Pro-Kontra Penyelesaian Kasus Perdata Soeharto; Jakgung Dapat Mandat SBY

 JAKARTA (KR) – Jaksa Agung (Jakgung) Hendarman Supandji akhirnya buka-bukaan tentang kedatangannya menemui putra-putri keluarga HM Soeharto di RSPP Jumat (11/1) dini hari lalu, terkait dengan gugatan perdata. Sekalipun menimbulkan pro kontra atas langkahnya itu, Jaksa Agung Hendarman Supandji yang bermodalkan surat kuasa Presiden SBY sebagai pengacara negara tidak merasa dipojokkan.

”Saya tidak merasa dipojokkan. Wong itu UU yang saya laksanakan. Tolong dilakukan pendekatan dengan keluarga Pak Harto untuk penyelesaian kasus perdata itu. Kalau perintah penyelesaian kasus perdata, dalam benak saya, itu ketentuan hukum (out of court settlement),” paparnya.

Dalam percakapannya dengan para wartawan seusai rapat kabinet di Kantor Presiden Jakarta, Kamis (17/1) siang, Hendarman Supandji mengaku tidak tahu soal bantahan keluarga Soeharto yang ingin menyelesaikan kasus Soeharto di luar pengadilan, seperti yang disampaikan pengacara keluarga Cendana.

”Saya tidak tahu. Pokoknya saya ketemu dengan keluarga, Mbak Tutut, Mas Bambang Trihatmodjo, Mbak Titiek dan Mas Tommy. Saya sampaikan kalau saya datang ke sana. Saya kan pegang surat kuasa Presiden sebagai pengacara negara, Jaksa Agung,” tegas Hendarman.

Hendarman mengungkapkan, dalam penyelesaian perdata ada ADR (alternative dispute resolution). Artinya, bila pihak penggugat dan tergugat ada dispute, maka ada penyelesaian di luar pengadilan, seperti arbitrase dan out of court settlement.  ”Namun abitrase kan tidak mungkin, sebab dalam perjanjian tidak ada arbitrase. Saya tanya, bagaimana mengenai out of court settlement, yaitu untuk mencapai suatu kesepakatan damai. Itu ada UU-nya. Tapi kan tidak ketemu (soal pemahamannya). Ya sudah kalau tidak ketemu,” jelasnya lagi.

Ditanya lagi maunya Keluarga Cendana itu seperti apa, Hendarman Supandji hanya menjawab, tidak ada yang disampaikan. ”Tidak ada yang disampaikan apa maunya Cendana. Kalau maunya OC Kaligis (pengacara Cendana-red) dikirim surat, seperti bunyi surat kabar, yaitu ingin mencabut surat kuasa tanpa syarat apa pun juga,” jawabnya.

Didesak dengan pertanyaan keinginan damai itu datang dari pemerintah atau kuasa hukum, Hendarman mengaku tidak tahu. ”Saya tidak tahu. Pokoknya saya dapat perintah. Saya pegang kuasa dari Presiden. Kalau saya mengajukan gugatan itu, kalau tidak dapat kuasa dari Presiden, tidak mungkin,” tandasnya.

Soal Maaf
Sementara itu pernyataan mantan Ketua MPR Amien Rais agar memaafkan HM Soeharto dipertanyakan banyak pihak, terutama dari kalangan pemuda. Amien yang disebut sebagai lokomotif reformasi dinilai telah meninggalkan gerbongnya karena memaafkan Soeharto. ”Secara sederhana, Amien Rais ini kan lokomotif yang lupa terhadap siapa saja yang ada di gerbong reformasi. Dia seperti telah meninggalkan gerbongnya. Harusnya Amien bicara dulu dengan orang-orang yang ada di gerbong itu,” kata Koordinator Kontras Usman Hamid seusai diskusi bertajuk ‘Sikap Kaum Muda terhadap Kasus Hukum Soeharto’ di Gedung PP Muhammadiyah, Menteng Jakpus Kamis (17/1).

Menurut Usman, masyarakat yang ada dalam gerbong reformasi banyak berharap adanya perbaikan, keadilan dan peningkatan kesejahteraan dengan dilokomotifi  Amien Rais. ”Pernyataan maaf kepada Soeharto dari mantan Ketua DPP PAN itu sebagai bentuk inkonsistensi terhadap reformasi,” tegasnya.

Amien juga pernah dinilai inkonsistensi dengan membentuk Poros Tengah era Presiden Gus Dur. ”Pak Amien telah gagal menjadi lokomotif dengan membentuk koalisi itu. Konsekuensinya berdampak sampai sekarang. Tujuan-tujuan reformasi jadi tidak tercapai,” cetus Usman Hamid.

Sedang Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah M Izzul Muslimin menyatakan, sakitnya HM Soeharto saat ini telah dijadikan momentum bagi elite-elite politik untuk mencari popularitas. Targetnya menarik simpati masyarakat menjelang Pemilu tahun 2009.

”Ada kecenderungan bahwa para elite politik memanfaatkan sakitnya Soeharto sebagai momentum mengambil simpati. Apalagi dekat dengan Pemilu 2009,” tegas Izzul lagi, sambil menambahkan adanya kecenderungan dari kroni-kroni Orba untuk memancing di air keruh.

”Kecenderungan yang lain, seperti ada upaya dari kroni-kroni Soeharto untuk lari dari jerat hukum dengan mewacanakan penghentian kasus hukum HM Soeharto,” tegas Izzul Muslimin. (Mgn/Sim/Ful/Edi/Imd/Don)-a