Pahlawan

Kegesitan kerap memicu rasa kagum. Namun, langkah cepat Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR, mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional, justru membakar kontroversi. Bukan sekadar soal kelayakan sang tokoh yang baru wafat ini, tapi juga motif pengusulan.

Ketua FPG DPR, Priyo Budi Santoso, menyebut usulnya itu sebagai ijtihad politik. Soeharto, menurut dia, memiliki banyak jasa kepada bangsa dan negara. Priyo menilai jasa-jasa penguasa Orde Baru tersebut melampaui khilaf dan kekurangan yang ia lakukan pula.

Tampaknya FPG sedang memanfaatkan suasana yang berbalik romantis setelah proses sakit Soeharto yang panjang dan dramatis –terutama di TV-TV– hingga wafat pada Ahad (27/1) lalu. Muncul kenangan-kenangan manis pada sebagian masyarakat tentang masa indah era Orde Baru. Kenangan yang kian terasa manis karena tidak mereka dapatkan pada pemerintahan-pemerintahan berikutnya.

Penolakan muncul. Tidak hanya dari kalangan LSM seperti Kontras, melainkan juga dari kolega Priyo di Senayan. Kepahlawanan seharusnya tanpa noda. Bagi mereka yang menolak ide Priyo, Soeharto memiliki cacat yang bahkan tersurat dalam Ketetapan MPR No 11 Tahun 1998, sehingga tak pantas menyandang gelar pahlawan.

Lalu, siapakah sebenarnya pahlawan? Deddy Mizwar dalam Nagabonar Jadi 2 pernah mempertanyakan hal itu. Di Taman Makam Pahlawan Kalibata, ia termenung lalu bertanya, ”Apakah semua yang ada di sini layak disebut pahlawan?” Ia pun bertanya kepada patung seorang pahlawan, Jenderal Sudirman, yang tegak memberi hormat di jantung Jakarta, ”Apakah penghormatan diberikan karena orang-orang yang melintas di depannya mengendarai mobil?”

Mengacu pada Peraturan Presiden No 33/1964, Soeharto akan terganjal ketentuan bahwa seorang pahlawan tidak boleh ternoda oleh perbuatan yang membuat cacat perjuangannya. Tapi, peraturan semacam ini selalu saja mudah menjadi bahan berbagai penafsiran. FPG bahkan menyebut Ketetapan MPR No 11 Tahun 1998 tak lagi menjadi aturan hukum.

Pahlawan atau bukan, dengan demikian, telah menjadi nisbi. Ini adalah sejarah panjang kita. Sebut Gajah Mada, Aru Palaka, Syafruddin Prawiranegara, Tan Malaka, atau Bung Karno; maka kita akan mendengar versi-versi yang bersilangan. Fakta pula, orang seperti Siti Hartinah yang kita kenal sebagai Ibu Tien, istri Soeharto, adalah seorang bergelar pahlawan nasional sejak 1996. Adakah kuasa rakyat Indonesia untuk membantah saat itu?

Soeharto, atau Pak Harto, telah melahirkan penghormatan dari mana-mana. Tidak saja dari dalam negeri, tapi juga dari negara-negara lain, termasuk negara-negara besar. Ada pengakuan atas perannya dalam membangun Indonesia dan Asia, namun pengakuan itu tak menghapus catatan dunia atas penyimpangan-penyimpangan yang ia lakukan, dalam hal ekonomi, politik, hukum, dan hak asasi manusia.

Mengusulkan gelar pahlawan tak memberi tambahan apa pun baginya. Tidak menambah dalam penghormatan terhadapnya. Tidak pula menghilangkan catatan hitamnya. Bagi kita pun, pembahasan gelar ini semestinya sama sekali bukan prioritas.