Pelapor Khusus PBB Diminta Kunjungi Sulteng

PALU, SELASA– Belasan aktivis HAM yang tergabung dalam Kelompok Kerja Untuk Advokasi Menentang Penyiksaan di Sulawesi Tengah (Sulteng) meminta Special Rapporteur (Pelapor Khusus) PBB, Manfred Nowak untuk mengunjungi wilayah Sulteng. Mereka  menginginkan PBB meneliti sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang melibatkan aparat hukum.
 
Permintaan itu mereka sampaikan ketika mendatangi Kantor Perwakilan Komnas HAM Sulteng di Jalan Ahmad Yani Palu, Selasa. Manfred Nowak berkunjung ke Indonesia mulai 10 hingga 25 November 2007 atas undangan Pemerintah Indonesia.
   
Ketua Lembaga Pengembangan Studi Hukum Sulteng, Huismen Brant mengatakan praktik-praktik penyiksaan masih terus berlangsung di daerah-daerah konflik dan menempatkan masyarakat umum sebagai korban potensial.
   
Bahkan, katanya, beberapa kasus penyiksaan dan salah tangkap di Poso tahun 2005 hingga 2007 tidak terselesaikan dengan baik seperti yang dialami oleh Junaedi, Jumeri, Mastur Saputra, dan Sutikno pada tanggal 1 Juni 2005. 
   
"Mereka ditangkap kemudian di bawa ke Hotel Mulia, Pendolo (Poso), untuk menjalani interogasi dan dipaksa mengakui keterlibatan dalam peristiwa bom Tentena," katanya.
   
Masih menurut Huisman Brant, peristiwa serupa juga dialami oleh 20 warga sipil di Kota Poso saat operasi penangkapan DPO (Daftar Pencarian Orang) pada 22 Januari 2007 di Kelurahan Gebang Rejo.
   
"Selain di Poso, kasus penyiksaan oleh aparat juga dialami warga Selena (Palu) dan lima warga di Ampibabo (Parigi-Moutong)," ujarnya.
   
Berdasarkan fakta tersebut, Brant berharap Nowak bersedia mengagendakan pemantauan ke wilayah Sulteng untuk memastikan Pemerintah Indonesia telah memenuhi kewajibannya melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat untuk bebas dari tindakan penyiksaan.
   
Pada kesempatan yang sama, Koordinator Kontras Sulawesi, Edmon Leonardo, meminta pemerintah melalui departemen terkait, seperti Deplu, Depkumham, TNI dan Polri bersikap kooperatif dan bekerjasama dengan Nowak untuk memberikan informasi yang benar sesuai fakta objektif lapangan.
   
"Inisiatif mengundang Special Rapporteur PBB jangan sebatas retorika politik, tapi merupakan komitmen Indonesia atas penghormatan terhadap kemanusiaan," katanya.
   
Syamsu Alam Agus dari Kontras menambahkan, poin penting yang harus diperhatikan dalam konteks kasus-kasus penyiksaan di Indonesia, antara lain KUHP yang berlaku hanya mengenal istilah "penganiayaan" yang secara substansial dan subyek pelakunya berbeda dengan kategori "penyiksaan" sebagaimana diatur dala pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan.
   
Kondisi ini, tegasnya, tidak memungkinkan menghukum aparat negara yang melakukan praktik penyiksaan dalam meminta informasi. Selain itu, lanjutnya, Undang-Undang(UU) Nomor (No) 39/1999 tentang HAM dan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM tidak menyediakan sebuah kerangka hukum, kecuali ketika penyiksaan itu menjadi bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan secara sistimatis atau meluas.
   
"Peluang terjadinya tindakan penyiksaan semakin besar dalam kontra melawan terorismen melalui UU Nomor 15 Tahun 2003 yang memberi wewenang kepada polisi dan aparat intelijen dalam hal melakukan penangkapan selama 7×24 jam," demikian Syamsu Alam Agus.(Ant/wip)