Peringatan 19 Tahun Kasus Talangsari Digelar di Lampung

BANDAR LAMPUNG –Keluarga dan korban kasus Talangsari, menagih pertanggungjawaban negara atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang menimpa mereka 19 tahun silam. Didampingi aktivis Koordinator untuk orang hilang dan tindak kekerasan (Kontras) dan lembaga swadaya masyarakat lainnya, mereka berunjuk rasa secara damai di Bundaran Patung Gajah, Bandar Lampung, Jumat (8/2).

Aksi tersebut dilaksanakan dalam rangka 19 tahun kasus Talangsari. Korban dan keluarga korban menyampaikan orasi secara bergantian. Krisbiantoro, koordinator lapangan aksi ini, mengatakan korban dan keluarganya menuntut pemerintah segera mengusut pihak yang terlibat dalam insiden 7 Februari 1989 dan menyeretnya ke pengadilan.

”Sudah cukup penderitaan kami. Kami hanya menanti saja sementara menantu dan cucu kami sudah tiada karena kekejaman aparat. Tak pernah jelas apakah ada pengusutan hingga sekarang,” ungkap Mursidi, keluarga korban yang kini bermukim di Solo, Jawa Tengah. Ia berharap pelaku tragedi 19 tahun silam itu diusut tuntas tanpa padang bulu.

Mursidi mengaku kehilangan menantu dan cucunya pada peristiwa berdarah di Dusun Talansari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Menurut Mursidi, banyak warga tak bersalah jadi korban pembunuhan pada peristiwa tersebut.

Keluarga korban lainnya, Effendi Soleh, mengungkapkan rasa kesalnya. Menurut dia, pengusutan kasus yang menelan korban hingga ratusan jiwa tak bersalah itu terlalu lambat. ”Segera panggil, periksa dan adili pelaku kejahatan kemanusiaan inii. Jangan dihentikan pengusutan hukumnya. Apalagi sampai tak ad ayang diadili di pengadilan. Kami keluarga korban sudah cukup bersabar,” paparnya.

Korlap aksi, Krisbiantoro, mengatakan peringatan 19 tahun tragedi Talangsari ini dimaksudkan untuk mengajak masyarakat menyuarakan kebenaran. Mereka mendesak Komnas HAM segera memeriksa pelaku dan penanggung jawab peristiwa tersebut dan menyelesaikannya secara komprehensif sesuai standar dan prinsip HAM.

Mereka juga mendesak lembaga kepolisian, Komnas HAM, dan lembaga terkait, memberikan jaminan keamanan terhadap para korban yang masih setia menyuarakan keadilan bagi kasus pelanggaran HAM berat di Talangsari. ”Sampai saat ini masih ada intimidasi dan teror terhadap korban, keluarga korban, dan masyarakat yang menyuarakan keadilan,” katanya. Menurut korban, tragedi Talangsari 7 Februari 1989 terjadi menjelang Subuh.

Warga yang terlelap tidur dikejutkan dengan suara letusan senjata api. Rentetan senjata menembus tubuh warga orang tua, anak, bahkan ibu-ibu yang tidak berdosa. Selain itu, sebelumnya, juga terjadi penculikan dan penangkapan terhadap jamaah pengajian yang dikenal Kelompok Warsidi.

Saat penyerbuan itu, menurut laporan Kontras tentang kasus Talangsari yang dimuat dalam situs kontras.org, kampung dibakar dan kemudian ditutup untuk umum. Penyerbuan dilakukan menyusul dugaan adanya kelompok pengajian yang ingin mengganti Pancasila dengan asas Islam.

Saat orasi kemarin, beberapa korban menyerukan nama seorang jenderal (purn) yang dianggap terlibat dalam insiden tersebut. Komnas HAM, kata Kris, tengah berupaya melakukan penyelidikan, namun sampai saat ini pelaku belum juga terjamah, dan penyelidikan pun terkesan tersendat. Selain itu, para korban tragedi Talangsari, belum juga diberikan hak-haknya oleh negara, sampai saat ini.

”Padahal Indonesia telah menjadi negara yang meratifikasi konvensi hak-hak sipil politik (ICCPR) melalui UU No.12 Tahun 2005, dan Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945,”pungkasnya .

(mur )