SOEHARTO SAKIT LAGI: 2008

Mantan Presiden Republik Indonesia, Soeharto kembali dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) pada tanggal 4 Januari 2008 karena melemahnya fungsi jantung dan ginjal. Sejumlah tokoh, baik pejabat maupun mantan pejabat terus berdatangan menjenguk. Tanggal 7 Januari 2008 kondisnya membaik. Tanggal 8 Januari 2008 kondisinya mengalami penurunan.

Beberapa tokoh Orde Baru, seperti Fuad Bawazier, Subiyakto Tjakra Werdaya, T.B. Silalahi, dan Tuty Alawiyah mendoakan kesehatan Soeharto. Mien Sugandhi mengatakan walaupun memiliki kekurangan, Soeharto memiliki banyak jasa kepada bangsa.

Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden RI) meminta masyarakat berdoa yang terbaik buat Soeharto. Pemerintah akan memberikan perawatan terbaik kepada Pak Harto. Jusuf Kalla (Wakil Presiden RI) mengatakan mendoakan agar pulih. Sebagai mantan pemimpin, baik pemimpin negara atau pun partai, tentunya Soeharto patut dihormati. Meutia Hatta (Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan) mengatakan teruskan apa yang baik dari Soeharto dan apa yang dinilai tidak baik jangan diteruskan. Ia menyayangkan masih banyak orang yang hanya mencaci maki Soeharto tetapi ternyata dibalik itu dia malahan justru melakukan KKN. Ali Muchtar Ngabalin (Wakil Ketua FPBB) mengatakan persoalan Soeharto ini adalah persoalan nurani, sehingga seharusnya ada sambung-rasa antar anggota DPR RI mengenai masalah ini.

Hendarman Supandji (Jaksa Agung) menegaskan meski Soeharto meninggal dunia, gugatan tetap berlanjut. Para tergugatnya yang berubah, yaitu anak Soeharto. Kejaksaan tidak mengubah kebijakan atas penanganan kasus Soeharto. Kejaksaan hanya menghentikan proses penuntutan pidana melalui penerbitan SKPP (surat ketetapan penghentian penuntutan) pada 12 Mei 2006. Kondisi sakit yang diderita Soeharto tidak memengaruhi jalannya persidangan perdata. Sebab, kepentingan Soeharto dapat diwakilkan kepada tim pengacara. Yoseph Suardi Sabda (Direktur Perdata pada JAM Perdata dan Tata Usaha Negara) mengatakan selain gugatan perdata, kejaksaan telah membentuk tim untuk mengembalikan aset negara yang diduga dicuri Soeharto. Datanya dari program Stolen Asset Recovery (StAR) yang digagas PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa). Pada program tersebut, Soeharto dinyatakan sebagai mantan pejabat terkorup. Meski demikian, secara pidana, kejaksaan hanya menemukan Soeharto memperkaya orang lain, bukan memperkaya diri sendiri.

Pernyataan Hendarman dibantah oleh Kapitra Ampera (pengacara Tommy Soeharto). Ia menegaskan kejaksaan tidak punya alasan memosisikan anak-anak Soeharto sebagai tergugat menggantikan sang ayah –jika Soeharto meninggal dunia. Hukum itu mengandung kausalitas.

Soetrisno Bachir (Ketua Umum PAN) mengatakan bahwa permasalahan status hukum Soeharto harus segera dituntaskan supaya tidak menjadi beban bagi pemerintahan sekarang. Muladi (Gubernur Lemhanas) menyarankan agar Presiden melalui Jaksa Agung mempercepat penyelesaian masalah status hukum bagi Soeharto agar tidak ada lagi polemik yang merugikan bangsa.

