Australia Suka Cita

MA RI membebaskan warganya dari hukuman mati kasus narkoba.

BRISBANE — Langkah-langkah diplomasi dan kampanye antihukuman mati yang gencar dilakukan pihak Australia, memetik hasil. Pemerintah Negeri Kanguru itu menyambut hangat keputusan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia (RI) yang mengubah hukuman mati tiga warga negaranya menjadi hukuman penjara seumur hidup dalam kasus sindikat penyelundupan narkoba di Bali.

Keputusan MA atas langkah hukum peninjauan kembali (PK) dari Tan Duc Thanh Nguyen (23), Si Yi Chen (20), serta Matthew James Norman (19) itu juga menjadi ‘berita suka cita’ di jaringan pemberitaan ABC dan media cetak maupun elektronika Australia. Ketiganya merupakan bagian dari sembilan anak muda Australia yang terlibat dalam kasus penyelundupan 11,25 kilogram heroin dari Bandar Udara Ngurah Rai, Denpasar, Bali, ke Sydney, Australia, pada 18 April 2005. Media Australia menjuluki mereka sebagai ”Bali Nine”.

Dengan keputusan baru MA itu, maka jumlah anggota Bali Nine yang masih mendapat vonis hukuman mati tinggal tiga orang, yakni Scott Anthony Rush, Myuran Sukumaran, dan Andrew Chan. Sedangkan yang lainnya, yakni Michael William Czugaj, Renae Lawrence, dan Martin Eric Stephen dihukum seumur hidup.

Menteri Luar Negeri Australia, Stephen Smith, mengatakan, para pejabat perwakilan negaranya di Jakarta sudah menerima surat tembusan keputusan MA yang meringankan hukuman bagi Nguyen dan kawan-kawan itu.

”Dokumen itu sudah diverifikasi pihak MA. Ini kabar sangat baik bagi tiga orang yang dikenal dengan ‘the Melasti three’ ini,” kata Smith, Kamis (6/2).

Ia juga mengatakan, jika seluruh proses hukum para anggota Bali Nine di pengadilan Indonesia selesai dan masih ada di antara mereka yang menjadi terpidana mati, Pemerintah Australia akan meminta pengampunan kepada Pemerintah RI. Tekad pemerintah Australia itu sudah berulangkali disampaikan ke publik, termasuk ketika Perdana Menteri Kevin Rudd bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Bali, 11 Desember 2007. ”Pemerintah akan terus memantau perkembangan dari dekat dan siap memberikan bantuan kekonsuleran kepada para warga Australia dan keluarga mereka,” ujar Smith.

Membantah intervensi
Kendati pemerintah Asutralia mengaku telah melobi Presiden Yudhoyono supaya vonis mati terhadap warganya diperingan, MA membantah adanya intervensi. ”Dikabulkannya PK ketiga orang itu merupakan hasil rapat permusyawaratan MA tertanggal 11 Februari 2008 yang diketuai Harifin A Tumpa, serta anggota Andar Purba, dan Hakim Nyak Pa,” kata Kepala Sub Bagian Hukum dan Humas MA, Edi Yulianto, di Gedung MA, Kamis (6/3).

Harifin A Tumpa juga menjelaskan, ketiga terpidana sebelumnya diganjar penjara seumur hidup oleh Pengadilan Negeri (PN) Denpasar. Hukuman itu kemudian diperkuat putusan Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar dengan vonis 20 tahun.

Selanjutnya mereka kasasi ke MA dan putusannya hukuman mati. Namun, mereka mengajukan PK, putusan MA melunak menjadi seumur hidup. ”Kita mempertimbangkan seyogyanya adalah jika putusan PT salah. Maka, (bobot hukuman) dikembalikan kepada yang diputuskan PN,” dalih Harifin.

Apresiasi Kontras
Tidak cuma Australia, Koordinator Harian Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Usman Hamid, ikut memberikan apresiasi terhadap diskon hukuman mati itu. ”Terlepas dari jenis kasus dan subyek terpidananya, penghilangan nyawa seseorang secara hukum memang sudah selayaknya dihentikan,” kata aktivis LSM yang ikut getol mengampanyekan antihukuman mati ini.

Ihwal dugaan adanya intervensi pihak Australia, Usman menyatakan, harus diuji secara yuridis apakah memang dalam pertimbangan hukum putusannya MA mencari-cari dalih pembenar. Namun demikian, ia tak menampik bila Australia melakukan pendekatan kepada MA.

”Kalau pendekatan itu, ya sah-sah saja. Sama seperti kita melakukan pendekatan kepada Malaysia atau Arab Saudi agar jangan menghukum mati para TKI yang terlibat hukum,” tandas Usman.

( zam/ade/ant )