Bela Negara Tidak Harus Ikut Kemiliteran atau Perang

Laporan Wartawan Kompas Wisnu Dewabrata

JAKARTA, KOMPAS- Rencana pemerintah mengegolkan draf Rancangan Undang-Undang Komponen Cadangan masih terus menuai pendapat pro dan kontra.
 
Pemerintah diminta berhati-hati dan terlebih dahulu menyosialisasikan sekaligus mencari masukan sebanyak mungkin dari  berbagai elemen masyarakat.
 
Desakan seperti itu muncul dan mengemuka dalam sebuah diskusi interaktif, Sabtu (10/11), yang digelar salah satu stasiun radio di Jakarta.
 
Dalam diskusi muncul pendapat, hak dan kewajiban bela negara seorang warganegara tidak harus selalu diwujudkan dalam bentuk kemiliteran atau keikutsertaannya berperang.
 
Negara juga harus menjamin setiap warga negaranya untuk tidak dipidanakan ketika sesuai keyakinannya, baik agama, kemanusiaan, maupun politik, orang tersebut menolak ikut angkat senjata dan berperang.
 
Hadir sebagai pembicara Dirjen Potensi Pertahanan Dephan Budi Susilo Soepandji, anggota Komisi I dari Fraksi Partai Golkar Happy Bone Zulkarnaen, mantan Kepala Staf Teritorial TNI Letjen (Purn) Agus Widjojo, dan Usman Hamid dari Kontras.

"Pemerintah harus juga menyediakan alterntatif lain. Penolakan untuk dilibatkan dalam kemiliteran atau berperang ada diatur dan dilindungi dalam pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik tentang hak dan kebebasan untuk berkeyakinan," ujar Usman.
 
Malah mayoritas negara maju menurut Usman, sekarang telah meninggalkan dan menghapus aturan yang mewajibkan warganegara mereka masing-masing ikut wajib militer atau angkat senjata dan berperang.