pertahanan: Mencari Rumusan Komponen Cadangan

Wisnu Dewabrata

Departemen Pertahanan tidak pernah sepi dari "hiruk- pikuk" terkait sejumlah kebijakan yang ditelurkannya. Jika sebelumnya ada persoalan terkait rahasia negara dan keamanan nasional, kali ini pro dan kontra kembali muncul menyusul rencana Dephan memajukan draf Rancangan Undang-Undang tentang Komponen Cadangan.

Sebenarnya tidak ada yang baru dari draf RUU itu. Proses penyusunan, mulai dari naskah akademik hingga berbentuk draf RUU yang ada sekarang, pun sudah berjalan setidaknya sejak empat tahun lalu. Pada intinya, draf RUU itu mengatur pelibatan warga negara dalam sistem pertahanan negara, yang menganut model sistem pertahanan semesta, yang dulu dikenal sishankamrata, seperti terdapat dalam konstitusi.

Dalam sistem pertahanan semesta itu seluruh komponen bangsa akan dilibatkan dalam upaya mempertahankan negara terhadap ancaman, baik militer dari negara lain maupun ancaman dari dalam negeri. Ketentuan soal kriteria ancaman diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Komponen pertahanan negara terdiri dari tiga bagian, yaitu komponen utama (TNI), komponen cadangan, dan komponen pendukung.

Pada beberapa kesempatan, Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Dephan Budi Susilo Soepandji memastikan draf RUU itu sudah masuk proses pembahasan tahap akhir di tingkat panitia antardepartemen. Diperkirakan akhir Desember ini Dephan sudah menyerahkan draf tadi ke Sekretariat Negara untuk dibuatkan amanat presiden-nya dan kemudian diserahkan ke DPR untuk mulai dibahas awal tahun depan.

Lantas, di mana letak masalahnya? Bagi mereka yang pro tentu saja tidak ada soal. Upaya membela dan mempertahankan negara serta Tanah Air dari ancaman luar adalah bentuk panggilan dan tugas mulia. Akan tetapi, bagi mereka yang mempertanyakan, draf aturan tentang komponen cadangan itu dinilai aneh dan belum terlalu mendesak untuk diadakan. Apalagi jika mengingat berbagai keterbatasan yang ada maupun dengan mempertimbangkan dampak serta implikasi yang dikhawatirkan meluas dan terpaut banyak aspek lain.

Sejumlah pihak dalam beberapa kesempatan mempertanyakan keinginan Dephan mengegolkan draf RUU itu. Mereka menilai cara kerja pemerintah tidak jelas karena seharusnya ada sejumlah prasyarat yang diadakan terlebih dahulu sebelum membuat aturan tentang komponen cadangan. Beberapa syarat itu terutama terkait penetapan seperti apa bentuk dan kriteria ancaman yang harus dan akan dihadapi sehingga perlu kiranya dibentuk komponen cadangan yang akan memperkuat komponen utama (TNI).

Jika mau tertib, seharusnya pemerintah diminta terlebih dahulu membuat kebijakan dan strategi pertahanan dalam bentuk strategic defense review (SDR) dan Buku Putih Pertahanan. Nantinya dari sana baru dapat dipastikan bagaimana dan berapa besar postur kekuatan yang akan dibuat untuk menghadapi ancaman dan gangguan tadi. Kritik tentang itu dilontarkan mantan Kepala Staf Teritorial TNI Letjen (Purn) Agus Widjojo dan Hari T Prihartono dari Propatria Institute dalam kesempatan terpisah.

Selain itu pemerintah juga diminta mempertimbangkan masalah kemampuan dukungan anggaran yang dapat diberikan oleh negara. Selama ini alokasi anggaran pertahanan yang diberikan pemerintah sangatlah minim dan terbatas. Walau alokasi anggaran yang diberikan dalam kurun lima tahun terakhir dinilai lumayan mengalami kenaikan signifikan, besaran nominal yang ada jumlahnya masih tidak bisa lebih dari separuh permintaan anggaran yang diajukan. Padahal, besaran yang diminta pun sebenarnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pertahanan paling minimal. Belum lagi jika alokasi anggaran yang terbatas tadi masih harus dibagi-bagi kembali ke banyak pos kebutuhan. Akibatnya, jatah untuk pengadaan senjata terbilang sangat kecil, sementara persenjataan yang ada sudah terbilang "uzur" dan membutuhkan biaya perawatan dan operasional yang sangat besar. Mayoritas alokasi anggaran, sekitar 60 persen, habis untuk membayar gaji pegawai dan prajurit TNI.

Tidak heran jika muncul komentar bernada miring, salah satunya terlontar saat acara talkshow yang digelar salah satu stasiun radio di Jakarta, Sabtu lalu. Pemerintah pada intinya dikritik seperti "kelebihan duit" dengan mengajukan draf RUU Komponen Cadangan itu. Padahal, jika memang seperti itu, akan jauh lebih baik jika "uang lebih" tadi diprioritaskan pengalokasiannya untuk memenuhi kebutuhan TNI, terutama untuk membeli dan melengkapi persenjataan yang ada.

Selain soal anggaran, sikap pemerintah yang ingin mengegolkan draf RUU Komponen Cadangan tadi juga dianggap tidak peka terhadap kemungkinan dampak serta implikasi yang mungkin terjadi dan mengenai banyak aspek lain semacam isu ketenagakerjaan dan hak asasi manusia (HAM).

Kekhawatiran tadi bisa jadi beralasan, mengingat dalam draf RUU terdapat sejumlah pasal yang mengatur kriteria dam persyaratan calon anggota komponen cadangan. Mereka yang disasar oleh draf RUU itu untuk dijadikan anggota komponen cadangan adalah orang-orang yang sudah bekerja, baik sebagai pegawai negeri sipil (PNS), BUMN dan BUMD, atau karyawan swasta, dan juga para peserta didik, sepanjang mereka sudah berusia di atas 18 tahun.

Tidak hanya itu, untuk menjadi semacam "jaminan", draf RUU juga mewajibkan pihak perusahaan, instansi, maupun lembaga pendidikan untuk tidak memecat para karyawan maupun peserta didik mereka. Mereka juga diwajibkan tetap memberikan hak-hak para karyawan atau peserta didik tadi selama bertugas menjadi anggota komponen cadangan. Jika menolak, akan ada ancaman hukuman pidana penjara yang bakal dijatuhkan karena dianggap menghalang-halangi seseorang menjadi anggota komponen cadangan.

Sedangkan terkait isu HAM, Usman Hamid dari Kontras meminta pemerintah menyediakan alternatif lain bentuk "pelayanan" negara tadi. Negara, menurut dia, harus melindungi hak-hak sipil dan politik seseorang, bahkan termasuk jika dia menolak terlibat dalam perang.