Gampoeng dan Perpolisian Masyarakat

Gampoeng dan Perpolisian Masyarakat

Negara yang melaksanakan prinsip demokrasi, polisi tidak bisa berperilaku militeristik, tetapi harus bertindak sebagai pelayan dan pelindung (to serve and to protect) bagi masyarakat. Karena kepolisian sejatinya dibutuhkan untuk menjamin terwujudnya ketertiban, keamanan sekaligus kenyamanan hidup rakyat. Karenanya, pihak kepolisian ketika merespon tindak kejahatan, tentu tidak melulu harus menggunakan cara-cara lama yang represif.

Dalam konteks negara Indonesia, memang benar bahwa aparat kepolisian dalam bertugas harus berdasarkan pada prosedur yang sah, yaitu KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) juga undang-undang lainnya. Namun perlu penjabaran kreatif dalam operasional agar tidak kaku. Kalau diibaratkan agama, bahwa KUHAP dan UU yang ada adalah ’kitab suci‘nya aparat penegak hukum, sedangkan strategi dan taktik (teknik) dan manajemen mengelolaan adalah tafsiran atau ijtihad. Lazimnya ijtihad tentu tidak diharamkan untuk terus diperkaya dan diperbaharui, sejauh tidak menyimpang dari subtansi yang telah diatur dalam kitab yang lebih tinggi.

Dalam konteks dunia, Jepang merupakan negara yang termasuk paling awal dalam menginisiasi perubahan praktik perpolisian sejalan dengan tuntutan demokrasi. Sebagai gambaran, Polisi Jepang dalam melaksanakan tugas hampir tidak pernah menggunakan senjata api untuk menangkap pihak yang dianggap melanggar hukum. Hal itu dikatakan Takeuchi Naoto, direktur Internasional National Police Agency (NPA) dalam seminar kerjasama Indonesia-Jepang dalam Meningkatkan Profesionalisme Polri. Keistimewaan polisi Jepang, kata Takeuchi, terjalinnya hubungan baik antara masyarakat dan polisi. “Masyarakat Jepang tidak takut pada polisi,” tambahnya. Selain itu dalam melaksanakan patroli, polisi Jepang selalu mengutamakan penggunaan tongkat daripada pistol (TEMPO Interaktif Selasa, 29 Maret 2005).

Kesuksesan pelaksanaan perpolisian masyarakat (Community Policing) di Jepang yang humanis dan santun telah memberi andil dalam menggeser konsep lama perpolisian dunia yang tradisional dan berwatak militeristik. Ini kemudian telah mendorong beberapa Negara untuk mengembangkannya, seperti yang diadobsi Singapura dengan system Neighborhood Police Post (NPP).

Baru beberapa tahun ini masyarakat Indonesia mulai mengenal istilah baru dalam dunia kepolisian kita yang disebut dengan Perpolisian Masyarakat disingkat Polmas. Dan Polmas boleh disimpulkan sebagai salah satu ijtihad cemerlang yang pernah diprakarsai oleh kepolisian Indonesia dalam mendorong reformasi sektor keamanan.

Berkaitan dengan ini, kepala kepolisian Indonesia telah mengeluarkan surat keputusan No. Pol: SKEP/737/X/2005 tentang kebijakan dan strategi penerapan Polmas. Model perpolisian yang telah diadobsi oleh Polri pada tanggal 13 October 2005, diyakini sebagai strategi baru perpolisian di Indonesia . Selanjutnya, kepolisian Republik Indonesia didukung oleh IOM (International Organization Migration) telah mengeluarkan buku tentang Perpolisian Masyarakat, buku ini selanjutnya digunakan sebagai panduan bagi anggota Polri dalam implementasi Polmas di Indonesia.

