Relevansi perjuangan KontraS dengan Politik HAM di Indonesia

Relevansi perjuangan KontraS dengan Politik HAM di Indonesia1

Kala Indonesia terkungkung dalam otoritarian orde baru, angan dan cita tentang civil society menjadi satu idaman. pengaminan civil society sebagai sebuah jalan keluar untuk melawan rezim otoritarian menjadi satu pilihan untuk ditempuh. Sir Thomas Hobbes dalam teorinya menyatakan ada tiga tahapan perkembangan masyarakat. Pertama, Supremasi Naturalistik, sebuah tatanan masyarakat yang bukan berdasarkan social order. Kedua, Political society;negara, sebuah tatanan masyarakat berdasarkan supremasi pemilik kekerasan yang diproyeksikan untuk mengatasi social disorder Ketiga, Civil Society, sebuah tatanan masyarakat yang dicitakan mampu melakukan gugatan terhadap institusi superior, yang pada mulanya diciptakan untuk mengatasi supremasi naturalistik. lebih jauh dikatakan, Social disorder terjadi karena dalam kuasanya negara menggunakan civil apparatus (aparat sipil) dan coercive apparatus (militer)2. Dalam konteks Indonesia dan orde baru, civil apparatus diwakili oleh pemerintah (pegawai negeri;Golkar) dan coercive apparatus diwakili oleh militer. Rezim Suharto menjalankan kuasaanya dengan tingkat kekerasan yang massif melalui dua alat negara tersebut (civil apparatus dan coercive apparatus). Sehingga Social disorder terjadi di segala lini kehidupan, sosial, politik, budaya.

Ketertekanan dalam kekerasan akibat hegemoni3 negara mengarahkan pada bentuk-bentuk perlawanan masyarakat dan mahasiswa yang terkonsolidasikan dalam cita-cita tentang civil society. Berpuncak pada gerakan 1998, melalui coercive apparatus (militer) sebagai alat, orde baru berusaha pertahankan kuasanya dengan melakukan penculikan terhadap para aktivis dan melakukan kekerasan terhadap aksi-aksi mahasiswa dan masyarakat yang dianggap menggangu stabilitas kekuasaan orde baru. Tuntutan keluarga korban dan dorongan serta masukan masyarakat luas, untuk upaya pengadvokasian kasus-kasus tersebut; melahirkan Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan, selanjutnya disebut KontraS, pada 20 Maret 1998 sebagai bagian dari civil society dalam upaya melawan rezim otoritarian Suharto4. Selang beberapa bulan kemudian, meletus tragedi Mei 1998 dan Tragedi Trisakti yang menjadi bom waktu bagi peralihan kekuasaan di Indonesia. Pasca kejatuhan Suharto, kekerasan akibat kepentingan politis, masih terus berlangsung, tragedi Semanggi I dan II dan Timor-Timur menyeret KontraS untuk berperan penuh terhadap upaya pengadvokasian kasus-kasus tersebut. Momentum inipun mengarahkan KontraS untuk juga bersuara terhadap kasus-kasus kejahatan HAM Suharto di masa lalu; Tanjung Priok, Talangsari, dll. Dari sinilah bersama kita (Masyarakat luas) dikenalkan popularitas makna “Hak Asasi Manusia (HAM) dan Pelanggaran HAM” indentifikasi KontraS sebagai lembaga masyarakat berkonsentrasi pada penegakan HAM semakin menguat. Keberanian untuk menggugat otoritas militer (coercive apparatus) terhadap negara pun menjadi menu yang tak lagi menyeramkan. Segala idiom tentang demokrasi, Supremasi hukum dan keadilan terus bergulir membungkus dalam kata “reformasi”.

Kemudian mampukah KontraS memainkan perannya sebagai penterjemah civil Society? jawabannya tidak bisa dilihat langsung berdasarkan garis lurus atau hitam dan putih semata. berdasarkan terselesaikan atau tidaknya kasus-kasus yang ditangani KontraS. Dalam kontek gerakan civil Society, impact tidak melulu berdasarkans sesuatu yang bersifat reaksioner. Namun bagaimana masyarakat menjadi lebih berdaya dan berdiri sejajar dengan pemerintah adalah satu tujuan yang lebih komprehensif dari keberadaan sebuah lembaga pemberdayaan masyarakat.

Dalam visi dan misinya KontraS menyatakan “turut memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia bersama dengan entitas gerakan civil society lainnya. Secara lebih khusus, seluruh potensi dan energi yang dimiliki KontraS diarahkan guna mendorong berkembangnya ciri-ciri sebuah sistim dan kehidupan bernegara yang bersifat sipil serta jauhnya politik dari pendekatan kekerasan. Baik pendekatan kekerasan yang lahir dari prinsip-prinsip militerisme sebagai sebuah sistem, perilaku maupun budaya politik”. Maka berdasarkan fokus kerja KontraS, warna kontras terhadap negara harus dilihat berdasarkan pengaruh terhadap kebijakan Politik HAM di Indonesia; yang diterjemahkan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM dan keberpihakan negara terhadap mainstreaming HAM. Jika menelaah perjalanan KontraS selama sembilan tahun, arah dan upaya menuju kesejajaran dan partisipasi masyarakat sebagai jalur yang dipilih KontraS selaku gugus civil society, terus dilakukan melalui; upaya-upaya advokasi penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu ataupun saat ini, pengoranisiran korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, sampai dengan pengkritisan segala kebijakan yang tidak berpihak pada HAM dan tidak merepresentasikan nilai-nilai Demokrasi. Lantas, selesaikah segala persolan HAM di Indonesia?. Jawabnya, kembali kita masih harus terus bertaruh pada ruang politik yang sepenuhnya masih dihegemoni oleh kuasa-kuasa lama dalam bentuk wajah-wajah-wajah baru.

