Apa Pun Perdebatannya, Korban Jadi Prioritas Utama

Oleh
Rikando Somba/Sihar Ramses Simatupang

JAKARTA-Niatan Gerakan Menutup Lumpur Lapindo (GMLL) yang dipimpin Salahuddin Wahid tentu luhur. Dengan mengupayakan menutup semburan lumpur di Porong, Sidoarjo, Jatim tersebut, banyak hal bisa diselamatkan. Salahuddin dan Gerakan ini mengajak masyarakat untuk tak berkutat lagi pada persoalan “ayam atau telur” penyebab semburan lumpur yang dampaknya kian meluas.

Masalahnya, apakah menutup semburan lumpur Sidoarjo yang sering disebut sebagai lumpur Lapindo ini merupakan perkara mudah?
Banyak kalangan pun beradu pendapat soal penyebab dan cara mengatasi semburan itu. Rudi Rubiandini, ahli perminyakan ITB berpendapat bahwa semburan lumpur Sidoarjo itu bisa ditutup. Ia berpendapat semburan itu merupakan underground blow out dan beranggapan semburan itu akibat Lapindo Brantas Inc melakukan kesalahan prosedur pengeboran terhadap Sumur Banjarpanji-1.

Polemik Penyebab
Teknik relief well (membuat sumur penyumbat) dinilainya sebagai solusi mencegah keluarnya semburan lumpur itu. Taksiran biayanya untuk melakukannya diperkirakan mencapai sekitar Rp 700 miliar.

Namun, tak sedikit pula kalangan yang menilai bahwa upaya ini bakal bagai menggantang asap. Mereka yang menyokong argumen bahwa yang terjadi di Sidoarjo adalah mud volcano menilai ini upaya yang sia-sia.

Mereka yang berseminar dengan tema Mencari Solusi Dampak Lumpur Sidoarjo di Surabaya, 28 Februari lalu, misalnya, mayoritas berpandangan demikian. Ahli geologi dan pakar/praktisi pengeboran migas di seminar ini cenderung sepakat dengan teori atau hipotesis yang menyatakan semburan lumpur Sidoarjo adalah mud volcano, bukan undergound blow out.

Edi Sutriono, praktisi pengeboran sekaligus Vice President Drilling Lapindo menukas, hipotesa undergound blow out didasarkan pada data yang tidak faktual. Dia menjelaskan hasil sonan logs (survei sumur Banjarpanji-1 pascasemburan) menunjukkan tidak adanya aliran di belakang casing seperti yang lazim terjadi dalam peristiwa underground blow out.

Edi pun menuturkan adanya sokongan riset lain yang menyatakan, adanya kandungan isotop deutorium di dalam air yang keluar dari semburan,yang menunjukkan bahwa air berasal dari kedalaman sekitar 20.000 kaki. Semburan lumpur yang pertama kali terjadi pada 29 Mei 2006, dua hari setelah gempa Yogya, adalah penguat penilaian ini. Menurutnya, keputusan PN Jakarta Selatan dan PN Jakarta Pusat yang menyatakan bahwa semburan lumpur Sidoarjo merupakan fenomena alam juga menjadi penguat.

“Kini saya selalu siap untuk mendiskusikan hal ini lebih lanjut dengan menggunakan data yang valid,” ungkap Edi.

Pada kesempatan berbeda, Yuniwati Teryana, Vice President Lapindo Brantas menegaskan, pihaknya tetap berkomitmen memenuhi amanah Perpres No 14/2007, termasuk membayar sisa pembayaran 80% lahan warga korban lumpur, yang sebelumnya sudah dilakukan akta jual beli dengan uang muka 20%. Pihaknya, hingga kini telah mengeluarkan biaya sekitar Rp 2,94 triliun sejak terjadinya kasus semburan lumpur tersebut.
Dan diproyeksikan, untuk memenuhi Perpres No 14, Lapindo akan mengeluarkan biaya total sekitar Rp 5,6 trilun. “Sesuai komitmen yang ada, kami tidak akan menagih biaya tersebut ke pemerintah, apa pun kesimpulan para ahli tentang penyebab semburan lumpur Sidoarjo,” katanya.

Lepas dari soal perdebatan asal-muasal lumpur seperti debat “ayam-telur” ini, selayaknya nasib para korban diperhatikan. Komisi Nasional (Komnas) HAM seperti dikatakan Ketuanya, Ifdhal Kasim meminta, nasib korban dan pemulihan haknya harus tetap menjadi prioritas. Relokasi warga yang kini sudah dijalankan, menurutnya haruslah tetap dijalankan.

Hal yang sama dikemukakan Kordinator Kontras Usman Hamid yang menegaskan, prinsip utama cara menangani kasus ini memang menyelamatkan korban Lumpur. Jadi, apa pun polemik yang mengemuka soal kasus ini, semestinya korbanlah yang menjadi dasar dan tujuan, bukan hal-hal lainnya. n