Korban Pelanggaran HAM Era Soeharto Tabur Bunga di Tuprok

Jakarta, MyRMNews. Para keluarga dan korban kekerasan HAM di era kekuasaan Soeharto tak lelah mencari keadilan.

Bertepatan tujuh hari meninggalnya Soeharto yang jatuh pada Minggu (3/2), para korban bersama Kesatuan Rakyat Adili Soeharto (Keras) melakukan tabur bunga di Monumen Proklamasi, Jakarta.

Acara tabur bunga itu bersifat teatrikal. Keluarga beserta korban pelanggaran HAM Soeharto bersama Keras membangun sekitar 1.000 makam dari kayu di depan pelataran di depan panting Soekarno-Hatta. Di papan-papan kayu itu, dituliskan nama-nama korban pelanggaran HAM di antaranya dari peristiwa 65, Tanjung Priok, Petrus, Semanggi, hingga Mei 1998. ”Ini saja tidak cukup, masih ada ratusan ribu lagi yang belum dituliskan,” tutur Lestari, korban Peristiwa 65.

Menurut Lestari, para keluarga dan dirinya sengaja melakukan acara tabur bunga bertepatan pada tujuh hari meninggalnya Soeharto. Setelah mendengar pernyataan sejumlah kelompok yang menginginkan agar Soeharto mendapatkan gelar pahlawan, dirinya merasa sangat terganggu atas pemberitaan itu.

”Apa yang mereka katakan itu benar-benar melukai kami,” kata nenek berumur 76 tahun itu.

Bekas Gerwani yang kini menghuni Panti Jompo Waruya Sejati Abadi di Jakarta itu menyatakan, pahlawan yang sebenarnya di masa lalu adalah para korban yang tewas akibat pelanggaran HAM dari Soeharto. Kekejaman yang dilakukan Soeharto pada era 65 lalu begitu memilukan, karena puluhan ribu manusia harus dijebloskan dan disiksa di penjara tanpa adanya pengadilan hukum.

”Sejarah itu telah dibengkokkan, mereka tidak pernah melihat apa yang dialami kami selama di penjara,” ujar Lestari dengan nada yang meninggi. Meski hanya teatrikal, Lestari yang sempat mendekam di penjara Malang, Jatim, pada tahun 1968 hingga 1979 itu sempat duduk bersimpuh, memanjatkan doa seraya menangis di salah satu ”makam” korban 65.

Para korban juga menyesalkan sikap Pemerintah yang seakan tidak menghiraukan suara-suara tuntutan pidana Soeharto. Saat ini, Pemerintahan SBY-JK terlalu tercurah pada tuntutan masalah perdata yang membawa tuntutan kepada Yayasan Supersemar.

”Presiden apa memang tidak mau tahu terhadap penderitaan kami,” kata John Pakasi, korban 65 yang lainnya.

Lebih lanjut, Keras yang merupakan gabungan LSM diantaranya Kontras, Imparsial, Repdem, Bata Merah, GMS, dan Pena 98 itu mengkritik sejumlah penyataan di media yang menyatakan perekonomian Indonesia era Soeharto lebih baik daripada saat ini.

Menurut Keras, perekonomian Indonesia pada era Soeharto hanyalah tampilan palsu karena semuanya berbasis pada hutang luar negeri. ”Selain itu, apa artinya kemajuan ekonomi namun ternyata di balik itu mengorbankan ratusan ribu rakyatnya,” kecam Jimmy Matitaputty, Humas dari Keras.

Jimmy menambahkan, tragedi kemanusiaan di era Soeharto adalah saat untuk membuktikan kebenaran sejarah. Kebenaran sejarah saat ini telah ditelikung sedemikian rupa hingga saat ini. Jika tidak bisa dibuktikan, Indonesia selamanya akan dihadapkan pada kebuntuan historis bangsa.

”Harus ada kejelasan terhadap fakta-fakta sejarah yang terlupakan. Dan itu tugas Pemerintah,” tegas Jimmy. jpnn