Agendakan Kembali Penuntasan Kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II

Agendakan Kembali Penuntasan Kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II

Besok, 13 November 2007, tepat sembilan tahun kasus Semanggi I (1998). Pada tahun kesembilan ini terlihat bentuk pengingkaran negara dalam menuntaskan kasus Semanggi I (Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II), terutama dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, Kejaksaan Agung dan DPR RI. Kondisi ini, selain membuktikan ketiadaan penegakan hukum, memperlihatkan diskriminasi konstitusional terhadap para korban.  

Pada 6 Maret 2007 BAMUS (Badan Musyawarah) DPR RI menolak rekomendasi komisi III, yang menyatakan pencabutan hasil Pansus TSS  dibawa ke Paripurna. Lewat voting, empat fraksi mendukung rekomendasi, enam fraksi menolak dan bahkan meminta kasus itu dikembalikan ke Komisi III DPR RI. Perpolitikan di DPR pada kasus TSS ini sangat memperlihatkan kepentingan golongan. Para anggota DPR tidak mempunyai cara pandang yang sama dalam penyelesaian persoalan kemanusiaan secara beradab dan sesuai prinsip negara hukum. Kondisi diatas diperparah dengan sikap diam dari Presiden SBY. Sikap diam ini dimanfaat oleh Kejaksaan Agung untuk menghindar bekerja untuk melakukan penyidikan.

Penuntasan kasus Semanggi I (TSS) merupakan keharusan. Keharusan tersebut tidak hanya dikarenakan oleh kewajiban pemenuhan hak-hak warga negara atas penegakan hukum. Akan tetapi juga harus didasari oleh tanggung jawab politik bahwa perlu melakukan koreksi substansial terhadap sistem, struktur dan perilaku yang mengakibatkan kekerasan terhadap masyarakat sipil.

Sampai sejauh ini belum muncul kesadaran hukum maupun politik, dari sejumlah kalangan, Presiden SBY, DPR dan Pemerintahan, bahwa melakukan reformasi institusi-institusi yang terlibat kekerasan dimasa lalu, seperti TNI dan Polri, patut dilakukan lewat metode pengadilan dan penghukuman. Reformasi institusi, tidak semata dilakukan dengan hanya melakukan perubahan aturan hukum dan memasukan HAM sebagai prinsip yang harus diperhatikan.

KontraS memandang perlu bagi pemerintah untuk membangun kepercayaan kepada masyarakat dan korban pelanggaran berat HAM serta mencegah berulangnya kekerasan oleh institusi-institus—yang potensial melakukan kekerasan—dimasa depan. Oleh karenanya, kami mendesak lembaga-lembaga terkait, Pemerintah dan DPR, segera mencari terobosan. Kami mendukung upaya yang telah dilakukan oleh Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Kami mendesak tim dapat bekerja segera dengan efektif, khususnya bagi penyelesaian kasus masa lalu. Selain itu penting bagi DPR kembali mengagendakan pencabutan hasil Pansus DPR (1999-2004). DPR juga harus bisa mengagendakan pembicaraan antar lembaga dengan Presiden untuk meminta perhatian dan keseriusan Presiden dalam menuntaskan kasus TSS.

Jakarta, 12 November 2007

Haris Azhar, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas dan Reformasi Institusi
Chrisbiantoro, Staf Divisi Pemantauan Impunitas dan Reformasi Institusi