Polmas sebagai model baru strategi kepolisian diyakini akan menciptakan garis komunikasi dari tingkat pimpinan sampai tingkat bawah dalam struktur Polri. Dan Pihak Kepolisian akan memulai proses implementasi Polmas dengan memperkenalkan Polmas pada seluruh lembaga pendidikan Polri, seperti Sekolah Polisi Nasional, Secapa, Selapa, PTIK dan pusat-pusat pelatihan lainnya. Dan di Aceh pihak Kepolisian diketahui telah melaksanakan beberapa kegiatan sosialisasi Polmas untuk jajarannya. Bahkan di beberapa tempat pihak Kepolisian Aceh juga telah membentuk Forum Komunikasi Polisi Masyarakat (FKPM).

FKPM di Aceh

Forum FKPM dibentuk untuk menfasilitasi pengenalan Perpolisian Masyarakat dan menciptakan kemitraan yang memperkuat komunikasi antara Polri dan masyarakat, dibentuk pada tingkat Polsek/polsekta. Juga terdapat pengaturan pendirian sub-forum di tingkat Pos Polisi atau Babinkamtibmas (Perpolisian Masyarakat, buku pedoman pelatihan untuk anggota Polri).

Pembentukan FKPM di Aceh sebagai langkah positif yang layak didukung, sejauh diarahkan semata-mata untuk tujuan Polmas. Namun, untuk memastikan gagasan tersebut tetap bagus di tingkat pelaksanaannya, maka cukup arif untuk mencocokkan kembali dengan kondisi objektif Aceh, yang baru saja terbebas dari konflik kekerasan yang melibatkan jajaran kepolisian.

Di samping itu, komposisi keanggotaan serta peran dan fungsi FKPM di Aceh juga harus dikontekstualkan, sehingga dapat bersanding mesra dengan gagasan revitalisasi struktur trandisional masyarakat Aceh, yang sedang gencar-gencarnya diperjuangkan oleh kalangan pegiat adat di Aceh.

Jika merujuk pada keberadaan fungsi gampoeng (desa) dengan segala perangkatnya, secara turun-temurun masyarakat Aceh telah menjalankan trandisi penyelesaian masaalah baik pidana maupun perdata di tingkat gampoeng oleh Geusyik (Kepala Desa) beserta ureung tuha gampoeng (para pimpinan desa).

Tradisi penyelesaian permasaalahan antar warga ini biasanya berorentasi pada mendamaikan, sehingga pascapertikaian akan tercipta harmonisasi hubungan kedua pihak. Peusijeuk merupakan salah satu ritual adat yang lazim dilakukan setelah kedua pihak sepakat untuk berdamai. Namun kemudian berkembang pula kecenderungan untuk membawa keluar kasus-kasus sengketa antar warga gampoeng ke lembaga formal, seperti kepolisian dan pengadilan negeri.

Berkaitan dengan pergeseran fungsi gampoeng dalam penyelesaian sengketa Sanusi M. Syarif “Gampoeng dan Mukim di Aceh” menyebutkan, beberapa dampak yang muncul, yaitu berkurangnya wibawa gampoeng dalam upaya-upaya penyelesaian sengketa dengan pendekatan adat. Selain itu, kebanyakan kasus-kasus tersebut menumpuk di pengadilan dan berlarut-larut penyelesaiannya. Apalagi kasus-kasus yang masuk ke pengadilan tersebut mulai kasus yang ringan hingga kasus yang berat. Padahal dengan adanya peran gampoeng dalam penyelesaian sengketa, maka tugas kepolisian dan pengadilan menjadi lebih ringan.

Pembentukan FKPM sebenarnya dapat ditarik benang merahnya dengan upaya pengembalian marwah pemerintahan desa. Akan tetapi perkembangannya, FKMP yang terbentuk di Aceh, merupakan forum baru yang anggotanya direkrut dari berbagai kelompok masyarakat yang tidak serta merta berasal dari struktur tradisional yang telah ada.

