Ada “Udang” diBalik Kasus Munir?

Penahanan Muchdi Purwopranjono sebagai tersangka konspirasi pembunuhan aktivis HAM Munir dapat menjadi inspirsai bagi penegakan hukum kita. Pesan politiknya, siapapun yang terlibat kejahatan, tak boleh berada diatas hukum-siapa pun yang dulu dan selama ini kebal hukum – bersiap menghadapi zaman yang berubah. Perubahan itu sayangnya masih harus diuji oleh waktu. Waktu akan menjawab apakah penetapan Muchdi sebagai tersangka akan berakhir dengan penghukuman atau sebaliknya. Atau mungkin kasus ini bermuatan politik menjelang Pemilu 2009?

Sebelum menjawab pertanyaan, terlebih dulu kita simak pernyataan orang-orang dekat Muchdi. Zainal Maarif dan Fadli Zon melontarkan pernyataan reaktif paska penahanan Muchdi, bahwa Muchdi seorang nasionalis, patriot bangsa yang berjasa dan aktif di ormas Islam. Apa hubungannya status itu dengan masalah hukum yang sedang dihadapi Muchdi?

Orang dekat Muchdi lainnya, Mahendradata, menyatakan Muchdi akan dibela oleh Babinkum TNI. Sebelumnya, dia melontarkan pernyataan bahwa ratusan personel Koppassus akan mengepung Mabes Polri jika benar Muchdi ditetapkan sebagai tersangka…apa hubungannya institusi ini dengan masalah hukum kasus Munir dengan tersangka Muchdi?

Setelah Polri menahan Muchdi, Zainal Maarif menyatakan akan meminta tokoh-tokoh Muhammadiyah menandatangani penanggguhan penahanan Muchdi atas nama warga Muhammadiyah (20/6). Lontaran pernyataan ini lebih aneh lagi. Pertanyaannya, apa hubungannya tokoh-tokoh Muhammadiyah dengan masalah hukum Muchdi?

Rasanya wajar jika kita menduga bahwa pernyataan orang terdekat Muchdi ini hendak mengatakan ke publik bahwa Muchdi adalah orang istimewa. Simbol institusi militer, institusi keagamaan, seolah hendak diseret-seret serta dilekatkan pada sosok Muchdi, kemudian berharap masalah hukumnya hilang atau setidaknya berkurang bobotnya dimata publik, atau setidaknya di mata penegak hukum. Tapi toh, Polri terus berlalu bagai kafilah yang membiarkan anjing menggonggong. Penahanan berlanjut dengan pemeriksaan intensif tanpa penangguhan penahanan.

Perlahan namun pasti, waktu menunjukkan pada kita bahwa pernyataan yang dilontarkan orang terdekat Muchdi menjadi sekadar pernyataan politik yang kosong. Pertama, karena pernyataan itu bukan mau menunjukkan tindakan Polri salah demi hukum melainkan pernyataan itu hendak membangun atmosfer guna menutupi masalah hukum yang sebenarnya. Selanjutnya pihak-pihak yang hendak dikait-kaitkan pun mengerti apa yang perlu dan tak perlu direspons. KSAD Agustadi Sasongko Purnomo menyatakan Muchdi bukan urusan TNI, tapi urusan Polri. Tak ada pula pernyataan dari Panglima TNI atau Danjen Kopassus.              

Apa yang bisa kita petik? Zaman mulai berubah, semangat “pembelaan semu” hanya karena orang itu pernah satu korps, atau karena pernah memiliki jabatan penting atau karena menjadi tempat bernaung bagi seseorang, harus ditinggalkan. Status-status itu tak bisa lantas diseret begitu saja demi melayani kepentingan sempit dari seseorang yang tengah berhadapan dengan masalah hukum. Ditengah karut marutnya dunia hukum kita, kebiasaan membela mati-matian dengan menolak bukti keterlibatan seseorang tanpa bukti dan hanya dengan status status sosial adalah sebuah kebiasaan usang. Sebuah kebiasaan yang jauh dari kebutuhan perbaikan dunia persilatan hukum kita, yakni kesetaraan manusia. Fanatisme kelompok atau golongan tak boleh melampaui semangat untuk menegakkan supremasi hukum 

Jika perkembangan positif ini terus berlangsung, bukan tak mungkin kasus Munir menjadi pendongkrak moral publik yang kini menurun drastis dalam melihat kemacetan hukum di Indonesia.

