Komnas HAM Usut Kejahatan Soeharto

"Tak akan selesai tanpa dukungan politik."

JAKARTA — Meninggalnya mantan presiden Soeharto tak menyurutkan niat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk kembali mengusut jejak kejahatan HAM semasa penguasa Orde Baru itu memerintah. Hal itu dilakukan untuk membuktikan adanya dugaan pelanggaran HAM berat pada periode itu.

"Tindakan ini dilakukan untuk meneruskan mandat Komnas HAM dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000," kata Wakil Ketua Komnas HAM M. Ridha Saleh saat dihubungi semalam. Dalam undang-undang itu, kata dia, Komnas HAM diperintahkan melakukan kajian terhadap kasus-kasus kejahatan melawan kemanusiaan yang dilakukan rezim Orde Baru.

Untuk melaksanakannya, Komnas membentuk empat tim dengan tugas berbeda. Dua di antaranya merupakan tim ad hoc yang akan meneliti kasus penembakan misterius (Petrus) dan kasus pembunuhan massal setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Tim Petrus akan diketuai Yosep Adi Prasetyo, sedangkan Tim Pembunuhan 1965 dipimpin komisioner Nurkholis.

Dua tim lainnya disebut tim khusus. Mereka bertugas melakukan penelusuran atas kasus dugaan pelanggaran HAM terkait dengan kebijakan daerah operasi militer (DOM) di kawasan Aceh dan Papua. Tim DOM Aceh akan dikomandani anggota Komisi, Ahmad Baso, dan untuk tim Aceh di bawah pimpinan komisioner M. Ridha Saleh.

"Sebelumnya, keempat tim tersebut dibentuk dengan nama Tim Kejahatan Soeharto," kata Ridha. Namun, kemudian nama itu diubah menjadi Tim Ad Hoc dan Tim Khusus. Alasan perubahan itu, menurut dia, "Karena Soeharto sudah meninggal. Sementara orang-orang yang terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran HAM itu sangat banyak."

Komnas memberi jangka waktu berbeda bagi setiap tim untuk bekerja. Tim Ad Hoc diberi waktu kerja dua bulan, sedangkan Tim Khusus tiga bulan. Selama itu mereka akan melakukan penyelidikan proyustisia. Hasil penyelidikan nantinya akan diputuskan dalam sidang paripurna Komnas HAM, sebelum diserahkan ke Kejaksaan Agung.

Kuasa hukum keluarga Soeharto (almarhum), Indriyanto Senoadji, mengatakan langkah Komnas HAM itu absurd dan prematur. "Penyelidikan tidak secara otomatis bisa dilakukan," katanya. "Karena, dalam menentukan peristiwa tertentu untuk diselidiki, harus menunggu keputusan politis."

Menurut Indriyanto, kajian yang ditingkatkan menjadi penyelidikan semacam itu masih memiliki perbedaan interpretasi. Ia menilai perbedaan interpretasi tersebut menunjukkan belum adanya peraturan yang dapat mendasari secara hukum.

Koordinator Human Rights Working Group Rafendy Jamin menyambut baik langkah Komnas HAM. "Walau Soeharto sudah tidak ada, struktur komando berikutnya harus dimintai tanggung jawab," ujarnya.

Adapun Amiruddin al-Rahab dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat mengatakan niat Komnas itu tak akan selesai tanpa dukungan politik dari Dewan Perwakilan Rakyat dan partai-partai. "Selama ini tidak pernah ada niat baik secara politik untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM," katanya. "Kasus-kasus ini jadi alat tawar-menawar politik semata." TOMI | CHETA NILAWATY | MUSTAFA