Pasca reformasi 1998, Pengharapan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat yang nyata sebagai lisan rakyat, belum diketemukan sampai dengan hari ini, musababnya mereka masih bekerja berdasarkan transaksi politik (kepentingan tertentu) dengan kesengajaan tersitematisir anggota DPR menggagalkan upaya pembahasan kasus Trisakti, Semanggi I dan II ke sidang paripurna DPR, untuk selanjutnya dikeluarkan rekomendasi Presiden untuk pembentukan pengadilan HAM ad Hoc. Hal serupa juga terjadi pada kasus penculikan yang dikerdilkan melalui pembentukan pansus DPR. Atau pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok dan Timor-Timor yang gagal sama sekali menyeret pertanggungjawaban pelaku. Pun Jaksa Agung yang berwajah serupa dengan DPR, menolak penyidikan kasus TSS, Mei, Wasior Wamena dan Penculikan 5. Untuk kemudian menjadikan alasan prosedural sebagai tameng atas politik transaksi yang terjadi antara parlemen, parpol, pemerintah dan para pelaku kejahatan HAM. dalam refleksi KontraS ahir tahun 2006, disampaikan bahwa meskipun telah ada kemajuan pada tahun 20066 digambarkan situasi pada saat ini memasuki tahap genting. HAM diserang dari segala penjuru.Bukan hanya nilai, norma dan aturannya, tapi juga institusi penopang tegaknya HAM. HAM seharusnya memiliki peran utama dalam politik, ekonomi dan hukum; tapi pada tahun ini HAM dipinggirkan oleh cara pandang dan kepentingan sempit elite penguasa. Institusi tertinggi di bidan ghukum, Mahkamah Agung, masih menutup akses korban. Institusi legislatif, hanya janji-janji kepadakorban tapi tak serius memperjuangkannya.Politik Presiden bukan politik HAM sejati”7.

Dari fenomena dan dialektika inilah, kita bisa melihat relevansi perjuangan KontraS terhadap politik HAM di Indonesia. pada tahap tertentu kehadiran KontraS dan elemen Civil Society lainnya telah mewabahi virus popularitas tentang HAM, dan secara perlahan mendobrak ketabuan gugatan terhadap culture militeristik dan kekerasan dalam sendi kehidupan bernegara. Namun pada sisi yang lain, maksimalisasi peran itu belum terjawab, oleh karena perebutan ruang politik yang terus bergolak, kelengahan merespon dan mengkritisi perebutan ruang-ruang transaksi politik tersebut, maka sekejap itu pula peran kontras sebagai gugus Civil Society akan mudah terkebiri. Tidak berlebihan, jika AS Hikam menyatakan, “demokrasi pada ahirnya akan ditentukan oleh hubungan dialektikal antara dinamisme elit pemerintahan dan kapasitas dari aktor demokrasi dalam masyraakat. Sebab elit politik pemerintahan sebagai kekuasaan yang dominan tidak akan mengendorkan pengaruhnya tanpa tekanan yang kuat dari bawah meskipun ia telah menghadapi banyak tekanan baik internal maupun ekternal”8. Artinya, konsolidasi dan pengoranisiran masyarakat sipil yang menjadi bagian kerja KontraS adalah sesuatu yang harus terus dilakukan, sebagai salah satu merebut ruang dan nilai demokrasi dalam kehidupan berbangsa. Di sinilah Ruh KontraS menjadi sesuatu yang mestinya abadi bersama nilai-nilai dan tujuan demokrasi itu sendiri. Melalui kerja-kerja nyata dan yang tak mesti mengenal kata lelah -Setidaknya kita mengenal cerita tentang “Sisipus” yang tak pernah lelah mendorong batu ke atas, yang kemudian jatuh dan terjatuh lagi, namun betapa dari proses itu ada banyak makna terberi dari arti sebuah perjuangan-


1 Dituliskan oleh Yati Andriyani, Kadiv Divisi pemantauan impunitas dan reformasi institusi KontraS

2 Muhadjir Efendy, Masyrakat Equilibrium, Jogjakarta: Bentang Budaya, 2002

3 Istilah Gramscian

4 Filosofi penamaan KontraS pun diambil dari arti Kontra S (anti Suharto)

5 Baca Position paper KontraS kasus-kasus masa lalu (Trisakti, Semanggi I-II. Penculikan, Mei, Wasior Wamena, Tanjung Priok, Tior-Timur

6 Di tingkat PBB, setelah menjadianggota Dewan HAM, Indonesia kini menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan. Ini juga diikutisikap terbuka Indonesia terhadap Pengesahan Konvensi Orang Hilang dan Deklarasi IndigenousPeople. Di ASEAN, Indonesia cukup aktif mempromosi demokratisasi di Burma, dan pembentukanmekanisme HAM regional. Ini semua cermin kinerja Departemen Luar Negeri.

Pada di tingkat nasional,

7 Laporan tahunan KontraS 2006

8 Shaff Muhtamar (ed) Sembilu Kekuasaan Dan Ruang-Ruang Bisu, hal 15, MIL Makassar