FKPM semacam ini, dikhawatirkan akan menimbulkan paling tidak dua tantangan. Pertama, di tengah masih kurangnya sosialisasi FKPM, dikhawatirkan akan memunculkan resistensi sebagian masyarakat yang masih menggunakan cara pandang lama terhadap kepolisian, dan besar kemungkinan anggota FKPM akan dianggap sebagai ’lawan‘ oleh mereka. Kedua, FKPM yang menafikan struktur adat juga dinilai kurang memiliki daya ikat dengan komunitas. Di sisi lain, internalisasi Polmas juga belum menyentuh seluruh jajaran kepolisian sampai pada tingkat yang paling bawah. Dengan demikian keberadaan FKPM, berpeluang besar untuk terseret menjadi alat bagi kepentingan lainnya. Sebagai contoh, kasus sengketa tanah antara PT. Bumi Flora dengan warga di Aceh Timur. Dalam kasus ini, kepolisian setempat terkesan masih mengedepankan kepentingan modal (perusahaan) dibandingkan dengan pemecahan permasaalahan yang diperjuangkan warga. Dan sudah menjadi rahasia umum di Indonesia , pihak yang kuat dan kaya cenderung diuntungkan dalam proses penegakan hukum dibandingkan si miskin yang lemah.

Alternatif FKPM di Aceh

Adanya Komunikasi yang efektif antara masyarakat-polisi merupakan tujuan utama dari pembentukan FKPM. Kuncinya ada pada saling percaya dan saling butuh. Kepercayaan semestinya harus diupayakan dengan berbagai cara, di antaranya dengan menjalin komunikasi dan koordinasi yang santun dan setara antara rakyat dengan petugas kepolisian. Lebih jauh kepolisian juga harus kreatif dalam menggali kearifan lokal yang ada untuk merangsang semangat voluntary (suka-rela) pada masyarakat dalam menjaga ketertiban dan keamanan di komunitas masing-masing.

Ada baiknya pembentukan FKPM di Aceh, tidak harus diseragamkan dengan model yang berlaku di provinsi lain, apalagi secara historis komunitas Aceh memiliki kecenderungan sulit untuk beradabtasi dengan hal-hal baru yang berpotensi mereduksi fungsi tatanan sosial yang telah ada. Lebih tepat jika pelibatan unsur masyarakat dalam FKPM ini di ’seludupkan‘ saja dalam struktur tradisional yang telah ada, semisal Geusyik, Imuem Mukim, dan ureung tuha gampoeng. Apalagi sebagian dari struktur adat tersebut juga dibentuk secara demokratis oleh warga. Ini akan lebih kondusif dan tidak beresiko, dibandingkan dengan pembentukan struktur baru.

Melalui keterlibatan langsung para pemuka adat dan pimpinan gampong dalam FKPM, karena mereka tentu lebih mafhum tentang kontek dan karakter komunitasnya masing-masing. Selain itu, pelekatan fungsi FKMP pada struktur tradisional juga dinilai cukup bersinergi dengan semangat revitalisasi pemerintahan gampoeng. Tindakan ini akan meningkatkan kesan positif ureung gampoeng (komunitas di pedesaan) terhadap kiprah kepolisian, karena ureung gampoeng mulai melihat hamba hukum ini sebagai mitra yang berkontribusi nyata dalam memberdayakan gampoeng. Dengan demikian, kerjasana antara jajaran penegak hukum dengan rakyat telah mulai dipraktekkan dan berbagai persoalan yang timbul dikemudian hari juga akan mudah dipecahkan.

Begitu juga dengan persoalan tindak kriminal bersenjata yang selama ini marak terjadi di Aceh, pihak kepolisian tentu dapat bekerjasama dengan ureung gampoeng untuk membebaskan desa masing-masing dari oknum kriminal bersenjata. Dan ini hanya bisa terwujud ketika Geusyik, Ureung Tuha Gampoeng, Imuem Mukim, Tuha Peut, dan Tuah lapan kembali memiliki pengaruh dan kewibawaan ditengah warga, seperti pada masa ketika penyeragaman sistem pemerintahan desa belum digalakkan oleh pemerintah Orde Baru.

*) Penulis adalah Manager Pogram, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh (KontraS Aceh).