Korban HAM Tolak Berkabung

[JAKARTA] Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), para korban serta keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu, menolak kebijakan pemerintah untuk mengibarkan bendera setengah tiang sebagai bentuk rasa duka atas meninggal dunianya mantan Presiden Soeharto. "Bendera kami sudah lama berkibar. Adalah tidak bagus kalau dikibarkan setengah tiang hanya untuk seorang terdakwa seperti Soeharto," kata Koordinator Kontras, Usman Hamid, di Jakarta, Minggu (27/1).

Dalam acara itu, Usman didampingi sejumlah korban pelanggaran berat HAM masa lalu, antara lain Lestari, Sri Sulistiowati, Bejo Untung, John Pakasi (korban pelanggaran HAM berat 1965), Djoko (perwakilan korban kasus Talangsari, Lampung, 1989), Koordinator Tim Advokasi dan Rehabilitasi Korban Tragedi 1965, Witaryono Reksoprojo, dan sejumlah korban Tanjung Priok, kasus 27 Juli 1996, kasus Mei 1998.

Usman mengatakan, ada begitu banyak orang mati dan hilang di masa pemerintahan Soeharto. "Mereka yang mati adalah juga keluarga, ayah, ibu, suami, istri atau anak dari seseorang yang juga manusia dan wajib diperlakukan secara manusiawi," kata Usman.

Para korban HAM sangat kecewa karena hingga akhir hayat mantan Presiden Soeharto, pemerintah belum juga mampu menyelesaikan berbagai warisan masa lalu, yakni korupsi masif dan pelanggaran-pelanggaran HAM.

Dijelaskan, pemerintah sebaiknya belajar dari kebijakan pemerintah Chile dimana ketika mantan diktator Agusto Pinochet meninggal tidak ada pemakaman resmi kenegaraan, hanya pemakaman kemiliteran, bahkan Presiden Chile waktu itu menolak hadir.

Demikian juga kebijakan pemerintah Afrika Selatan yang memperlakukan mantan Presiden PW Botha, dimana tidak ada pemakaman kenegaraan. Atau pemerintah Uganda yang memperlakukan mantan diktator Idi Amin, dimana Presiden Mosevani menolak berduka cita untuk diktator Idi Amin.

Sementara Witoryono mengatakan, himbauan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mendoakan almarhum Soeharto dan mengajak bangsa Indonesia melihat persoalan Soeharto dalam konteks kehidupan bangsa ke depan merupakan himbauan yang mengandung konsekuensi, Presiden dan seluruh jajaran pemerintahannya juga harus menegakkan prinsip-prinsip dengan melakukan tindakan konkrit pemulihan hak dan kepentingan korban rezim Soeharto.

Antara lain dengan mengungkapkan fakta-fakta kebenaran, merehabilitasi para korban serta menghapus segala bentuk diskriminasi dan stigmatisasi, baik secara politik, ekoomi maupun sosial kemasyarakatan. "Tanpa tindakan-tindakan konkrit penegakan keadilan bagi seluruh korban rezim Soeharto, maka himbauan Presiden itu tidak memiliki makna moral apapun," kata Witaryono.

Usman menambahkan, peristiwa meninggalnya Soeharto bukan akhir dari kewajiban pemerintah Indonesia untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat dan korupsi. Upaya mengungkap kebenaran dan mengadili pelaku tidak semata-mata merupakan kewajiban pemerintah, tetapi juga merupakan prasyarat perbaikan bangsa.

Usman mengingatkan pemerintah agar tetap mempertimbangkan status hukum Soeharto sebagai terdakwa yang masih belum terkoreksi melalui proses yang sah di mata hukum.

Tidak terkecuali atas berbagai peristiwa kemanusiaan dalam kasus pembunuhan dan pemenjaraan massal 1965, pembunuhan misterius, peristiwa Tanjung Priok dan Talangsari, operasi militer di Aceh dan Papua, Timor Timur, penembakan mahasiswa, serta penghilangan dan penculikan aktivis pro demokrasi 1997-1998.

John Pakasi menegaskan, Soeharto tidak layak diberi gelar pahlawan. Ia adalah pembunuh kelas berat, bahkan lebih kejam dari Hitler.

"Oleh karena itu proses hukum terhadap Soeharto harus diteruskan," kata dia. Sri Sulistiowati, mantan wartawan istana di zaman Soekarno mengatakan, selain Soeharto sebagai pembunuh yang kejam, juga sebagai orang yang memutarbalikan sejarah. [E-8]