“Justitia Denegata”

"Justitia Denegata"

Jika Wiji Thukul menjadi korban penghilangan secara paksa dan Wawan menjadi korban penembakan Semanggi I (1998), maka Sipon, istri Thukul, dan Sumarsih, ibunda Wawan, serta keluarga kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang lain adalah korban dari sebuah praktik pengingkaran (Latin: denegata).

Dalam kamus hukum universal (Black’s Law Dictionary; edisi ketujuh, 1999) pengingkaran (denial) diartikan sebagai sebuah penolakan. Penolakan tersebut bisa berupa penolakan di peradilan atas sebuah fakta atau argumentasi yang dituduhkan kepada seseorang yang menjadi pihak dalam pengadilan. Penolakan di pengadilan bisa diajukan langsung oleh pihak dalam pengadilan atau pun melalui kuasa hukumnya.

Black’s Law juga menggambarkan sejumlah bentuk pengingkaran yang lebih spesifik. Pertama, conjunctive denial, sebagai sebuah tanggapan yang bertentangan terhadap semua fakta yang dituduhkan.

Kedua, disjunctive denial, sebagai tanggapan yang bertentangan terhadap dua atau sejumlah kebenaran dari tuduhan yang muncul.
Ketiga, general denial, respon yang digunakan terhadap semua bahan tuduhan atau petisi.

Keempat, qualified general denial, merupakan sebuah pengingkaran umum atas seluruh tuduhan, kecuali tuduhan yang diakui oleh si tertuduh. Terakhir, respon terpisah yang diterapkan kepada tuduhan tertentu yang dikomplainkan.

Sedangkan pengingkaran keadilan (denial of justice/justitia denegata) diartikan sebagai sebuah kekurangan atau kelalaian pada sebuah organisasi negara atau administrasi keadilan yang mengakibatkan pelanggaran terhadap sebuah kewajiban yang seharusnya dinikmati oleh setiap individu di negara tersebut.

Dari cukilan definisi-definisi di atas jelas bahwa pada dasarnya pengingkaran merupakan sebuah tindakan, yang aktif, yang dilakukan oleh seseorang atau lebih untuk menolak sebuah tuduhan atas tindakan yang bertentangan dengan hukum. Terdapat pula pengingkaran yang dilakukan secara pasif, sebagaimana dalam denial of justice, namun berakibat terlanggarnya hak di pihak lain. Selain itu, pengingkaran juga merupakan penolakan terhadap fakta dan kebenaran (Arab: haq) serta penolakan menjalankan kewajiban, seperti memenuhi hak pihak tertentu.

Labirin Pengingkaran
Pengingkaran merupakan salah satu kata kunci untuk menggambarkan ketiadaan penegakan hukum HAM di Indonesia hari ini. Kata kunci tersebut ada dalam perasaan para korban pelanggaran HAM ketika mereka memandang foto anak, suami, saudara, atau bekas luka akibat tembakan atau siksaan yang ada ditubuh mereka. Bahkan kata kunci tersebut mungkin muncul ketika mereka melihat televisi yang memberitakan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menerima kedatangan Zinedine Zidane di Istana Negara. Atau ketika mereka melihat berita mengenai kunjungan anak-anak dari sebuah Taman Kanak-kanak ke Istana Wakil Presiden.

Pengingkaran aktif juga dilakukan oleh institusi-institusi dalam peradilan HAM. Bukti ini paling jelas ketika Mahkamah Agung sebagai tingkat kasasi pengadilan HAM untuk kasus Timor Timur 1999 dan kasus Tanjung Priok 1984 menyatakan tidak ada pelanggaran berat HAM dalam kasus-kasus tersebut hingga tidak perlu ada yang dihukum, kecuali seorang pelaku dari kalangan sipil yang diorganisasi.

Sedangkan pengingkaran pasif bisa berwujud dalam beberapa bentuk. Pertama, pengingkaran melalui (ketiadaan) tindakan politik, misalnya oleh Presiden dan DPR. Presiden tidak merasa risih dan tidak mengambil tindakan tegas ketika Kejaksaan Agung menolak menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM atas sejumlah kasus pelanggaran berat HAM. DPR tidak pernah menanyakan Panglima TNI, kenapa anggota atau purnawirawan TNI tidak mau diperiksa oleh Komnas HAM. Aksi Kamisan pun-aksi diam para korban pelanggaran HAM tiap hari Kamis sore di depan istana tidak pernah direspon oleh Presiden.

Kedua, Pengingkaran hukum. Aturan-aturan hukum sengaja dibuat untuk menghindari pertanggung jawaban yang memadai. Bahkan aturan hukum dibiarkan diisi oleh kata-kata yang potensial ditafsir berbeda oleh pihak-pihak yang menolak bertanggung jawab dan aparat-aparat hukum yang korup dan malas.

Ketiga, Pengingkaran sosial. Pengingkaran ini terjadi karena adanya dominasi kelompok-kelompok tertentu, biasanya kelompok mayoritas. Baik mayoritas secara fisik ataupun pengaruh.

Belum Berakhir
Pengingkaran menjadi pemisah antara peristiwa negatif yang mengakibatkan penderitaan dan atau kerugian dengan usaha pertanggungjawaban. Secara lebih mendasar pengingkaran mengasumsikan bahwa tiap tindakan berdiri sendiri dan bebas penilaian.

Pada akhirnya pengingkaran hanya akan menjauhkan kita sebagai bangsa untuk mengambil pembelajaran dari peristiwa-peristiwa sebelumnya. Transisi demokrasi di Indonesia masih dikuasai oleh politik pengingkaran atas keadilan. Sementara para korban pelanggaran berat HAM dan keluarganya, seperti Sipon dan Sumarsih, dilihat sebagai "Subjek Lain" dan terdiskriminasi. Tapi waktu akan menjawab karena pengingkaran justru menyemangati para korban untuk terus memperjuangkan keadilan.

Penulis adalah Kadiv Pemantauan Impunitas dan Reformasi Institusi- KontraS