Bela Negara

Bela Negara

Menteri Pertahanan berkeras agar RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara masuk Prolegnas 2008. Basis legal pengajuan RUU ini adalah melaksanakan Pasal 8 ayat (3) UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara. Mengapa terkesan kontroversial?

Mari kita tengok UU Pertahanan Negara. Pasal 1 butir 6 menyatakan, komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan TNI sebagai komponen utama dalam penyelenggaraan pertahanan negara. Sedangkan komponen pendukung adalah sumber daya nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan.

Dari uraian ini maka muara akhir komponen cadangan adalah untuk mengisi struktur TNI melalui mobilisasi dan demobilisasi wajib militer. Tapi Dirjen Potensi Pertahanan Dephan Prof. Budi Susilo Supandji mengelak jika RUU ini dimaksudkan untuk menerapkan wajib militer.
Ada beberapa alasan mengapa rencana Dephan memicu kontroversi. Pertama, absennya landasan paradigmatik pertahanan modern. Rencana ini masih merujuk pada Cetak Biru Dephan tahun 2003 yang mendefinisikan potensi ancaman berupa terorisme, gerakan separatis, aksi radikalisme, konflik komunal, kejahatan lintas negara, gangguan keamanan laut, gangguan keamanan udara, perusakan lingkungan dan bencana alam (Dephan, 2003, hal. 42).

Daftar ancaman lebih banyak berbentuk non konvensional dari dalam, ketimbang ancaman militer dari luar. Sehingga tak jelas postur pertahanan seperti apa yang kita butuhkan, selain pertahanan berbasis maritim. Kita bertanya, benarkah sistem pertahanan negara menghadapi ancaman militer sehingga dibutuhkan komponen cadangan dan pendukung (Pasal 6)?

Tak cukup jika dijawab hanya oleh Dephan. Kita harus membentuk Dewan Pertahanan Nasional (DPN) yang nantinya merumuskan strategic defense review atau kebijakan umum pertahanan negara (Pasal 15 ayat 1).

DPN akan menelaah, menilai, dan menyusun kebijakan terpadu pengerahan komponen pertahanan negara dalam rangka mobilisasi dan demobilisasi, termasuk menelaah resiko dari kebijakan yang diterapkan.

DPN nantinya dipimpin langsung oleh Presiden dan melibatkan Wakil Presiden, Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Panglima (Pasal 15 ayat 5). Menhan hanya satu dari semua unsur DPN. Karena itu, sebaiknya Menhan memprioritaskan pembentukan DPN. Jangan sampai, kecerobohan Dephan memaksakan pembuatan RUU KCPN ini justru menimbulkan kesalahan seperti mobilisasi warga-sipil yang dilatih/dipersenjatai untuk menghadapi aksi damai mahasiswa pada kasus Semanggi.

Kedua, prioritaskan pembenahan internal komponen utama pertahanan negara (TNI). Negara kerap beralasan, reformasi pertahanan-keamanan macet karena rendahnya bujet dan lemahnya sipil. Bukankah komponen cadangan perlu biaya besar dan kontrol sipil yang kuat? Mengapa bukan untuk kesejahteraan prajurit yang kian mendesak? Mengapa kita lamban menindak beberapa oknum jenderal yang mengorup dana prajurit.
Di sisi lain, jabatan Panglima TNI belum di bawah Menhan. Selain rentan politisasi, ini cermin lemahnya kontrol sipil atas TNI sebagai pelaksana keputusan otoritas sipil dalam pertahanan negara. Alhasil, Perpres penghapusan bisnis militer, revisi undang-undang peradilan militer, penyelesaian kasus-kasus alutsista, korupsi dan kekerasan yang melibatkan komponen utama berjalan setengah hati.

Ketiga, paradigma bela negara RUU KCPN minim perspektif HAM. Bela negara hanya dilihat dari keamanan negara (state security) yang bertumpu pada military based defence, bukan civilian based defence. Akibatnya, wujud terkonkrit bela negara adalah wajib militer (compulsary military service).

Dalam strategi pertahanan modern, kita memerlukan multi komponen pertahanan termasuk berbasis teknologi. Jadi, bukan hanya lewat wajib militer (military sevice) melainkan juga wajib sipil (civil service) sebagai alternatif. Wamil harus berbasis kerelaan bagi mereka yang berminat dan memenuhi persyaratan usia, kesehatan sampai keahlian.

Komisi HAM PBB pernah merekomendasikan negara-negara anggota PBB agar membuat sistem alternatif bela negara. Menurut Resolusi ke-88 Komisi HAM PBB tahun 1998, mereka yang dipanggil negara untuk ikut wamil namun menolak (conscientious objectors), tak boleh dikenakan sanksi pidana. Mereka berhak mendapat alternatif lain dari bela negara atau mendapat perlindungan dengan status pengungsi (refugees) ketika terjadi keadaan krisis/perang.

Saatnya nanti, saya dan siapa pun pasti bersedia membela Tanah Air dari serangan militer asing. Pembelaan itu bisa dilakukan dengan berbagai pengabdian. Jika negara hanya menyediakan wajib militer, tak semua warga berkesempatan untuk melaksanakan kewajiban/tanggung jawab sosialnya membela negara, kedaulatan, wilayah, dan segenap bangsa dan tanah airnya.

Saat ini pun, Indonesia perlu patriot-patriot. Patriotisme melawan sikap dan mentalitas korup yang melanggengkan berbagai penyalahgunaan jabatan, anggaran dan kekuasaan negara yang memperkosa hak-hak rakyat, serta mafia peradilan yang memanjakan perusak hutan/lingkungan, perampok kekayaan alam, dan penyelundup bahan pangan. Itu semua masih dilakukan oleh bangsa kita sendiri.