintah Indonesia dan lembaga-lembaga Penegak Hukum dan lembaga Perlindungan HAM:

  1. Agar Pemerintah RI memberikan akses seluas-luasnya kepada Special Rapporteur PPB, Mr. Manfred Nowak, untuk mengunjungi wilayah-wilayah konflik dan Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negara;
  2. Untuk terbuka (kooperatif) dan bersikap jujur selama kunjungan Special Rapporteur, Mr. Manfred Nowak.

 

Jakarta, 08 November 2007

 

Kelompok Kerja  untuk Advokasi Menentang Penyiksaan

 

ELSAM – HRWG – KontraS – LBH Jakarta –  IMPARSIAL –  YLBHI – RAHIMA – KPI – YPHA – LBH APIK Jakarta – Jesuit Refugee Service – LBH APIK Aceh – LBH Banda Aceh – ELSHAM Papua Barat – PBHI – Serikat Tani NTB – PIAR – LPH YAPHI – LBH Medan – ELPAGAR – LBH Semarang – LBH P2I – KRN – LBH Pers – Solidaritas Perempuan – YPHA – LAHA – ALDP