Ratusan Nyawa Korban Petrus, Pelanggaran HAM atau Bukan?

M. Rizal Maslan – detikcom

Jakarta – Ratusan bahkan diyakini ribuan orang menjadi korban operasi pemberantasan kejahatan atau yang dikenal operasi penembakan misterius (petrus) periode 1983-1985. Namun sampai sekarang belum ada pengakuan secara resmi dari pemerintah, termasuk Komnas HAM bahwa kasus ini merupakan pelanggaran HAM berat.

"Ini penting untuk diungkap, apalagi para pelakunya hingga kini masih ada yang hidup. Di sisi lain secara psikologis, korban yang hidup dan anggota keluarganya masih ketakutan dan merasa bersalah," kata Kepala Biro Sosial dan Politik Kontras, Edwin Partogi, saat mendampingi korban petrus di Kantor Komnas HAM, Jl Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (23/1/2008).

Menurut Edwin, dari hasil penelitian Kontras memang target Petrus adalah para bromocorah alias penjahat atau residivis. Namun, banyak juga para korban merupakan pemuda dan aktivis yang selama ini menentang kebijakan rezim Soeharto.

"Jumlah korbannya sangat besar, ada sekitar 700an lebih. Mungkin lebih dari itu," jelasnya.

Dari data yang diterima Kontras, petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat.

Pada Maret di tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI (sekarang TNI), Soeharto meminta polisi dan ABRI mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982.

Permintaannya ini disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodak Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya.

Operasi Clurit yang notabene dengan Petrus ini memang signifikan, untuk tahun 1983 saja tercatat 532 orang tewas, 367 orang diantaranya tewas akibat luka tembakan.

Tahun 1984 ada 107 orang tewas, diantaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 diantaranya tewas  ditembak.

Para korban petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya  terikat. Kebanyakan korban juga dimasukan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan.

Kontras sendiri mencatat ada 11 provinsi yang menerapkan petrus, seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Bali, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. "Para korban kami curigai tidak dicatat polisi sebagai korban pembunuhan sebagaimana layaknya," ungkap Edwin.

Sementara itu, salah satu korban petrus yang selamat, Bathi Mulyono (60), mempertanyakan Komnas HAM terkait perkembangan penuntasan kasus itu. Dirinya meminta agar Komnas HAM berani mengungkap kasus yang disinyalir menelan korban ribuan orang.

Bathi juga mengaku tidak akan memberikan maaf kepada Soeharto atas kasus kejahatan yang dinilai paling jahat dibandingkan kasus korupsi, KKN mantan penguasa Orde Baru tersebut.

"Saya tidak akan memaafkan Soeharto, karena kejahatannya paling tinggi dan paling jahat dibanding kejahatan finansialnya, karena sudah menghilangkan nyawa orang," cetusnya.
( zal / mly )