Masih Terdapat Perbedaan Persepsi Mengenai Sanksi dalam RUU KIP

Jakarta-RoL–  Perbedaan persepsi masih terjadi antara pemerintah dengan DPR RI terkait pembahasan UU tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), terutama menyangkut perlu-tidaknya diterapkan sanksi terhadap pihak yang menyalahgunakan informasi publik.

Hal itu terungkap dalam pertemuan antara Ketua FKB DPR RI Effendy Choirie dan anggota Pansus RUU KIP Komisi I DPR RI Masduki Baidhowi saat menerima Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Irawan Saptono (Direktur Institut Studi Arus Informasi/ISAI), Agus Sudibyo (Yayasan SET), Paulus Widiyanto (mantan anggota DPR RI) dan Kontras di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis.

Kalangan LSM mengharapkan agar Pansus RUU KIP DPR RI menghapus pasal sanksi pada RUU KIP tersebut. RUU KIP masih dibahas di Komisi I DPR RI bersama pemerintah sejak beberapa tahun lalu. Menurut Masduki Baidhowi, seluruh informasi terbuka meski ada pengecualian bagi BUMN. 

Namun khusus mengenai sanksi, kata dia, pemerintah berpendapat hal itu sebagai garis pemerintah sehingga tetap harus ada sanksi bagi pengguna informasi yang menyalahgunakan informasi publik. Sedangkan Komisi I DPR menghendaki tidak ada sanksi.  "Kita minta sanksi itu dihapus karena bisa digunakan untuk memfitnah, pembunuhan karakter dan sebagainya. Itu sudah ada delik hukumnya," kata Masduki.

Dia menyatakan, FKB DPR mendukung terwujudnya sebuah UU KIP yang bebas dari sanksi bagi pengguna informasi yang menyalahgunakan informasi publik. Pemerintah tetap bersikeras bahwa tetap ada sanksi karena hal itu merupakan garis pemerintah, tapi FKB menilai sanksi itu sebagai pasal karet.

Kalangan LSM menyampaikan prinsip-prinsip hak publik atas informasi yang terdiri atas empat hal. Pertama, menuntut penghapusan pasal yang memuat ketentuan sanksi bagi pengguna informasi yang menyalahgunakan informasi publik. Kedua, menghapus ketentuan kewajiban pemohon mencantumkan alasan memperoleh informasi publik.

Ketiga, menggolongkan BUMN sebagai badan publik yang memiliki kewajiban menyediakan informasi. Keempat, menghilangkan ketentuan Peraturan Pemerintah yang mengatur petunjuk pelaksanaan Komisi Informasi. 

Menurut Agus Sudibyo, salah satu prinsip dasar hak atas akses informasi publik adalah adanya sanksi bagi pejabat publik yang tidak menjalankan kewajibannya memenuhi kebutuhan informasi publik. Jika informasi disebut sebagai informasi publik, maka tidak ada alasan apapun untuk menjerat pengguna informasi.

"Tak ada satu pun dari 70 negara yang memiliki UU akses terhadap informasi memasukkan sanksi bagi penyalahgunaan informasi," katanya. Sedangkan Pasal 5 ayat (1) berbunyi: "Pengguna informasi publik wajib menggunakan informasi Publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku".

Pasal 54 ayat (1) menyatakan "Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan atau memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam pasal 16 kepada orang lain dipidana penjara paling lama 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah)".

Pada ayat (2) dinyatakan "Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 menjadi informasi publik diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak sepuluh juta rupiah".

Menurut Agus Sudibyo, dalam RUU KIP masih terdapat rumusan sanksi yang justru menjerat pengguna informasi yang dianggap menyalahgunakan informasi dan membocorkan informasi yang dikecualikan. Padahal kebocoran itu lebih tepat jika ketentuan sanksinya secara tegas diperuntukkan bagi pihak yang berwenang menjaga informasi yang dikecualikan atau informasi yang bukan dalam kategori informasi publik. antara/mim