Amien Rais Bagaikan Lokomotif Melupakan Gerbong

KESRA–18 JANUARI: Pernyataan Amien Rais yang memaafkan mantan Presiden Soeharto menjadi tanda tanya
sejumlah pihak terutama mereka yang mengenal Amien sebagai bapak reformasi. Adnan Buyung Nasution malah
menyebut Amine plin-plan.

"Amien Rais seperti lokomotif yang lupa siapa yang ada di gerbong kereta reformasi. Itu, permisalannya," kata
Koordinator Kontras Usman Hamid dalam acara diskusi Sikap Kaum Muda terhadap Kasus Soeharto di Gedung PP
Muhammadiyah Jakarta, Kamis.

Usman mengatakan, di gerbong reformasi begitu banyak orang yang berharap dengan "jatuhnya" Pak Harto hidupnya
akan lebih baik, kesejahteraaanya lebih meningkat, hak-haknya yang pernah dirampas di masa lama dipulihkan kembali."Ada begitu banyak orang yang berada di gerbong reformasi, yang punya harapan semacam itu. Dan orang menilai
lokomotifnya pak Amien. Oleh karena itu, saya kira Pak Amien untuk mengambil sikap bicarakan dulu dengan orangorang
yang ada di gerbong, mau kemana kita ini," ujarnya. Usman menilai, pernyataan maaf kepada penguasa Orde
Baru dari Amien Rais adalah bentuk inkonsistensi terhadap reformasi.

"Inkonsistensi pertama Pak Amien dalam kasus reformasi, saya kira dalam bentuk membangun poros tengah untuk
menjatuhkan Abdurrahman Wahid," katanya. Langkah itu, bukan saja keliru tapi juga gagal dalam memperhitungkan
konsekuensi-konsekuensi yang timbul akibat koalisi dengan poros tengah tersebut. Akibat yang muncul, agenda
reformasi macet di tengah jalan, dan belum tegaknya supremasi hukum.

Menurut Usman, satu-satunya elit politik yang mencoba untuk bertahan adalah Hidayat Nurwahid. Namun, posisinya
bagaikan petinju yang posisinya sudah ada di pojok. "Sebenarnya kita perlu untuk mendukung Pak Hidayat Nurwahid
yang tetap mempertahankan ketetapan MPR sebagai dasar dalam bersikap dalam kasus dugaan mantan presiden
Soeharto," katanya.

Usman menilai, "Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) tempat Soeharto dirawat, juga sudah berubah semacam forum
selebriti dan forum moral untuk menunjukkan moralitas bahwa kita peduli kepada kemanusiaan."

"Saya setuju, lepas dari yang kita persoalkan bahwa Soeharto adalah ayah dari seseorang, yang sama dengan kita
mencintai ayahnya dan kakek seseorang yang ingin memberikan perhatian. Tapi, perkara kita adalah bukan itu," katanya. "Perkara kita adalah bukan perkara pribadi, tapi perkara kita adalah perkara publik, umat manusia, dan keadilan,"
katanya. "Kewajiban kita adalah untuk menegakkan keadilan. Demi kewajiban itu, kita harus menjadi saksi yang adil
pada orang tua kita sendiri. Jadi keadilan harus dimuliakan dan kita tidak ada urusan pribadi-pribadi," katanya.

Menurut dia, yang dipersoalkan adalah, kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, atau korupsi yang masif yang
terjadi akibat sistem kekuasaan yang menyimpang, otoriter, bukan karena kesalahan pribadi mantan Presiden Soeharto."Karena itu, tidak bisa diputihkan dengan memaafkan pribadinya," demikian Usman. Sementara Ketua Umum Pelajar
Islam Indonesia, Muhammad Zaid mengatakan bahwa kekuatan Soeharto masih cukup besar dan pemerintah tidak
memiliki ketegasan dalam mengambil sikap.

Amien Rais dikenal bersuara keras terkait kasus Soeharto. Namun belakangan, tokoh reformasi itu seakan menarik
ucapannya. Amien minta pemerintah mengampuni Soeharto. Plin Plan, begitu komentar Adnan Buyung Nasution."Ah Amien Rais plin plan," kata Anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu usai bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla di
Istana Wapres. (ro/pd)