DPP Partai Golkar meminta pemerintah mengesampingkan perkara-perkara Soeharto. Hal ini dinyatakan Agung Laksono (DPP Partai Golkar). Alasannya adalah kondisi Pak Harto tidak memungkinkan untuk dituntut dan juga karena jasa-jasa Soeharto untuk bangsa ini di masa lampau. Theo Sambuaga (DPP Partai Golkar) menambahkan anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar akan memperjuangkan hal ini. Pengesampingan perkara hanya berlaku bagi kasus hukum yang terkait untuk Soeharto saja, bukan bagi anak-anaknya maupun kroni-kroninya. Pengesampingan perkara tersebut dapat dilakukan oleh Presiden dengan meminta Jaksa Agung. Hal ini tidak akan mencederai azas keadilan masyarakat. Priyo Budi Santoso (Ketua Fraksi Golkar DPR RI) mengatakan untuk menghormati seorang pemimpin besar, harusnya kita memaafkan. Oetojo Oesman (Mantan Menteri Kehakiman) menyatakan pengajuan kasus Soeharto ke pengadilan didasarkan pada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Apabila karena alasan kesehatan, tentu tidak bisa dilakukan

Hal ini didukung Azyumardi Azra (pengamat politik), Ryaas Rasyid (pengamat politik), Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU), dan Suryadharma Ali (Ketua Umum DPP PPP). Ia mengatakan bangsa Indonesia harus berani memberikan maaf bagi Soeharto, mengingat segala jasanya bagi pembangunan Indonesia, serta kondisi kesehatannya yang tengah memburuk di usianya yang lanjut.  Di samping itu, berbagai penelitian pun mengungkapkan bahwa Soeharto sendiri tidak melakukan kesalahan fatal, melainkan orang-orang di sekitarnyalah yang melakukan itu. Lebih jauh, bila ditinjau dari sudut agama, memaafkan dan tidak mengembangkan dendam merupakan sifat harus diutamakan oleh setiap pemeluk agama. Tajuk rencana Suara Karya juga mendukung hal ini. Ryaas Rasyid mengatakan sebagai pemimpin yang pernah berjasa, Pak Harto berhak dimaafkan. Dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa memaafkan atau memerintahkan untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3) terhadap seluruh kasus hukum mantan presiden Soeharto. Hasyim Muzadi menyeru berbagai elemen bangsa untuk melakukan gerakan moral dengan memaafkan kesalahan mantan Presiden Soeharto yang selama beberapa hari terakhir dirawat intensif di rumah sakit. Selain itu, ia juga menginginkan agar proses legal formal terhadap Soeharto dihentikan karena kondisi kesehatannya belakangan cukup parah.

Sementara AM Fatwa (Wakil Ketua MPR) mengatakan memaafkan karena jasanya namun kalau secara hukum silahkan mengikuti ketentuan yang berlaku. Analisis redaksi Pos Kota mengatakan kalau sebagai bangsa kita tidak memiliki kebesaran hati untuk memaafkan kesalahan pemimpin kita, maka kita harus konsekuen pada jalur hukum. Maka ditunggu saja proses perdata yang sedang berjalan.

Juan Felix Tampubolon (pengacara keluarga Cendana) justru merasa heran akan soal permohonan pengampunan bagi Soeharto. Bagaimana mau diampuni, kalau Soeharto tidak terbukti bersalah. Hal ini juga diungkapkan M Assegaf yang juga pengacara keluarga Cendana. Siti Hediyati Hariyadi (anak Soeharto) mengatakan menyerahkan status hukum bapaknya kepada pemerintah dan berharap agar keputusan yang diambil adalah keputusan yang arif. Bapak tak pernah minta diangkat sebagai Bapak Pembangunan, tetapi rakyat yang menghendakinya.

Namun hal usulan Golkar tersebut banyak ditolak oleh berbagai pihak. Haris Azhar (Kontras) mengatakan kesalahan tetap kesalahan. Masyarakat yang jadi korban juga tetap menderita.  Ia menolak anggapan bahwa Soeharto telah banyak berjasa kepada negara, karena itu adalah sudah merupakan tugasnya sebagai seorang presiden. Penderitaan rakyat korban kejahatan yang dilakukan oleh Soeharto semasa menjabat selama Orde Baru tetap tidak boleh dilupakan, sehingga Soeharto tetap harus melalui proses peradilan. Adnan Topan Husodo (ICW) mengatakan kalau Soeharto sakit permanen, tetap harus diadili secara in absentia. Hal ini dilakukan untuk menjelaskan statusnya secara hukum, supaya harta negara yang dikorupsi segara diambil. Patra M Zen (YLBHI) menambahkan Indonesia seharusnya belajar dari Korea Selatan yang berani menghukum dua mantan presiden, meskipun kemudian mengampuninya. Pengampunan tanpa pengadilan berakibat merusak keadilan. Hendardi (Ketua Badan Pengurus Setara Institute) menilai usalan pemberian maaf terhadap mantan Presiden Soeharto serta usulan mengesampingkan perkara pidananya (deponering) merupakan penghinaan terhadap penderitaan para korban Orde Baru. Alih-alih pemerintah dan aparat hukum menciptakan terobosan hukum dengan pengadilan ‘in absentia’ terhadap Soeharto misalnya, malah ikut sibuk mendramatisasi kesehatan Soeharto. Presiden dan Jaksa Agung sudah berganti-ganti sejak reformasi, tapi semua sama, tidak ada yang punya nyali politik.

