HAM dan Perang Terorisme ala Musharraf

HAM dan Perang Terorisme ala Musharraf

Menumpas ekstremis dan terorisme. Itulah tema besar kampanye Jenderal Parves Musharraf belakangan ini di Pakistan. Memang, serangan bom ala terorisme terjadi berkali-kali di negeri itu, tapi kali ini kita benar-benar dikejutkan dengan tewasnya Benazir Bhutto.

Kematian Bhutto mengesankan bau pertarungan politik domestik, bukan terorisme. Di sini isu perang melawan terorisme hanya menjadi alat untuk menghidupkan kembali alat-alat represi rezim diktator untuk memberangus oposisi politik (political dissenter).

Konteks memerangi kelompok-kelompok yang diberi atribut teroris ini telah lama digunakan sebagai model politik represi rezim militer di Amerika Latin dan rezim totaliter Eropa Timur. Tewasnya perempuan sang pemberani itu menjadi sebuah pengetahuan bersama bahwa politik kotor di Pakistan telah dimainkan sepihak oleh lawan-lawan politik Bhutto.

Ancaman terhadap lawan politik bahkan para pembela HAM juga terjadi saat Presiden Perves Musharraf memberlakukan status keadaan bahaya pada 4 November 2007. Keadaan tersebut telah digunakan untuk menghabisi musuh-musuh politik Musharraf. Pihak kepolisian dan militer Pakistan menghentikan operasi media-media di Pakistan, terutama media-media swasta. Lembaga hukum tertinggi, Mahkamah Agung Pakistan dibuat tidak efektif dengan cara, seluruh hakim agungnya, termasuk Ketua Mahkamah Agung Iftikhar Chaudhry, dipaksa menjalani tahanan rumah secara tidak sah. Demikian juga dengan hakim-hakim di tingkat lebih rendah yang secara inkonstitusional dipindahkan oleh Presiden Musharraf.

Rezim Musharraf juga menjatuhkan hukuman kurungan rumah selama 90 hari kepada Pelapor khusus PBB asal Pakistan, Ashma Jahangir. Pimpinan-pimpinan oposisi politik pemerintah dan pengacara terkenal, seperti Aitzaz Ahsan, ditahan secara tidak sah. Ribuan pengacara dan aktivis HAM ditahan secara sewenang-wenang. Jelas bahwa tindakan ini bertentangan dengan demokrasi dan melanggar hak-hak mendasar. Terlebih status darurat justru digunakan untuk melonggarkan pemerintahannya melakukan kekerasan.

Antikritik

Presiden Musharraf sendiri mengklaim bahwa tindakan-tindakan brutal di atas dilakukan guna memerangi kekuatan ekstrem dan teroris yang mengancam Pakistan. Tindakan ini merupakan sikap antidemokrasi Presiden Musharraf dan pemerintahannya yang antikritik. Perilaku ini juga menunjukkan sikap sepihak pemerintah yang dengan gampang menuduh "ekstremis dan teroris" terhadap kelompok-kelompok oposisi tertentu. Tindakan ini merupakan contoh buruk dalam perang melawan terorisme.

Penegakan rule of law, keadilan dan HAM dalam kerangka demokrasi adalah cara terefektif untuk menghancurkan terorisme sampai ke akar-akarnya. Kediktatoran dan kekerasan hanya akan melahirkan dan memperpanjang terorisme, di mana pun. "Demokrasi, hak untuk hidup, hak untuk berpolitik, peradilan yang fair, menentukan nasib sendiri, dan kebebasan bicara dan berkumpul adalah hak yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari semua orang".

Keadaan yang terjadi di Pakistan merupakan potensi meluasnya dan panjangnya penderitaan bagi rakyat sipil. Itu terbukti dengan sampainya puncak insiden pembunuhan Benazir Bhutto.

Perlu ambil sikap

Menjadi kewajiban semua bangsa untuk menentang kediktatoran dan pelanggaran HAM di Pakistan. Pemerintah Indonesia yang kini sedang memegang kepemimpinan sidang Dewan Keamanan PBB dan peran strategis di Dewan HAM PBB harus mengambil sikap dan keputusan yang tegas. Kita tentu menyayangkan jika sikap Pemerintah Indonesia hanya melihat masalah Pakistan semata urusan dalam negeri.

Setiap negara memiliki kewajiban mengingatkan, bahkan mengambil tindakan, jika ada kegagalan dalam melindungi hak- hak dasar warga negara. Sudah saatnya Pemerintah Indonesia bersuara demi pemulihan demokrasi dan perdamaian di negeri Pakistan. Indonesia perlu mengupayakan sesegera mungkin membangun solidaritas internasional untuk memberikan keamanan yang seluas-luasnya bagi rakyat dan pekerja HAM dan hukum di Pakistan.

Tanpa itu kita bisa dinilai menyetujui pembunuhan politik dengan dalih "melawan terorisme".

Usmad Hamid Koordinator Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)