Rancangan Peradilan Militer Diminta Segera Selesai

JAKARTA-Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan beberapa elemen masyarakat meminta Dewan Perwakilan Rakyat segera menyelesaikan revisi Rancangan Undang-Undang Peradilan Militer. Diharapkan, dengan undang-undang tersebut, tentara yang melakukan kejahatan umum bisa diadili di pengadilan umum. "Rancangan undang-undang itu harus segera dibahas dan diundangkan agar tak ada lagi ketimpangan keadilan antara sipil dan militer," ujar Koordinator Kontras Usman Hamid saat diskusi tentang kasus Alastlogo dan peradilan militer di kantor Kontras, Jakarta, kemarin.

Menurut Usman, peradilan militer yang ada saat ini dinilai belum mampu memberikan keadilan hukum. Peradilan militer, kata dia, tak mampu menjangkau para tersangka dan pemangku jabatan komando. Hal tersebut, kata Usman, bisa terlihat pada vonis atas 13 prajurit TNI Angkatan Laut yang melakukan penyerangan dan penembakan terhadap warga Alastlogo, Pasuruan, Jawa Timur, pada Mei 2007. Para pelaku hanya dijatuhi vonis penjara 1 sampai 3 tahun. "Ironisnya, dengan alasan bersikap kooperatif, para terdakwa tidak ditahan," ujarnya.

Kepala Desa Alastlogo Imam Supandi mengatakan vonis ringan terhadap para terdakwa melukai hati masyarakat Alastlogo. "Kami kecewa karena putusannya jauh dari maksimal," ujarnya. Jika di pengadilan sipil, menurut dia, seseorang yang membunuh bisa mendapat ganjaran hukuman berkali-kali lipat. "Kalau kami mencuri sepotong kue, kami bisa dipenjara sampai setengah tahun. Ini timpang, sungguh tak adil."

Anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat dari PDI Perjuangan, Andreas Pareira, mengatakan Dewan telah berupaya menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Peradilan Militer. "Tapi di internal militer masih ada pertentangan," ujarnya dalam kesempatan yang sama. Pertentangan itu antara lain keinginan TNI agar tetap menggunakan penyidik dan jaksa dari militer untuk peradilan sipil bagi tentara. "Ini yang membuat lama. Mereka meminta waktu untuk berunding antardepartemen selama dua minggu. Tapi sampai dua tahun tak ada kabar," ujar Andreas.

DPR, kata Andreas, tidak ingin pembahasan rancangan ini setengah-setengah. "Bicara peradilan, maka bicara sistem." Dalam sistem peradilan, menurut Andreas, tidak bisa jaksa dan penyidiknya militer tapi hakim dan pengadilannya sipil. "Harus sipil semua," ujarnya. Karena itu, Dewan meminta TNI mengkaji ulang draf Rancangan Undang-Undang Peradilan Militer agar menjadi satu sistem yang utuh.TITIS SETIANINGTYAS