Pejabat Tinggi HAM PBB dan Politik Citra

M Hernowo

Setelah sekitar dua minggu berada di Indonesia, pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB mengenai penyiksaan, Manfred Nowak, akhirnya meninggalkan Tanah Air hari Minggu (25/11).

Kunjungan Nowak, profesor hukum tata negara dan hak asasi manusia (HAM), dimaksudkan untuk melihat situasi penyiksaan dan menawarkan bantuan kepada pemerintah dalam hal peningkatan sistem administrasi peradilan.

Nowak, yang juga Direktur Institut Ludwig Boltzmann untuk HAM, adalah pejabat tinggi HAM PBB ketiga yang tahun ini diundang pemerintah berkunjung ke Indonesia. Pejabat lainnya adalah Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Pembela HAM Hina Jilani yang datang Juni lalu dan Ketua Komisi Tinggi HAM PBB Louise Arbour yang berkunjung bulan Juli lalu.

Direktur HAM dan Kemanusiaan Departemen Luar Negeri Wiwiek Setyawati Firman menuturkan, kedatangan tiga pejabat tinggi HAM PBB itu adalah bagian dari komitmen Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB, khususnya dalam kesediaan untuk bekerja sama dan menaati berbagai prosedur di lembaga itu. Pelaksanaan komitmen ini diperlukan untuk menjaga citra dan kredibilitas Indonesia di mata internasional.

Sikap Indonesia, khususnya terhadap aktivitas pejabat tinggi HAM PBB itu, luar biasa. Saat di Indonesia, mereka diberi kebebasan berkunjung dan menemui siapa saja. Louise Arbour juga diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kebijakan ini berbeda jika dibandingkan dengan sikap pemerintah saat menerima Amos Wako, utusan pribadi Sekjen PBB (saat itu) Boutros-Boutros Ghali, pada Februari 1992. Sejak Desember 1991, polemik atas kedatangan Amos yang saat itu untuk mencari kejelasan (klarifikasi) tentang insiden Dili, 12 November 1991, mulai muncul. Sebagian pihak membentengi diri dengan mengatakan, yang terjadi di Dili adalah urusan dalam negeri.

Polemik seperti saat kedatangan Amos tak terlihat saat kunjungan tiga pejabat tinggi HAM PBB tahun ini. Pemerintah tampak tenang-tenang saja meski pada akhir kunjungan mereka memberikan pernyataan yang "menggelitik" kepada pers.

Padahal, kata Rafendi Djamin dari Human Rights Working Group, temuan pejabat tinggi HAM PBB akan dibacakan dalam Sidang Dewan HAM PBB, sekitar April 2008. "Sebagai anggota Dewan HAM, Indonesia wajib melaksanakan rekomendasi yang mereka sampaikan. Jika tidak, kredibilitas kita rusak," ingat dia.

Haris Azhar dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menambahkan, "Laporan itu juga menjadi bahan sejumlah negara donor saat menilai pelaksanaan HAM di Indonesia. Sebab, banyak bantuan sekarang dikaitkan dengan HAM. Misalnya, bantuan militer dari Amerika Serikat yang sempat terhenti karena HAM."

Citra HAM membaik

Namun, Staf Khusus Bidang Politik dan HAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Amiruddin Al Rahab menuturkan, Indonesia tidak perlu terlalu risau atas laporan dan rekomendasi pejabat tinggi HAM yang berkunjung ke Tanah Air. "Ada dua alasan untuk sikap ini. Pertama, sifat tawaran Dewan HAM biasanya soft power, tidak hard power seperti yang sering dilakukan Dewan Keamanan PBB. Kedua, masyarakat internasional melihat, banyak kemajuan dalam penegakan HAM di Indonesia," ujarnya.

Menurut Amiruddin, dunia melihat penegakan HAM di Indonesia jauh di atas Irak, Afganistan, Sudan, atau Myanmar yang masih diributkan. Bahkan, Indonesia dinilai masih lebih baik dibandingkan Malaysia yang disibukkan dengan isu diskriminasi rasial dan Thailand yang dibayangi hadirnya kekuasaan militer.

"Kesan itu saya dapat dari diplomat atau tokoh HAM dari negara sahabat. Mereka memang melihat banyak kasus yang belum terselesaikan, seperti pembunuhan Munir, namun itu hanya seperti riak dalam sebuah arus besar," papar Amiruddin.

Membaiknya citra itu pula yang membuat dari 192 negara anggota PBB, 182 di antaranya Mei lalu kembali memilih Indonesia duduk di Dewan HAM PBB. Prestasi ini jauh di atas negara lain, seperti Italia yang dipilih 101 negara atau Belanda yang dipilih 121 negara.

Pandangan positif dunia internasional, lanjut Amiruddin, akan menetralkan suara miring yang mungkin disampaikan pejabat tinggi HAM PBB atas hasil kunjungannya ke Indonesia. Bahkan, undangan pemerintah kepada mereka untuk berkunjung merupakan hal positif.

Wakil Ketua Komisi Nasional (Komnas) HAM Ridha Saleh menambahkan, citra baik tentang penegakan HAM terjadi karena sejumlah prosedur formal yang dilakukan pemerintah. Misalnya, menempatkan kata HAM dalam Pasal 28 UUD 1945 dan meratifikasi instrumen internasional utama bagi pemajuan dan perlindungan HAM pada tahun 2005, antara lain Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya serta Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.

"Kita juga punya Rencana Aksi Nasional HAM 2004-2009 dan memelopori pembentukan Komisi HAM ASEAN. Tahun depan, Indonesia akan meratifikasi Statuta Roma yang merupakan landasan bagi pembentukan pengadilan kriminal internasional," tambah Ridha.

Komnas HAM dalam catatan akhir tahun 2006 memang menyatakan, pelaksanaan berbagai prosedur itu tak berarti terciptanya kondisi yang kondusif bagi penegakan HAM di Indonesia. Bahkan, hampir semua kasus pelanggaran HAM di masa lalu tetap belum terselesaikan. Masalah baru juga bermunculan, seperti penembakan warga di Alas Tlogo, Pasuruan, dan semburan lumpur panas Lapindo.

"Saya setuju, penilaian yang dilakukan pemerintah dalam bidang HAM hanya prosedural formal dan bukan substansial. Namun, dunia internasional juga cenderung melihat HAM dengan ukuran prosedural formal. Akibatnya, citra HAM kita membaik. Inilah kecerdasan pemerintah dalam membaca situasi," ujar Amiruddin lagi.