Jalan Panjang Penegakan HAM

Jalan Panjang Penegakan HAM

Perbeda dengan kemajuan normatif di bidang hak asasi manusia atau HAM maka penegakan hukum HAM harus diupayakan untuk memenuhi kepuasan korban. Korban adalah mereka yang menuntut pemulihan martabat dan keadilan karena peristiwa yang dialaminya. Bagaimana kenyataan selama ini? Apa tantangan ke depan?

Indonesia telah memiliki sejumlah perangkat hukum di bidang HAM. Dari Undang-undang HAM, Pengadilan HAM, Amandemen Konstitusi tentang HAM sampai dengan UU Kewarganegaraan yang menghapuskan diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa. Kemajuan-kemajuan normatif yang kita peroleh selama ini akan mempunyai arti dalam kehidupan kebangsaan kita apabila dapat dirasakan langsung oleh para korban.

Jika kita evaluasi, kondisi penegakan HAM pada 2007 mencerminkan wajah yang tak menentu. Di satu sisi terlihat cerah, di sisi lain terlihat redup, dan gelap. Cerah karena Indonesia kian terbuka dalam pergaulan antara bangsa. Ini ditandai dengan sikap Indonesia terhadap badan-badan khusus PBB yang berkunjung ke Indonesia untuk memantau langsung keadaan HAM di Tanah Air.

Di tingkat internasional, nama Indonesia menjadi harum dengan menerima Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Pembela HAM Hina Jilani, Komisioner Tinggi HAM Louis Arbour sampai dengan Pelapor Khusus masalah Penyiksaan Manfred Novak. Di sini, respek internasional meningkat dengan terpilihnya kembali RI sebagai anggota Dewan HAM untuk kedua kalinya.

Ini kelanjutan dari undangan-undangan negara kepada badan-badan khusus PBB yang berkunjung tahun lalu, seperti, pelapor khusus urusan buruh migran. Ke depan, reputasi ini harus dijaga dan bila perlu ditingkatkan, terlebih badan-badan khusus tersebut akan melaporkan hasil pemantauannya di Indonesia kepada Dewan HAM pada triwulan pertama 2008.

Sementara itu di dalam negeri, pengusutan kasus Munir mulai mengalami sedikit kemajuan bila dibandingkan dengan 2006. Pada tahun lalu, kemajuan sama sekali tak ditemukan dengan absennya tersangka baru, dan dilepaskannya Pollycarpus-satu-satunya terdakwa-dari dakwaan kasus pembunuhan Munir. Meski demikian, publik tetap merasa tak puas karena tak satu pun pelakunya dihukum, terutama aktor utama di balik konspirasi pembunuhan politik tersebut. Tantangan pada 2008 adalah menangkap dan menghukum aktor utama pembunuh Munir.

Harapan Baru

Pada saat yang sama, korban pelanggaran HAM tak akan lagi sendirian. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mulai dibentuk. Anggota baru terpilih di Komnas HAM pun kini lebih memberikan harapan baru, setidaknya itu tercermin pada tiga bulan pertama kinerjanya. Tantangan ke depan adalah menyelesaikan pekerjaan rumah yang selama ini tak selesai serta menjawab berbagai problem aktual kekerasan dan pelanggaran HAM.

Dalam penyelesaian konflik di beberapa wilayah, seperti, perdamaian Aceh masih terjaga. Masyarakat Aceh kini betul-betul menikmati kebebasan di hampir semua bidang kehidupan sipil, politik dan sosial.

Evaluasi HAM 2007 juga membawa kita pada kesimpulan bahwa wajah HAM kita redup, terutama ketika martabat dan keadilan korban belum terpenuhi. Mereka, para korban dari Aceh sampai Papua, masih menuntut pelanggar berat HAM masa lalu dihukum setimpal.

Sementara itu, perubahan struktural di bidang hukum masih belum menempatkan standar HAM sebagai pondasi utama. RUU KUHP dan KUHAP jauh dari semangat keadilan universal yang tertuang dalam ratifikasi Kovenan Hak-hak sipil dan Politik.

Di ranah reformasi institusi, juga terjadi stagnasi. Perbaikan sistem peradilan, khususnya dengan belum dihapusnya yurisdiksi peradilan militer atas pidana umum/kejahatan sipil. Akibatnya, kasus pelanggaran HAM oleh militer, seperti, kasus penembakan petani di Desa Alastlogo, Pasuruan atau kasus kekerasan militer di Rumpin, Bogor, diselesaikan di luar hukum, dan semata berdasarkan kepentingan militer, bukan martabat dan keadilan korban.

Ditambah lagi banyak penduduk harus berhadapan sendiri dengan aktor-aktor non-negara yang melanggar HAM. Misalnya, kasus-kasus kekerasan terhadap kebebasan berekspresi, kekerasan terhadap orang atau kelompok yang memiliki keyakinan berbeda dari mayoritas penganut agama. Belum lagi yang terjadi pada kelompok minoritas, LGBT (waria tewas menyebur kali akibat dikejar aparat), diskriminasi terhadap penyandang cacat, dan kelompok miskin perkotaan yang jauh dari akses kesehatan, rumah, pekerjaan, serta pendidikan (kelayakan hidup). Pembangunan ekonomi masih mengabaikan mereka yang miskin dan marjinal.

Tidak terkecuali warga yang harus menghadapi kasus pencemaran lingkungan. Perusahaan-perusahaan yang beroperasi di berbagai wilayah belum sepenuhnya menjalankan kewajiban prinsip dari perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia, menjaga kelestarian lingkungan hidup dan ekologi, serta menindak setiap dugaan penyimpangan yang merugikan masyarakat. Negara harus berupaya sekuat mungkin menjaga keseimbangan antara kebutuhan untuk pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan rakyat, dan perlindungan hak-hak dasar masyarakat, termasuk masyarakat adat.

Saya menginsyafi bahwa untuk menegakkan HAM negara harus berfokus pada masalah penegakan martabat dan keadilan. Peraturan perundang-undangan mengenai HAM boleh memadai, tetapi jika tidak dilaksanakan sepenuhnya, menjadi percuma. Dalam hal ini, kita semua mencatat adanya UU HAM, UU Pengadilan HAM, UU Kewarganegaraan, UU Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Perlindungan Anak, sampai dengan sudah diratifikasinya dua kovenan induk PBB di bidang hak sipil, politik dan sosial ekonomi, serta tercapainya kesepakatan damai Aceh. Itu semua belum cukup. Dalam penegakan HAM, yang harus diutamakan adalah kepuasan korban. Instansi-instansi negara harus membangun dialog antarinstansi agar tercipta keselarasan dalam melaksanakan peraturan dan menghindari multi-tafsir, seperti yang terjadi dalam kasus pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Negara perlu lebih meningkatkan dialog dengan kelompok-kelompok di masyarakat untuk bersama-sama mengupayakan pemenuhan fungsi negara sebagai pelindung hak asasi manusia.

Penulis adalah Koordinator Kontras