Usman Hamid (Koordinator Kontras) menyambut baik sikap Jaksa Agung yang menolak deponering atas semua kasus perdata yang menyangkut Soeharto. Karena hal itu akan menciptakan suatu preseden hukum yang buruk dalam penyelesaian kasus-kasus hukum yang menyangkut mantan pejabat-pejabat tinggi negara dimasa lalu. Presiden RI diminta tidak mengeluarkan amnesti atau abolisi. Ia menekankan bahwa tidak ada larangan dalam Kovenan Politik dan Sipil untuk melakukan pengadilan secara in absentia, selama tidak melanggar hak asasi terdakwa.  Ia menuntut agar Komnas HAM segera menggunakan wewenangnya untuk mengungkap pelanggaran berat HAM yang terjadi selama pemerintahan Soeharto. Ifdhal Kasim (Ketua Komnas HAM) mengatakan pihaknya memang sedang melakukan pengkajian ulang terhadap kasus yang melibatkan Soeharto. Dalam kajian tersebut terlihat indikasi yang kuat terjadi pelanggaran HAM yang menjadi tanggung jawab Soeharto.

Faisal Basri (ekonom) pernah menyatakan pemerintahan sekarang adalah pemerintahan Orde Baru Jilid II.  Presiden, Wakil Presiden, Ketua DPR, dan banyak menteri sekarang orang Orba. Jadi proses hukum terhadap mereka dan sejumlah koruptor mandek. Tjahjo Kumolo (Ketua Fraksi PDIP) mengecam kelambanan pemerintah menangani kasus Soeharto. Chozin Chumaidy (Wakil Ketua Umum DPP PPP) mengatakan proses hukum itu penting karena menyangkut kekayaan negara. Jika Soeharto dinyatakan bersalah, dia harus mengembalikan harta negara.

George Junus Aditjondro (sosiolog) mengatakan setiap kali mau diadili, Soeharto berkolusi dengan tim dokter yang kemudian menyatakan dirinya sakit serius. Tetapi ketika ada hajatan keluarga Cendana, Soeharto tampak tegar. Ia merasa jengkel karena rakyat Indonesia sudah bolak-balik ditipu oleh tim dokter Soeharto. Hal yang senada diungkapkan Jeffry Winters (Guru besar Northwestern University, AS). Untuk itu, ia menganjurkan rakyat Indonesia kembali turun ke jalan mendesak pemerintah agar mengadili Soeharto. Dia percaya kasus korupsi dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Soeharto hanya bisa diselesaikan melalui peradilan yang jujur dan adil. Hukum Indonesia akan kuat kalau berani menghukum orang kuat, seperti Soeharto.

Abdurrahman Wahid (mantan Presiden RI) mengatakan usulan Golkar tersebut tidak tepat. karena akan mengubah status hukum. Status hukum itu ditentukan oleh pemeriksaan.

Hidayat Nur Wahid (Ketua MPR) mendesak pemerintah agar status hukum Soeharto harus ditetapkan dulu, apah dia salah. Dimaafkan atau tidak, itu proses selanjutnya. Tak ada alasan menghentikan proses hukum. Koran Tempo menuliskan menggugat dan mengadili Soeharto bukan berarti kita tidak mau memaafkan. Langkah ini mesti dilakukan sebagai upaya menegakkan hukum. Membiarkan perkara ini berlarut-larut hanya akan menunjukkan bahwa bangsa ini sulit bertindak tegas. Ini akan membuat kita lemah terhadap praktek serupa yang dilakukan pejabat sekarang.