Nah kini kita beralih ke pertanyaan berikut, dakah udang dibalik politik penahanan Muchdi untuk kepentingan Pemilu 2009? Diluar beredar rumor momentum ini sengaja didesain untuk menutup polemik kenaikan BBM, insiden Monas, dan suap Ayin-Urip serta menaikkan citra pemerintahan Yudhoyono-Kalla pada Pemilu 2009. Rumor lain adalah penahanan Muchdi hanya politik Yudhoyono-Kalla untuk menjegal lawan politik terutama Megawati. Benarkah? Waktu tentu akan menjawabnya.

Kita mafhum kecemasan orang yang menyatakan penahanan Muchdi rentadn dipolitasasi. Tapi bila penuntasan kasus Munir dianalogi sebagai cermin, ia tak bisa bohong. You are what you see in the mirror. Bila Polri bekerja keras, kasus Muchdi mungkin hasil yang tengah dicapai. Bila Polri tidak serius bahkan menggunakan untuk kepentingan politik, mungkinkah penetapan status tersangka dan penahanan Muchdi juga meruapakan sandiwara? Rasanya kok menjadi amat fatal Polri bisa rugi citra dan kelembagaannya serta menggali kuburannya sendiri.

Suka tidak suka, benar atau tidak sesungguhnya semua analisa itu akan terbukti seiring waktu. Tudingan yang mendahului proses hukum justru membuat prises ukum saat ini terbebani berbagai “tafsir politik” yang negatif. Seyogyanya kita belajar dari fenomena kesebelasan Turki di Piala Eropa 2008, yakni “Persoalannya bukan pada bagaimana memenangi pertandingan. Yang terpenting adalah reaksi positif atas kekurangan atau ketertinggalan.” banyaknya kasus yang membuat konsentrasi kita terpecah dapat diatasi dengan bereaksi positif atas segala kelemahan yang ada.

Salah satu caraya adalah dengan membuka seluas-luasnya pengawasan pada publik dan mengoptimalkan fungsi-fungsi kontrol yang tersedia di ranah sosial dan politik. Cara ini bisa meminimalisasi berbagai tafsir politik terhadap jalannya hukum. Kuncinya adalah keterbukaan dan aksesibilitas. Dengan dua hal ibi, kekhawatiran adanya tindakan yang tidak jujur atau memaksakan bukti-bukti untuk tujuan politik bisa terdeteksi dini. 

Institusi-institusi independen yang bekerja dibidang hukum dan HAM seperti Komnas HAM bisa memantau apakah standar universal hak asasi manusia diterapkan. Institusi lain seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi bisa saja dikondisikan untuk ikut mengawasi kasus ini hingga tuntas. Melalui kerja sama ini, kredibilitas penegakan hukum adalam kasus Munir bisa terjaga.

Disi lain, DPR dapat berperan lebih dari sekadar penonton. Selain menyemangati dari kejauhan, DPR mengawasi dari jarak dekat, dengan mengintensifkan kembali Tim Kasus Munir DPR, yang pernah dibentuknya paska kematian Munir untuk mengawasi pemerintah, khususnya presiden, dalam menuntaskan kasus pembunuhan Munir.

Melalui konstruksi pengawasan yang lebih besar, luas dan bersifat parennial, cermin penuntasan kasus Munir tak lagi berkabut misteri. Orang tidak lagi menebak-nebak atau berspekulasi bahwa dalam kasus penahanan Muchdi ada “udang” dibalik politik Yudhoyono-Kalla.