Rekapitulasi Orang Hilang

Beberapa pekan ini, korban penghilangan paksa memperingati hari orang hilang sedunia yang jatuh pada 30 Agustus.

Peringatan di Banda Aceh, Palu, dan Jakarta ini ingin mengingatkan, penghilangan paksa adalah kejahatan kemanusiaan sebab setiap orang harus dilindungi oleh kekuasaan negara.

Mendunia

Perjuangan korban penghilangan paksa telah mendunia. Perjuangan ini dimotori ibu-ibu yang kehilangan anaknya, berpuncak Desember 2006, Majelis Umum PBB mengesahkan Konvensi Internasional tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Tiap negara diamanatkan kewajiban imperatif untuk memenuhi hak korban atas kebenaran (truth), menghukum pelaku, dan mencegah terulangnya kejahatan terkeji ini.

Kasus orang hilang di Indonesia telah lama disorot PBB. Sebelum reformasi, Pelapor Khusus PBB Urusan Penyiksaan, Prof Koijmas, mengunjungi Indonesia dan Timor Timur (4-16 November 1991). Dalam kunjungan itu, Indonesia diminta melaksanakan upaya legislatif, administratif, peradilan efektif, atau upaya lain untuk mencegah dan menghentikan penghilangan paksa sesuai Deklarasi PBB tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (disahkan 18 Desember 1992). Pemerintah diharapkan mengundang Kelompok Kerja (Pokja) PBB untuk Orang Hilang ke Indonesia.

Komite Antipenyiksaan 2008 meminta klarifikasi atas hilangnya seorang anak usia 16 tahun yang diambil dari tahanan tahun 2004; dua aktivis di Aceh, Mukhlis dan Zulfikar (Link for Community Development), serta seorang guru SD, Muhammad Amin Alwi; dan Hasballah, yang diambil paksa orang bersenjata dan berpakaian militer di Nagan Raya.

Tahun ini mekanisme baru bernama Peninjauan Berkala Universal mengkaji keadaan HAM berbagai negara. Untuk Indonesia, Dewan HAM PBB meminta Indonesia menandatangani Konvensi Internasional tentang Perlindungan atas Semua Orang dari Tindakan Penghilangan secara Paksa. Salah satu isinya menegaskan, ”Orang-orang yang bertanggung jawab atas penghilangan paksa harus diadili hanya oleh pengadilan biasa yang kompeten dan bukan pengadilan khusus seperti mahkamah militer” (Pasal 16).

Kepada Dewan HAM PBB, Pokja Orang Hilang menyerahkan lima laporan kasus orang hilang ke pemerintah, yaitu kasus Rohadi Iwan Hadi Subroto dan Makdum Budi Martono, yang dilaporkan ditahan tahun 1965 oleh militer dan polisi. Sementara tiga lainnya, Iwan Ronti, Hasyim Toana, dan Aswat Lamarati, yang diketahui ditahan militer tahun 2001. Kelompok kerja tak mendapat respons atas kasus-kasus itu.

Pokja Orang Hilang juga menyampaikan permintaan kunjungan ke Indonesia. Pada 12 Desember 2006, pokja mengajukan permintaan untuk melakukan misi ke Indonesia setidaknya akhir tahun 2007 atau awal 2008 guna mengklarifikasi kasus yang belum terespons. Pemerintah menyatakan telah menerima permohonan kunjungan itu pada 24 January 2007. Lalu, pada Maret 2007 Sekretaris Pokja bertemu perwakilan misi tetap Indonesia untuk mendiskusikan beberapa kasus yang belum terespons dan permintaan misi. Pokja mendapat catatan dari Permanen Mission, Indonesia menerima kunjungan special rapporteur dan dua kunjungan telah dijadwalkan selama 2007, yakni Utusan Khusus dari Sekjen PBB untuk Urusan Pembela Hak Asasi Manusia.

Klarifikasi
Untuk alasan ini, pemerintah menyatakan, agenda 2007 telah penuh. Lebih baik pokja mengajukan kunjungan setelah itu. Pokja menghargai respons pemerintah atas permohonan kunjungan itu dan berharap ada tanggal yang diajukan. Sekitar tahun lalu dan selama tahun berjalan, pokja menyerahkan 162 kasus kepada pemerintah. Dari semua itu, tiga kasus telah diklarifikasi berdasarkan info dari sumber dan 159 kasus belum bisa ditindaklanjuti. Pokja mengulang kembali pada laporan tahunan 2006 karena pokja juga tidak menerima informasi dari pemerintah.

Dalam Laporan Komisi HAM 2005, pokja meminta pemerintah mengklarifikasi 148 kasus orang hilang yang terjadi tahun 1992 dan tahun 1998-2000 di Jakarta, Aceh, dan Timor Timur, serta kasus-kasus lain yang terjadi tahun 2002-2003 di Aceh. Seluruh kasus penghilangan paksa melibatkan aparat keamanan. Dari data itu, masih 146 kasus belum terklarifikasi sehingga pokja belum mengetahui nasib dan keberadaan korban.
Pokja telah menyerahkan 10 kasus baru kepada Pemerintah Indonesia, di antaranya penculikan Aristoteles, sopir Theys Eluay yang dibunuh, dan Bachtiar Johan yang hilang tahun 1984. Juga ada delapan kasus atas nama Gunawan, Alfian, Aman, Jumanro, Ihwan, Mulyani, Rinawati, dan Sugianto yang dilaporkan hilang di Mall Yogya 14 Mei 1998. Selama periode itu, pokja tidak menerima informasi apa pun dari pemerintah atas kasus-kasus yang belum terklarifikasi.

Di antara kasus dalam laporan PBB itu, mungkin sudah ada yang ditemukan atau dibawa ke pengadilan. Karena itu, Pemerintah Indonesia perlu mengklarifikasi semua informasi itu. Misalnya, meninjau hasil penyelidikan Komnas HAM atau klarifikasi langsung dengan instansi pemerintah yang relevan, seperti TNI/Polri. Agar komprehensif, pemerintah perlu membentuk Komisi untuk Orang Hilang sebagaimana rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste. Tujuannya, mencari kejelasan nasib dan keberadaan orang hilang.